Ketentuan Waktu Niat Puasa Menurut Empat Mazhab

Dalam kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, Syeikh ‘Abdurrahman al-Jaziri menjelaskan ketentuan waktu niat puasa menurut empat mazhab sebagai berikut:

Mazhab Syafii

Niat wajib dilakukan setiap malam, yaitu antara shalat maghrib sampai sebelum shalat subuh. Niat puasa harus ta’yin (ditentukan), seperti niat “saya niat puasa ramadlan besok, atau niat puasa nadzar, atau lainnya”. Niat tempatnya di hati, tetapi sunah diucapkan dengan lisan. Sedangkan niat puasa sunah, boleh dilakukan mulai dari masuknya salat maghrib sampai masukkan waktu zuhur, dengan syarat tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasa antara terbitnya fajar (waktu subuh) sampai masukkan waktu zuhur.

Bersahur saja tidak bisa dianggap niat, kecuali ketika bersahur di dalam hatinya terlintas keinginan berpuasa, seperti ada orang yang bersahur untuk berpuasa, maka dianggap berniat.

Mazhab Hanbali

Secara umum pendapat mazhab Hanbli sama seperti mazhab Syafi’i, walaupun ada beberapa perbedaan. Menurut mazhab Hanbali, ketentuan waktu niat puasa fardu dilakukan setiap malam antara waktu maghrib sampai sebelum terbitnya fajar. Jika berpuasa sunnah, maka niat boleh dilakukan antara masuknya waktu maghrib sampai seharian, walaupun niatnya dilakukan setelah masuk waktu zuhur, dengan syarat dia tidak melakukan  apapun yang membatalkan puasa.

Baca Juga: Hukum Menikah dengan pasangan Non Muslim

Niat harus ditentukan jenis puasanya, seperti puasa ramadlan atau puasa lainnya. sedangkan kefarduan puasanya tidak harus ditentukan. Niat puasa fardu atau sunnah wajib dilakukan setiap malam.

Mazhab Hanafi

Niat harus dilakukan setiap hari, antara masuknya waktu maghrib sampai sebelum separuh siang (nisf al-nahar). Yang dimaksud dengan siang menurut aturan fikih adalah sejak munculnya sinar dari ufuk timur ketika terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Jika waktu siang ini dibagi dua, maka ada waktu separuh siang pertama, ada waktu separuh siang kedua. Berkaitan dengan niat, maka boleh berniat antara masuknya waktu maghrib sampai separuh siang pertama (perkiraan sampai waktu zuhur).

Oleh karena itu, jika ada orang berpuasa tetapi tidak berniat di malam hari sampai masuk waktu subuh, maka dia tetap wajib berniat setelah masuk waktu subuh sampai separuh siang. Dengan begitu puasanya tetap sah. Walaupun begitu, lebih baik berniat di malam hari dan menentukan jenis puasanya. Orang bersahur dianggap berniat, kecuali ketika bersahur dia berkeinginan untuk tidak mau berpuasa

Mazhab Maliki

Niat wajib ditentukan, apakah niat fardu ramdlan, nazar, kaffarat, atau puasa sunnah tertentu. Ketentuan waktu niat harus dilakukan di malam hari, antara masuknya waktu maghrib sampai terbitnya fajar. Niat untuk jenis puasa yang wajib dilakukan secara berturut-turut seperti puasa ramadlan, puasa kafarat (2 bulan berturut-turut), dan lainnya, maka cukup berniat sekali saja di awal puasa. Oleh karena itu, orang yang berpuasa fardu di bulan ramadlan, dia cukup berniat sekali saja di awal malam pertama mau berpuasa. Jika puasa berturut-turutnya terhenti karena beberapa uzur seperti sakit dan melakukan perjalanan, maka wajib berniat setiap malam. Jika dia sembuh dari sakit, atau perjalanannya sudah selesai, maka dia cukup satu niat untuk sisa puasanya.

Sedangkan jenis puasa yang tidak wajib berturut-turut seperti puasa qada’ ramadlan, maka dia wajib berniat setiap malam.

Baca Juga: Melaksanakan Shalat Dzuhur Karena Khatib Tidak Fasih

Niat bisa dilakukan secara hukmiyah, yaitu, yang penting ada keinginan berpuasa, maka sudah dianggap berniat. Oleh karena itu, jika seseorang bersahur dan tidak terlintas dalam hati dan fikirannya untuk berpuasa, dan perkiraannya ketika dia ditanya mengapa bersahur maka jawabannya saya sahur pasti untuk berpuasa, maka bersahurnya sudah dianggap berniat.

Pendapat mana yang dipakai? Semua pendapat mempunyai dalilnya masing-masing. Jika mau lebih hati-hati, kita berniat dengan menggunakan mazhab Maliki, yaitu berniat satu bulan penuh di awal malam puasa Ramadan, dan tetap wajib berniat di setiap malam puasa sebagaimana pendapat mazhab Syafii, Hanbali, dan Hanafi. Wallahu A’lam bis Shawab.

Dr. Holilur Rohman, M.H.I, Ustadz di Cariustadz.id dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya