Puasa Bagi Perempuan Hamil dan Menyusui

Di bulan Ramadan yang mewajibkan seluruh umat Muslim berpuasa, Perempuan hamil atau menyusui termasuk kelompok yang memiliki udzur. Mereka diperbolehkan tidak berpuasa. Dalam kitab-kitab fikih disebut dengan istilah “Khouful Hamil wal Murdi al-Darar min al-Shiyam” (kehawatiran ibu hamil dan menyusui ketika puasa). Ulama berbeda pendapat mengenai hukum puasa bagi perempuan hamil dan menyusui, yaitu:

  1. Mazhab Maliki: Jika dengan berpuasa orang hamil khawatir sakit atau terjadi sesuai yang membahayakan terhadap dirinya sendiri, atau khawatir pada bayinya, atau khawatir pada diri dan bayinya keduanya, maka dia boleh tidak berpuasa, dan sebagai gantinya dia hanya wajib qada’ tanpa fidyah. Berbeda jika yang mengalaminya adalah ibu yang menyusui, maka wajib fidyah karena kekhawatiran tersebut dia boleh tidak berpuasa, dan menggantinya dengan qada’ puasa di hari lain, sekaligus membayar fidyah
  2. Mazhab Hanafi: Perempuan hamil atau menyusui, boleh tidak berpuasa jika khawatir terhadap dirinya atau bayinya, dan dia wajib qadha’ puasa di hari lain jika sudah mampu berpuasa, dan tanpa harus terus menerus (sambung menyambung) dalam berpuasa, dan tanpa juga tanpa ada kewajiban membayar fidyah
  3. Mazhab Hanbali: perempuan hamil dan menyusui, jika hawatir terhadap dirinya sendiri, atau hawatir terhadap diri dan anaknya sekalligus, maka dia hanya wajib qada tanpa bayar fidyah. Akan tetapi jika dia khawatir terhadap anaknya saja, maka dia wajib qadha sekaligus bayar fidyah
  4. Mazhab Syafi’i: perempuan hamil atau menyusui jika hawatir terhadap dirinya sendiri, atau hawatir terhadap diri dan anaknya, atau hawatir terhadap anaknya saja, maka dia boleh tidak berpuasa. Sebagai gantinya, dia wajib mengqada puasa tanpa fidyah, akan tetapi khusus jika khawatir terhadap anaknya saja, maka dia wajib qada’ sekaligus bayar fidayah.

Baca Juga: Utang Puasa Dibayar pada Ramadhan berikutnya

Kesimpulan dari perbedaan pendapat ini adalah bahwa empat mazhab sepakat bahwa perempuan hamil atau menyusui diberikan keringanan untuk tidak berpuasa. Akan tetapi perbedaanya terletak pada kewajiban sebagai ganti adanya rukhsah tersebut. Kesimpulannya sebagaimana berikut:

Bagi perempuan hamil
  1. Jika khawatir terjadi bahaya pada dirinya sendiri atau diri dan anaknya sekaligus, maka dia wajib mengqadha’ puasa di hari lain tanpa bayar fidyah menurut kesepakatan empat mazhab
  2. Jika hawatir terhadap anaknya saja, maka dia wajib mengqadha puasa di hari lain dan wajib membayar fidyah menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan menurut  mazhab Maliki dan  Hanafi, dia wajib mengqadha tanpa bayar fidyah
Bagi perempuan menyusui
  1. Jika hawatir terjadi bahaya pada dirinya sendiri atau diri dan anaknya sekaligus, maka dia wajib mangqada’ puasa di hari lain tanpa bayar fidayah menurut mazhab Syafi’I, Hanafi, dan hanbali. Sedangkan menurut mazhab Maliki, dia wajib qada’s ekaligus bayar fidayah
  2. Jika khawatir terhadap anaknya saja, maka dia wajib mengqadha puasa di hari lain dan wajib membayar fidyah menurut mazhab Syafi’I, Maliki, dan dan Hanbali. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, dia wajib mengqadha tanpa bayar fidyah.

Penjelasan tentang keringanan bagi perempuan hamil dan menyusui di atas selaras dengan ayat al-Qur’an:

لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ

… Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya (QS. Albaqarah ayat 233)

Baca Juga: Ketentuan Waktu Niat Puasa Menurut Empat Mazhab

Ayat ini menegaskan bahwa Agama Islam adalah agama yang ramah dan mudah bagi umat Islam khususnya bagi ibu hamil dan menyusui. Islam memberikan kabar gembira bagi keduanya dengan memberikan rukhsah agar beratnya “beban” yang dipikul ibu hamil dan menyusui tidak bertambah berlipat-lipat. Kewajiban qadha pun tidak harus dilakukan secara segera, melainkan bisa ditunaikan ketika keduanya sudah mampu melakukannya.

Adanya fidyah bukanlah beban bagi keduanya, melainkan sebagai bentuk syukur seorang hamba karena Allah telah menganugerahkan anak yang sangat ditunggu dan dibanggakannya, di mana tidak semua orang diberikan amanah anak dengan mudah, terkadang ada orang yang harus berjuang dengan bermacam cara, mulai yang mudah sampai yang sulit, mulai yang berbiaya murah sampai yang biayanya selangit. Wallahu A’lam bish Shawab.

Dr. Holilur Rohman, M.H.I, Ustadz di Cariustadz.id dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya