Mengkaji Moderasi dalam Nuansa Maqashidi I: Perihal Akidah, Ibadah dan Mu’amalah

Tulisan berseri ini merupakan edisi spesial yang mengkaji karya al-Tafsīr al-Maqāshidī dan saya dedikasikan secara khusus kepada cariustadz.id selama Ramadhan. Terlebih khusus lagi bagi diri saya sendiri, untuk terus mengambil istifadah dari guru saya tercinta, Abi—begitu kami memanggil beliau, Prof. Dr. Abdul Mustaqim, M.A., guru besar bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga dan pengasuh PP. LSQ (Lingkar Studi al-Qur’an) Ar-Rahmah Yogyakarta.

Selayang Pandang Kitab al-Tafsīr al-Maqāshidī

Karya ini merupakan model sederhana dari penerapan gagasan teoretis yang beliau sampaikan saat pidato pengukuhan guru besarnya. Ketika itu, beliau membawa ide tafsīr maqāshidī dalam ruang diskusi moderasi beragama. Beliau meyakini bahwa pembacaan terhadap al-Qur’an dengan menggunakan kacamata maqāshid al-syarī’ah, tidak hanya menjadi model pembacaan yang ideal dalam menelaah pesan-pesan Tuhan, namun juga sekaligus menjadi solusi bagi ragam persoalan yang berkaitan dengan moderasi beragama.

Abi menyusun karya ini dalam 114 halaman, yang dimulai dari bagian pendahuluan dan disusul dengan 10 bab pembahasan serta penutup. Sebagaimana terlihat dari judulnya, karya ini ditulis dengan bahasa Arab. Sebuah karya yang menantang sekaligus menjadi motivasi bagi pengkaji studi Islam. Sebab penguasaan terhadap bahasa Arab dapat dikatakan sebagai amr dharūriy atau sesuatu yang sangat esensial dan vital dimiliki oleh setiap orang yang ingin berkecimpung dalam kajian ini.

Karya ini ditulis untuk mengkaji beberapa persoalan waqī’iyah atau kontemporer dan mengaitkannya atau membacanya dengan perspektif maqāshidī. Tujuan dari infusi pembacaan maqāshidī ialah untuk menghadirkan proses pemahaman terhadap teks primer Islam, al-Qur’an dan hadis, yang tidak hanya berlandaskan pada leksikalitas teks, namun juga pada proses penalaran rasional yang melibatkan spiritualitas di dalamnya.

Perspektif maqāshidī memiliki core atau inti yang terangkum dalam satu adagium: taqīq al-mashlaah wa dar’u al-mafsadah (merealisasikan maslahat/ kebaikan dan menolak mafsadat/ keburukan). Inti atau jauhar dari pembacaan maqāshidī menekankan bahwa setiap hal yang dikonsensus dalam syariat baik berupa perintah maupun larangan, selalu terdapat maqshad atau tujuan yang ditujukan kepada kebaikan umat Islam yang menjalankannya itu sendiri dan bukan diperuntukkan untuk Tuhan sebagai aktor di balik eksistensi syariat.

Argumentasi Moderasi Islam dalam Akidah, Ibadah dan Mu’amalah

Abi mengawali narasinya dalam wacana ini dengan berstatemen, “Moderasi (al-wasathiyah wa al-i’tidāl) merupakan karakteristik Islam dalam setiap sendi ajarannya, baik dalam hal akidah, ibadah, maupun mu’amalah”. Beliau melanjutkan bahwa eksistensi Islam sebagai agama yang moderat terkonsepsi pada salah satu elemen maqāshid al-syarī’ah yaitu hifdz al-dīn (proteksi terhadap agama). Hal ini disebabkan karena Islam merupakan agama yang kāmil (sempurna) dan yang menyempurnakan agama-agama samawī pendahulunya.

Sederhananya, Islam tidak hadir untuk menegasikan ajaran-ajaran baik yang telah dibawa oleh agama-agama yang lahir sebelumnya. Sebagai penyempurna, Islam datang untuk meremajakan dan merekonstuksi ajaran-ajaran agama yang telah ada atau dalam bahasa teoretis disebut dengan change and continuity.

Hal tersebut sebagaimana digambarkan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 143, wa kadzālik ja’alnākum ummatan wasathan, dan Q.S. al-Maidah (5): 3, al-yaum akmaltu lakum dīnakum, yang menunjukkan sikap moderasi Islam secara umum. Bahkan redaksi wasathan, yang diinterpretasi oleh al-Thabari (w. 310 H) dengan al-‘adl, mengisyaratkan bahwa sikap moderat dalam beragama merupakan posisi ideal, yang tidak terlampau fanatik ke kanan maupun ke kiri (ifrāth wa tafrīth).

Jika dispesifikkan pada persoalan teologis atau akidah, maka akan memperlihatkan bahwa Islam sudah menempati posisi moderat dalam hal ini. Paradigma tauhid Islam yang mengajarkan pada penghambaan terhadap satu Tuhan, annahu lā Ilāha illa Allah (Q.S. Muhammad: 19), telah memosisikan Islam di tengah dua kutub teologi yang saling berseberangan. Islam berada di antara paham kaum mulhīdīn/ ateisme yang tidak meyakini eksistensi Tuhan dan watsāniyyīn/ paganisme yang meyakini bahwa ada banyak Tuhan yang patut disembah.

Posisi yang sama juga diperlihatkan Islam dalam persoalan ibadah. Sebagaimana termaktub dalam salah satu ayat al-Qur’an, Q.S. al-Isra’ (17): 110. Untuk memperjelas pengutipan ayat ini, saya akan berikan uraian tambahan melalui narasi Tafsīr Jalālain berikut ini:

﴿وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ﴾ بِقِرَاءَتِك بِهَا فَيَسْمَعك الْمُشْرِكُونَ فَيَسُبُّوك وَيَسُبُّوا الْقُرْآن وَمَنْ أَنْزَلَهُ ﴿وَلَا تُخَافِتۡ﴾ تُسِرّ ﴿بِهَا﴾ لِيَنْتَفِع أَصْحَابك ﴿وَٱبۡتَغِ﴾ اقْصِدْ ﴿بَیۡنَ ذَ ٰ⁠لِكَ﴾ الْجَهْر وَالْمُخَافَتَة ﴿سَبِیلࣰا ۝١١٠﴾ طَرِيقًا وَسَطًا

“Dan janganlah kamu terlalu mengeraskan bacaan Qur’anmu di dalam shalat, sehingga sampai didengar oleh kaum Musyrikin dan kemudian mereka mencercamu (karena hal itu) serta mencerca al-Qur’an bersama penyampainya (Nabi Muhammad SAW.). Dan jangan juga kamu terlalu memelankan bacaanmu, supaya sahabatmu bisa mengambil manfaat darinya. Maka carilah, di antara dua persoalan tersebut, jalan keluar terbaik yaitu jalan keluar yang berlandaskan prinsip moderasi”

Kemudian dalam diskursus mu’amalah khususnya dalam persoalan ekonomi, Islam mengajarkan konstitusi dalam kepemilikan harta. Di satu sisi, Islam memberikan hak personal bagi setiap individu terhadap hartanya untuk dipergunakan bagi kebutuhan pribadinya. Di sisi lain, Islam juga memberikan aturan bahwa di dalam setiap kepemilikan harta, ada hak-hak yang harus ditunaikan demi kemashlahatan sosial, sehingga kemudian diatur sedemikian rupa dalam fiqh Zakat.

Lebih lanjut, Islam juga memberikan keterangan yang jelas mengenai prinsip dasar moderasinya dalam wacana tasharruf al-amwāl (pendermaan harta). Dalam Q.S. al-Furqan (25): 67:

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا

“Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.”

Ayat tersebut secara jelas menarasikan bahwa Islam tidak menginginkan jika ada umat Islam yang egois terhadap harta yang dimilikinya sehingga menjadi kikir. Juga, Islam tidak ingin apabila ada yang secara berlebihan (isyrāf) dalam derma sosialnya. Islam ingin menjaga konstitusi kebaikan (mashlaẖāt) yang selalu mempertimbangkan kondisi dari umat Islam itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang pernah saya tuliskan dalam artikel “Maqashid al-Syariah: Memahami Tujuan di Balik Syariat Islam” bahwa tujuan dari syari’at ialah li taqiq mashali al-ibād (merealisasikan kemaslahtan bagi umat Islam).

Beliau pun menutup pembahasan ini dengan sebuah statemen yang perlu untuk digarisbawahi dan dipedomani umat Islam, sebagaimana berikut:

فلا بد لنا أن نحافظ على هذه السمة المتميزة حتى لا يخرج الإسلام على هذا الإطار الوسطي الإعتدالي

“sebagai umat Islam, kita harus menjaga karakteristik khas Islam ini sehingga tetap terjaga dan tidak keluar dari bingkai moderasi yang menjadi prinsip dasarnya”.

Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A., Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A.? Silakan klik disini