Hukum Perempuan Iktikaf di Masjid

Bulan Ramadhan selalu menjadi waktu yang istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Di antara serangkaian ibadah yang dilakukan, iktikaf di masjid menjadi salah satu kegiatan yang banyak diminati, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Iktikaf berasal dari bahasa Arab yang berarti al-Lubṡ yang artinya diam. Bisa juga diartikan dengan habṡ al-nafsi `an taṣarrufah `ādiyah yaitu menahan diri dari segala macam kegiatan keseharian. 

Sedangkan dalam fikih iktikaf sering diartikan dengan  berdiam diri di masjid yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka beribadah dengan cara-cara tertentu. Seperti berdzikir, berdo’a, membaca Al-Quran, shalat sunnah, bershalawat, bertaubat, beristighfar, dan lainnya.

Keutamaan iktikaf sudah banyak dijumpai melalui hadist hadist Rasulullah saw terutama di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Pasca wafatnya Nabi Muhammad rutinitas iktikaf juga dilakukan para sahabat dan generasi-generasi berikutnya hingga saat ini. 

Sebagaimana hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Umar ra:
Rasulullah SAW dahulu menjalankan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari Muslim) 

Jika biasanya itikaf dilakukan oleh laki-laki, bolehkah perempuan melakukan itikaf juga di masjid? Bagaimana hukum itikaf bagi perempuan?

Hukum Iktikaf Bagi Perempuan
Menurut Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hukum iktikaf adalah sunnah muakkad, baik di bulan Ramadan maupun di bulan lainnya. Sunnah muakkadnya lebih ditekankan lagi pada sepuluh hari yang akhir.

Selain itu, mayoritas ulama berpendapat perempuan boleh melakukan iktikaf di masjid sebagaimana laki-laki. Hal ini dengan memandang keumuman dalil iktikaf. Artinya, objek atau sasaran dalil iktikaf tidak hanya tertentu pada laki-laki tetapi juga perempuan. Hal ini juga berlaku pada dalil-dalil agama yang lainnya. Pada dasarnya dalil berlaku umum hingga ada dalil lain yang menjadi mukhossis. 

Sebagaimana para istri Nabi Muhammad SAW seperti yang diceritakan oleh Aisyah RA. Aisyah RA, istri Nabi, sering melaksanakan itikaf selama bulan Ramadhan, ini menunjukkan bahwa perempuan dalam Islam diperbolehkan untuk melaksanakan itikaf.

“Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Aktivitas itu dilakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti i’tikaf pada waktu tersebut sepeninggal Rasulullah SAW.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bukti iktikaf juga dilakukan oleh perempuan bisa kita lihat dalam Q.S al-Imran ayat 37 yang artinya:

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. al-Imran: 37)

Juga bisa kita temukan dalam Q.S Maryam ayat 17:

Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.” (Q.S Maryam:17)

Kendati kedua ayat di atas bercerita tentang tentang Maryam yang hidup sebelum umat Nabi Muhammad, keduanya bisa dijadikan dalil untuk kita. Hal ini tidak lain karena syar` man qablanā (salah sumber hukum Islam) atau syariat umat sebelum Nabi Muhammad bisa dijadikan sebagai dalil selama tidak ada dalil lain yang menghapusnya.

Semoga kita diberikan kesehatan dan umur panjang hingga diridhoi Allah SWT untuk memperoleh ridho-Nya sampai 10 hari terakhir maupun Ramadan tahun berikutnya. Amin.

Laily Nur Zakiya, S.Ag, M.Pd, Ustadzah di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadzah Laily Nur Zakiya, S.Ag, M.Pd? Silakan klik disini