Kebolehan Tidak Berpuasa Bagi Orang yang Bepergian Jauh

Ada banyak pertanyaan tentang bepergian jauh sebagai udzur puasa. Misalnya, bagaimana kalau menggunakan kereta cepat atau pesawat, hanya satu jam sudah sampai dan tidak merasa capek, apa tetap boleh membatalkan puasa? Lalu bagaimana jika perjalanannya tidak jauh, tapi menyebabkan capek, apa boleh membatalkan puasa?

Beberapa pertanyaan ini bisa dijawab ketika kita bisa membedakan antara illat dan hikmah. Secara mudah, illat adalah alasan yang mendasari ditetapkannya sebuah hukum, dan harus bersifat jelas dan terukur, serta tidak berubah-ubah. Berbeda dengan hikmah, sifatnya tidak terukur, dan masing-masing orang bisa mengalami pengalaman yang berbeda. Hukum Islam (fikih) didasarkan pada illat, bukan pada hikmah.

Contoh perbedaan antara illat dan hikmah menjadi jelas pada studi kasus kebolehan tidak berpuasa ketika bepergian jauh. Illat kebolehannya adalah karena bepergian jauh dengan jarak minimal 89 KM (menurut Wahbah Zuhaili), sedangkan hikmahnya adalah “mencegah kesulitan (daf’u al-masyaqqah)”. “Perjalanan” menjadi illat karena sifatnya yang jelas dan terukur, yaitu selama seseorang melakukan perjalanan dengan jarak tempuh yang dibolehkan melakukan shalat qasar, maka dia boleh tidak berpuasa, baik ketika di perjalanan dia merasakan sulit atau tidak, baik perjalanannya menggunakan transportasi darat, laut, ataupun udara, baik cepat atau lambat, baik dilakukan oleh orang yang masih kuat berpuasa ataupun tidak, pokoknya jarak tempuhnya telah mencapai 89 KM, maka perjalanannya bisa menajdi udzur tidak berpuasa.

Baca Juga: Ketentuan Waktu Niat Puasa Menurut Empat Mazhab

Hal ini berbeda dengan “mencegah kesulitan” sebagai hikmah yang sifatnya tidak jelas, tidak terukur, dan tidak sama antara satu orang dengan orang lain. Semisal seseorang pemuda yang melakukan perjalanan dari Surabaya ke Jakarta dengan menggunakan transportasi udara (pesawat terbang), normalnya dia tidak akan merasakan capek dan sulit, apalagi jika dia duduk di bangku pesawat yang agak berkelas lengkap dengan hidangan dan film yang bisa ditonton. P

erjalanan Surabaya – Jakarta yang biasanya ditempuh dalam waktu satu jam akan terasa santai dan menyenangkan, bahkan sebelum film yang ditonton selesai, bisa jadi dia sudah sampai di tempat tujuan. Pada kasus ini perjalanannya bisa menjadi udzur membatalkan puasa, walaupun berpuasa lebih baik baginya.

Berbeda dengan kasus di atas, ketika ada orang tua yang bepergian dari Surabaya menuju Lamongan dengan transportasi sepeda pancal, walaupun jaraknya tidak sejauh Jakarta, normalnya dia akan mengalami capek dan kesulitan di tengah perjalanan, bahkan sebelum dia sampai ke tempat tujuan. Oleh karena itu, perjalanan dari Surabaya ke lamongan bagi orang tua dan mengalami kecapean, perjalanannya tidak menjadi udzur yang membolehkan membatalkan puasa, dia tetap wajib puasa.

Akan tetapi jika dia terus berpuasa bisa membahayakan dirinya, maka dia boleh membatalkan puasa karena darurat, bukan karena perjalanannya sendiri. Menurut Wahbah Zuhaili dalam kitab al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, salah satu udzur yang membolehkan tidak berpuasa adalah karena “merasa sangat haus dan lapar” sehingga membahayakannya. Hal ini didasarkan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 195:

وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ 

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Baca Juga: Puasa Bagi Perempuan Hamil dan Menyusui

Berdasar gambaran contoh di atas, jelaslah bedanya antara illat dan hikmah. Jika illat bersifat jelas, terukur, dan tidak berubah, maka hikmah bisa berupa sesuatu yang tidak jelas, tidak terukur, dan kondisinya berbeda antara satu orang dengan orang lain.

Berdasar perbedaan ini juga ulama usul fiqh menjadikan illat sebagai dasar penetapan hukum, dan melarang menggunakan hikmah sebagai dasar penetapan hukum. Larangan ini berasalan karena bisa jadi ada ketidakpastian hukum dan terjadi perbedaan hukum bagi umat Islam jika mendasarkan hukum pada hikmah. Ulama mengatakan “ al-hukm yaduru ma’a illatihi la ma’a hikmatihi wujudan wa ‘adaman (keberadaan hukum tergantung pada illatnya, bukan hikmahnya. Jika illat ada maka hukum ada, jika illat tidak ada maka hukum tidak ada”(Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh,  71). Wallahu A’lam.

Dr. Holilur Rohman, M.H.I, Ustadz di Cariustadz.id dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya