Memiliki Fisik yang Kuat itu Sunnah

Rasulullah Saw pernah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَلَا تَعْجَزْ

Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim, Kitab al-Qadr, juz 8, hal. 56, no. hadis 2664)

Hadis ini biasanya ditafsirkan secara luas: kuat iman, kuat pikiran, kuat ekonomi, dan kuat mental. Semua benar. Tetapi jangan lupa, kata qawī di sini juga berarti kuat secara fisik. Islam tidak hanya mendorong kita untuk sehat batin, tapi juga sehat badan. Tubuh yang sehat dan bertenaga adalah fondasi agar ibadah, dakwah, dan kehidupan sosial berjalan maksimal.

Imam al-Tirmiżī dalam al-Syamā’il al-Muḥammadiyyah menuliskan ciri fisik Nabi ﷺ. Beliau digambarkan bertubuh proporsional (مَرْبُوعًا), tegap (ضَخْمُ الْكَرَادِيسِ) , dada bidang (بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ), dan jasadnya kokoh (شَثْنُ الْكَفَّيْنِ وَالْقَدَمَيْنِ). 

Semua ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw adalah sosok dengan jasmani yang sehat, proporsional, dan kuat. Inilah yang disebut oleh ulama sebagai ṣifāt khalqiyyah Nabi Saw—dan itu pun termasuk definisi sunnah.

Selain itu, kita perlu ingat bahwa konteks sejarah saat itu berbeda dengan sekarang. Umat Islam di masa awal hidup dalam kondisi yang keras: dakwah yang baru merintis, perjalanan jauh, dan peperangan yang tak terhindarkan. Tubuh yang ideal, tegap, dan siap tempur adalah kebutuhan nyata, bukan sekadar pilihan gaya hidup. Maka wajar jika sahabat-sahabat Rasulullah Saw dikenal berfisik kuat, siap mengangkat pedang, menunggang kuda, atau berjalan jauh di padang pasir. Dengan begitu, hadis tentang “mukmin yang kuat” makin terasa relevan: sejak awal, Islam sudah menuntut umatnya untuk berdaya secara fisik.

Maka meneladani Nabi bukan hanya soal ibadah ritual, tapi juga menjaga tubuh agar ideal. Artinya, kalau seorang muslim hari ini masuk gym, mengangkat beban, membentuk otot, lalu meniatkannya untuk menjaga amanah tubuh sekaligus meneladani Rasulullah Saw, maka itu bagian dari ibadah. Tubuh six-pack bisa jadi sunnah, jika diniatkan benar.

Berhenti Romantisasi Kepayahan

Sayangnya, banyak yang keliru memahami agama dengan meromantisasi penderitaan. Seolah-olah kemiskinan itu mulia, hidup pas-pasan itu identik dengan zuhud, atau badan lemah dianggap tanda kesalehan. Padahal hadis ini membantah glorifikasi semacam itu.

Zuhud yang benar adalah ketika seorang muslim sudah mampu membeli barang mahal, tapi memilih hidup sederhana. Rendah hati yang sejati adalah ketika seorang muslim mampu membeli gadget terbaru, tapi menahannya demi hal yang lebih bermanfaat. Bukan ketika seseorang memang tidak mampu, lalu membungkusnya dengan retorika zuhud. Itu bukan kerendahan hati, tapi kondisi yang diterima apa adanya.

Kekuatan sejati itu ketika seorang muslim diajak berkelahi di jalan. Kalau ia tidak terpancing karena memang berfisik lemah, itu bukan sabar—itu keterpaksaan. Tapi kalau tubuhnya kuat, ototnya terlatih, ia tahu batul kalau berduel bisa menang, namun tetap memilih menahan diri—itulah yang dalam hadis lain disebut Nabi sebagai orang terkuat (yamliku nafsahu ‘indal gadhab).

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Islam bukan agama yang mendorong kelemahan, tapi agama yang mendorong umatnya berdaya. Menjadi kuat, sehat, mapan, lalu tetap humble—itulah puncak teladan seorang mukmin.

Maka jangan ragu: pergi ke gym, lari pagi, angkat beban, jaga pola makan, cari rezeki halal, atur keuangan, dan perkuat iman. Semuanya adalah ikhtiar agar kita menjadi mukmin yang kuat—yang lebih baik, dan lebih dicintai Allah.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini