Kata talak sering kali memunculkan bayangan pahit: perceraian, perpisahan, kehancuran rumah tangga, bahkan tersisihnya perempuan hingga anak-anak. Banyak orang yang menganggap bahwa talak adalah senjata mutlak seorang suami untuk melepas istrinya kapan saja dia mau. Pandangan ini mungkin ada benarnya. Tetapi, jika hanya berhenti di situ, kita akan kehilangan makna mendalam yang terkandung dari adanya hukum Islam mengenai talak.
Islam tidak memandang perempuan sebagai pihak yang dapat dipermainkan dalam pernikahan. Justru sebaliknya, Islam memberikan aturan-aturan terkait kesetaraan dan keadilan dalam rumah tangga, termasuk dalam hal perceraian. Islam mengatur talak sedemikian detail sehingga tidak terjadi kezaliman terhadap salah satu pihak, yang pada umumnya dialami oleh pihak perempuan.
Di balik aturan yang terkesan keras bagi perempuan, ada hikmah mendalam yang menegaskan bahwa perempuan berhak atas kepastian, kehormatan, dan perlakuan yang layak setelah perceraian.
Aturan Talak dalam al-Qur’an
Talak bukanlah konsep yang lahir dari budaya patriarkis. Sebaliknya, konsep talak yang diatur oleh Islam mengubah kebiasaan talak kaum jahiliah yang patriarkis. Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 229 Allah berfirman:
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik…”
Ayat ini menegaskan bahwa talak tidaklah bebas tanpa batas, sebagaimana praktik kaum jahiliah. Ayat ini menegaskan adanya rujuk serta batas maksimal talak, yaitu tiga kali. Selain itu, disebutkan juga adanya prinsip ma’ruf (cara baik) yang wajib ditegakkan. Dengan kata lain, ini adalah mekanisme hukum, bukan luapan emosi.
Banyak yang masih menyangka bahwa talak yang diucapkan oleh seorang suami yang sedang marah besar tetap sah. Padahal, syariat menekankan bahwa talak harus dilakukan dalam kondisi sadar, tanpa paksaan, dan sebaiknya dilakukan di hadapan saksi. Karenanya, banyak ulama yang menyatakan bahwa talak yang diucapkan dalam keadaan marah besar tidaklah sah.
Aturan ini menunjukkan bahwa Islam melindungi perempuan dalam rumah tangga. Bayangkan tanpa adanya aturan ini, seorang istri dapat sewaktu-waktu diceraikan hanya karena masalah sepele yang membuat suami tersinggung.
Bahkan, ketika telah terjadi talak yang sah, seorang suami diberikan waktu untuk merenung: apakah talak adalah jalan terbaik, atau hanya ledakan sesaat?
Masa ‘Iddah: Waktu untuk Berpikir dan Melindungi Hak Perempuan
Salah satu bentuk penghormatan dan perlindungan Islam terhadap perempuan adalah adanya penetapan masa ‘iddah (masa tunggu) setelah talak. Perempuan dilarang menikah sebelum habis masa ‘iddahnya.
Namun, masa ‘iddah sejatinya bukan sebatas “waktu tunggu” bagi perempuan sebelum ia diperbolehkan untuk menikah lagi. Masa ‘iddah juga sebagai sarana agar: (1) suami memiliki waktu untuk merenung – apakah melanjutkan perpisahan atau kembali bersama, (2) istri terlindungi secara finansial – karena tetap berhak atas nafkah selama masa tunggu, dan (3) kejelasan nasab anak – bila istri hamil, sehingga nasab anak tidak diragukan.
Dengan ‘iddah, perempuan tidak dibiarkan begitu saja tanpa adanya kepastian. Ada waktu transisi yang dapat digunakan kedua belah pihak untuk merenungi jalan terbaik bagi keduanya – apakah tetap melanjutkan membuka ‘pintu darurat’ tersebut atau tidak.
Talak Adalah Pintu Darurat
Meskipun Islam memberikan aturan sah mengenai talak, ia bukanlah jalan biasa yang dengan begitu mudahnya ditempuh oleh keluarga mana saja. Melalui sabda Nabi Muhammad Saw, dijelaskan bahwa:
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Artinya, meskipun talak dibenarkan dan halal, ia bukanlah jalan yang ringan. Talak hanya menjadi jalan terakhir ketika rumah tangga benar-benar tidak dapat dipertahankan. Di sisi lain, Islam juga melarang suami mempermainkan talak. Misalnya, menceraikan lalu merujuk hanya untuk menggantung istri. Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 231 menegur praktik ini:
“Apabila kamu menceraikan istri(-mu), hingga (hampir) berakhir masa idahnya, tahanlah (rujuk) mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang patut (pula). Janganlah kamu menahan (rujuk) mereka untuk memberi kemudaratan sehingga kamu melampaui batas. Siapa yang melakukan demikian, dia sungguh telah menzalimi dirinya sendiri…”
Hak Istri Setelah Talak dan Perlindungan Hukum di Indonesia
Ketika talak sebagai jalan terakhir telah dipilih, Islam memastikan agar hak perempuan tidak hilang begitu saja. Perempuan tetap berhak atas nafkah selama masa ‘iddah, bahkan jika perceraian telah final, tanggung jawab atas nafkah anak tetap berada di pundak ayah. Perceraian pun harus dilakukan secara ihsaan – cara yang baik tanpa penghinaan dan pengusiran.
Di Indonesia, aturan ini ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI). Talak tidak sah hanya dengan ucapan sepihak di rumah atau di depan keluarga. Talak dapat sah secara hukum jika diucapkan di depan sidang Pengadilan Agama di hadapan hakim.
Mengapa hal ini penting? Karena dengan adanya prosedur pengadilan, hak-hak perempuan dapat terlindungi secara hukum positif: nafkah di masa ‘iddah, hak asuh anak, hingga pembagian harta bersama.
Ini jelas menunjukkan bahwa hukum positif Indonesia sejalan dengan hukum syariat Islam. Negara turut ikut serta dalam menjamin agar talak tidak menjadi alat penindasan, melainkan solusi terakhir yang tetap menjaga kehormatan dan martabat seorang perempuan.
Hikmah Aturan Talak dalam Islam
Setiap aturan memiliki hikmah yang dapat ditelusuri, termasuk dalam hukum talak. Ia bukan hanya sebagai jalan keluar dari rumah tangga yang tidak dapat dipertahankan, tetapi juga menjaga keseimbangan hubungan antar individu yang terikat di dalamnya.
Hikmah pertama adanya aturan talak adalah agar suami menyadari tanggung jawab yang diembannya. Ia tidak boleh berlaku sesuka hati dan gegabah walau memiliki hak untuk menjatuhkan talak.
Hikmah kedua adalah adanya jaminan hak-hak anggota yang terdampak akibat perceraian, dalam hal ini adalah istri dan anak. Keduanya tidak dapat diperlakukan seperti barang yang dapat dipakai dan dibuang begitu saja. Dan hikmah lainnya adalah agar masyarakat terlindungi dari kekacauan nasab dan sengketa yang mungkin muncul dari perceraian tanpa aturan.
Dengan demikian, talak adalah mekanisme hukum yang adil: tidak menutup kemungkinan untuk berpisah jika rumah tangga sudah tidak dapat diselamatkan, tetapi juga tidak memberi ruang bagi suami untuk bertindak semena-mena.
Dengan aturan talak, ditegaskan bahwa perempuan bukanlah objek yang dapat dipermainkan. Perempuan adalah manusia terhormat yang berhak atas kepastian, perlindungan, dan penghargaan.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini