Di era digital, definisi “achievement” atau pencapaian mengalami pergeseran drastis. Banyak public speaker muda dalam podcast menyampaikan narasi pencapaian yang identik dengan kesuksesan materi di usia muda: memiliki bisnis sebelum usia 25, membeli properti sendiri, menjadi influencer, atau membangun personal branding. Narasi ini begitu masif dan meyakinkan, sehingga banyak anak muda merasa gagal hanya karena hidupnya tidak sesuai standar pencapaian yang mereka tonton. Tanpa disadari, achievement versi media telah dijadikan semacam “agama baru” yang menjanjikan keselamatan dalam bentuk validasi publik.
Padahal, banyak narasi tersebut tidak mewakili kenyataan secara utuh. Sebagian hanya potongan cerita yang dikemas demi konten, tidak jarang digunakan untuk membangun ekosistem bisnis dan loyalitas audiens. Dalam realitasnya, pencapaian materi tidak selalu mencerminkan keberhasilan hakiki. Al-Qur’an mengingatkan dalam QS. Al-Kahfi: 46 bahwa “Al-mālu wal-banūna zīnatul-ḥayāti-d-dunyā; wal-bāqiyātuṣ-ṣāliḥātu khayrun ‘inda rabbika ṡawāban wa khayrun amalan.” Menurut tafsir al-Baghawi, yang dimaksud “al-bāqiyātuṣ-ṣāliḥāt” adalah zikir, amal saleh, dan semua bentuk ketaatan yang kekal pahalanya. Ini mengisyaratkan bahwa dunia hanyalah hiasan yang akan lenyap, sedangkan amal saleh adalah pencapaian sejati yang kekal hingga akhirat.
Dalam kerangka inilah kita memahami bahwa achievement terbagi dua: relatif-subjektif, dan objektif-mutlak. Yang relatif seperti kekayaan, jabatan, dan popularitas sangat bergantung pada variabel duniawi yang fluktuatif. Namun achievement yang objektif dan universal menurut Islam adalah al-falah, yaitu keberuntungan sejati yang disebut dalam QS. Al-Mu’minun ayat 1–11. Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa “qad aflaḥa al-mu’minūn” adalah pernyataan pasti dari Allah tentang keberhasilan orang-orang beriman, dan sifat-sifat mereka sangat spiritual dan etis: khusyuk dalam salat, menjauhi laghw (perbuatan sia-sia), menjaga amanah dan kehormatan. Pencapaian semacam ini tidak viral, tapi justru itulah yang paling tinggi nilainya di sisi Allah.
Standar ini juga ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat: 13, yang menyatakan bahwa “inna akramakum ‘inda Allāhi atqākum”. Menurut tafsir al-Qurṭubī, ayat ini menutup segala bentuk keangkuhan berbasis ras, status sosial, atau pencapaian dunia, dan menegaskan bahwa takwa adalah satu-satunya ukuran objektif kemuliaan manusia. Maka dari itu, pencapaian dalam Islam bukan soal siapa yang paling sukses secara materi, tapi siapa yang paling taat dan tulus kepada Allah dalam keadaan apa pun. Para nabi membuktikan hal ini: meski diuji secara materi, mereka tetap menjadi manusia terbaik karena komitmen tauhid dan perjuangan mereka.
Dengan demikian, kita perlu menyusun ulang standar pencapaian dalam hidup ini. Bukan berarti pencapaian duniawi salah, tapi ia tidak boleh menyingkirkan pencapaian ukhrawi sebagai prioritas utama. Dalam masyarakat yang dipenuhi tekanan pencitraan dan kecepatan, Al-Qur’an mengajarkan kita untuk berjalan pelan tapi pasti menuju ridha Allah. Menjadi guru ngaji yang sabar, mahasiswa yang jujur, atau anak muda yang istiqamah menjaga salat dan integritas—semua itu adalah achievement besar menurut Al-Qur’an, walau mungkin tak pernah muncul di halaman trending. Dan itu, bro, adalah kemenangan yang hakiki.
Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini