Sampah, Konsumerisme dan Keislaman Kita

Disadari atau tidak, dunia tempat kita hidup ini sedang menghadapi tantangan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Kelebihan penduduk (over population), kekurangan pangan, kekeringan, penipisan sumber daya alam, penyakit, dan seterusnya menantang kemampuan manusia untuk bertahan hidup. Terlepas dari kemajuan kita di bidang-bidang seperti kedokteran dan teknologi, umat manusia menghadapi pertempuran panjang untuk menghadapi dan memecahkan tantangan-tantangan ini. Kita patut merenung, masa depan seperti apa yang akan ditinggali anak cucu kita? Tentu saja, jawaban atas pertanyaan ini muncul dalam tindakan kita sendiri. Mereka akan hidup di dunia yang kita tinggalkan.

Faktor penyebab

Untuk benar-benar mengatasi masalah kita, pertama-tama kita harus memahami penyebabnya, dan membangun strategi yang efektif untuk menyelesaikannya. Sebagai Muslim, kita harus menggunakan tuntunan agama untuk memahami aneka masalah baik dari aspek spiritual maupun materi. Sementara setiap tantangan memiliki penyebab uniknya sendiri. Banyak dari tantangan tersebut berkisar pada satu masalah spesifik yang berkaitan dengan perilaku manusia. Salah satunya adalah pemborosan, atau yang oleh sebagian orang disebut sebagai konsumsi berlebihan.

Manusia di masa kini terbiasa menggunakan, atau menyalahgunakan, sumber daya planet ini dengan cara yang mengarah pada krisis eksistensial. Dua komponen terpenting dari limbah berasalh dari makanan dan energi. Memecahkan dua masalah ini diharapkan dapat membentuk landasan kemampuan untuk menopang keberlangsungan masa depan, ketika populasi di planet Bumi akan meningkat menjadi sebanyak sepuluh atau lima belas miliar orang. Dari sisi spiritual, bagaimana kita bisa mengatasi masalah ini.

Baca Juga: Anak Luar Biasa Lahir dari Orang Tua Luar Biasa

Jawaban atas solusi ini adalah mulai lah dari diri kita sendiri, rumah kita, dan komunitas kita. Untuk memulainya, marilah kita mengingatkan diri kita sendiri tentang apa telah diajarkan ajarkan tentang pemborosan, dan tentang bagaimana kita harus menggunakan nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Allah memberi tahu kita dalam Al-Qur’an, “Anak-anak Adam! Pakailah perhiasanmu setiap kali Sholat; dan makan dan minum tanpa berlebihan. Karena Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (7:31)

۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Surah al-A’raf/7: 31).

Di antara penyebab paling umum dari kegemaran dan pemborosan kita adalah gemar dunia (hedonis),  ketidak tahuan, dan abai lingkungan.

Dari perspektif spiritual, orang beriman sadar bahwa hidup ini tidak dimaksudkan untuk menjadi surga, juga bukan tujuan permanen untuk menikmati dunia. Salah satu jargon orang yang cinta dunia adalah “nikmati lah hidup selagi bisa, karena kamu hanya hidup sekali. Secara teologis, ini adalah pernyataan yang salah. Allah SWT mengecam orang yang mencintai harta dan dunia secara berlebihan sampai-sampai mengabaikan anak yatim dan orang yang membutuhkan. Dia menyebutkan bahwa pada Hari Pembalasan mereka akan melihat api neraka, dan menyesali “Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.” (Surah al-Fajr/89:24).

Namun, berapa banyak dari manusia yang mengingat ayat ini saat menjalani kehidupan sehari-hari? Berapa banyak dari kita yang bertanya pada diri sendiri, “Akankah apa yang saya lakukan saat ini bermanfaat bagi di kehidupan yang akan datang?” Berapa banyak dari kita yang bertanya, “Apakah Allah SWT senang atas perbuatan saya?” Di sini lah letak masalahnya. Jika kita menjalani kehidupan kita sehari-hari hanya melihat dunia material semata, tapi abai akan konsekuensi spiritual maka sangat mudah bagi Setan untuk mengarahkan kita ke jalan sesat.

 “Santai!, Santai saja!, Nikmati dirimu!” Adalah bisikan yang selalu terngiang agar manusia abai dan sibuk menikmati dunianya diri sendiri. Memang Allah SWT Tuhan memberikan anugrah, dan manusia boleh menikmatinya, “jangan lupakan bagianmu dari dunia,” (Surah Al-Qashash/28:77). Tetapi sebagai orang yang beriman, kita harus berorientasi jauh ke depan; melihat bahwa tujuan kita adalah untuk menjalani kehidupan yang disukai Tuhan, sehingga Dia ridha, berbelas kasih, dan memasukkan kita ke dalam surga-Nya.

Sebuah analogi yang baik bagi seorang musafir, tidak perlu peduli betapa bagusnya kamar hotel yang ia singgahi. Ia akan mengerti bahwa singgah di sana untuk sementara waktu saja, sementara tujuan sejati adalah kediaman lain yang lebih abadi. Betapa ruginya jika seorang musafir rela menjual rumahnya hanya untuk pindah ke hotel, pada masa tinggalnya bersifat sementara dan suatu hari akan dipaksa untuk pergi (check-out).

Jika orang menyadari posisi kehidupannya, maka pola pikir akan bisa mengatur urusan duniawi secara bijak, termasuk bagaimana mengkonsumsi sumber daya materi. Ia akan cenderung untuk berhemat menggunakan energi, listrik, makanan, air, dan lain-lainya. Karena kita memahami bahwa apa yang telah kita korbankan dari harta ini, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang akan kita dapatkan sebagai hadiah dari Tuhan untuk pengorbanan yang begitu kecil. Bukan hanya menjadi mudah, tetapi justru menjadi menyenangkan, karena Allah SWT telah menjadi dalam setiap perbuatan baik, jika dilakukan dengan niat ikhlas, maka kebahagiaan dan ketenangan akan menjangkau jauh ke lubuk hatinya.

Faktor penyebab kedua adalah ketidaktahuan. Jika seseorang tidak langsung melihat masalah yang mempengaruhi, maka ia tidak akan menyadari bahaya yang ditimbulkannya. Para sarjana dan ilmuwan menyimpulkan bahwa berdasarkan tingkat pertumbuhan populasi dan konsumsi manusia saat ini, kita menghadapi krisis di depan kita. Kesimpulan ini bukan main-main, sumber daya kita terbatas, sementara tingkat konsumsi dan populasi meningkat. Maka wajar aneka sumber daya tersebut akan berkurang lebih cepat dari sebelumnya. Pada masanya kecenderungan berlanjut dan berdampak serius pada dunia di masa depan. Mendidik orang tentang kenyataan ini bukan tugas ilmuan semata, atau pemerintah melaikan kesadaran religius. Islam yang diyakini mengatur berbagai aspek kehidupan sepatutnya menjadi salah satu solusi terbaik.

Ajaran Islam memiliki langkah yang nyata dengan mengekang konsumsi berlebih, sambil membuat keputusan yang tepat tentang cara terbaik untuk menyeimbangkan kebutuhan saat ini, dan kebutuhan generasi mendatang—yang akan mewarisi planet setelah mereka. Ini adalah ejawantah dari misi kekhalifahan. Maka dari itu, ketidaktahuan tentang panduan yang diberikan Allah SWT kepada manusia melalui tuntunan para nabi sangat jelas. Manusia ditugaskan untuk menjaga bumi, tetapi sebagian besar berperilaku buruk, abai (ghaflah) yang menyebabkan mereka melupakan kebenaran Islam yang mengatur urusan duniawi dan ukhrawi.

Analogi tentang ini adalah dua kelompok manusia yang menaiki kapal yang sama. Rombongan pertama berada di geladak (lantai dasar) dan kelompok kedua di lantai dasar kapal. Rombongan yang berada di geladak harus naik untuk mendapatkan air, sehingga mengganggu masyarakat yang berada di atas geladak. Agar tidak mengganggu mereka, orang-orang di bawah memutuskan untuk membuat lubang di perahu untuk mendapatkan air. Jika orang-orang di lantai atas membiarkan mereka membuat lubang, mereka juga akan hancur, namun jika mereka menghentikannya, mereka akan diselamatkan bersama mereka. Inilah situasi kita dalam hal penggunaan dan penyalahgunaan sumber daya alam. Kita semua berada di kapal yang sama, dan kita harus bekerja sama untuk selamat dan bisa bertahan.

Manusia harus bisa menimbang konsumsi dan melakukan konservasi atas sumber daya yang dimiliki. Misalnya, bagi kita yang tinggal di Indonesia, sumber air berlebih, setiap orang bebas menggunakan air lebih dari 500 liter per hari, tetapi yang bijak adalah berhemat tidak lebih dari 300 liter per hari. Namun, dibandingkan dengan negara-negara di Arab, konsumsi sebesar 300 liter sebenarnya masih sangat tinggi. Memiliki lah pemahaman yang realistis tentang konsumsi, sesuaikan dengan kebutuhan dan sumber daya global agar bisa membuat keputusan yang arif untuk masa depan.

Bijak menggunakan harta

Dalam ayat lain, Allah SWT memberi panduan penggunaan harta agar tidak dikonsumsi sendiri. “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (Surah al-Isra`/17: 26-27). Ayat ini berbicara tentang sifat-sifat indah dari hamba-hamba-Nya yang dikasihi. Pada ayat lain Allah SWT berfirman,

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا

Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar. (Surah al-Furqan/25:67)

Dari ayat-ayat yang jelas dan ringkas di atas, kita dapat memahami pandangan Islam tentang dunia materl, dan bagaimana kita harus menggunakannya. Dalam berbagai tindakan manusia diperintah dan dipandu untuk moderasi (pertengahan) dan menjaga keseimbangan. Misalnya, membantu orang lain yang membutuhkan adalah sangat terpuji dalam Islam.

Baca Juga: Sikap Kepahlawanan Perempuan dalam Sejarah Islam

Sebagaimana Allah berfirman, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara pribadi maupun di depan umum, akan menerima pahala mereka dari Tuhan mereka. Mereka tidak perlu takut, mereka juga tidak akan bersedih hati (Surah al-Baqarah2: 274). Perintah ini mengingatkan kita untuk seimbang, dan mengelola urusan dengan cara yang produktif, baik secara fisik maupun spiritual.

Islam tidak menghendaki orang kaya untuk menjadi kikir, sekaligus tidak mendorong mereka untuk membelanjakan seluruh hartanya, baik untuk tujuan konsumtif, atau untuk beramal sekalipun. Dalam hadits, ada sebuah contoh yang terpuji, diriwayatkan oleh Sa’ad RA, bahwa Nabi SAW pernah mengunjunginya ketika dia sakit, dan dia berkata kepada Nabi SAW, “Anda lihat betapa sakitnya saya. Saya memiliki banyak harta tetapi tidak memiliki ahli waris. kecuali putriku satu-satunya. Bolehkah aku memberikan dua pertiga dari hartaku sebagai sedekah?” Dia berkata, “Tidak.” Saya berkata, “Setengah dari itu?” Dia berkata, “Tidak.” Aku berkata “Sepertiga?” Dia berkata, “Sepertiga terlalu banyak, karena meninggalkan ahli warismu kaya lebih baik daripada membiarkan mereka miskin, meminta-minta kepada orang lain. Tidak ada yang kamu habiskan untuk mencari keridhaan Allah tetapi kamu akan mendapatkan pahala untuk itu, bahkan untuk apa yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.”

Pendekatan holistik Islam terhadap kehidupan, khususnya bagaimana menggunakan sumber daya adalah model yang sangat dibutuhkan dunia. Meskipun kita percaya bahwa Tuhan adalah pemberi semua anugrah, kita dipandu untuk menggunakannya dengan cara yang masuk akal, sehingga anugrah itu dapat dibagikan kepada orang lain secara bijak. Ini hanyalah beberapa cara di mana kita dapat mengarahkan kembali hidup kita untuk hidup lebih bahagia dan sehat, dengan cara yang akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Mari berubah untuk lebih peduli dengan hal-hal kecil, yaitu keseharian yang biasa kita lakukan untuk merubah hal-hal besar. Perubahan positif dimulai dari diri sendiri dan sekitar rumah kita, seiring doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan sifat berlebihan dalam urusan kami..”. [].

Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA, Ustadz di Cariustadz.id