Agama Islam tidak hanya mengajarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan secara vertikal, melainkan juga hubungan manusia dengan sesama manusia secara horizontal. Salah satu contoh relasi horizontal yang diajarkan Islam adalah menghargai sesama manusia tanpa pengecualian, baik melalui lisan (ucapan) maupun tindakan (sikap).
Dalam ajaran Islam, menghargai sesama manusia bukan hanya sekedar formalitas belaka, melainkan menjadi bagian dari wujud nyata ekspresi keimanan seseorang hamba kepada Allah Swt. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Siapa yang tidak menghormati/mengasihi, maka ia tidak akan dihormati/dikasihi oleh Sang Pencipta” (HR. Bukhari).
Hadis di atas menunjukkan secara gamblang ajaran untuk saling mengasihi, menghormati, dan menghargai sesama manusia tanpa pengecualian. Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan bahwa sifat Rahman Allah berlaku universal kepada siapa pun, baik muslim maupun non-muslim. Islam mengajarkan kita untuk menghargai sesama manusia tanpa melihat latar belakang (Fath al-Bari [10]: 596).
Oleh sebab itu, sudah selayaknya seorang muslim menghargai sesama manusia sebagai wujud implementasi nilai kerahmatan Islam. Nilai ini tidak hanya berlaku surut secara parsial bagi umat Islam, melainkan juga berlaku secara universal bagi seluruh manusia dan alam. Karena alasan itulah Islam disebut sebagai rahmat bagi alam semesta.
Secara sederhana, menghargai adalah bentuk sikap menganggap sesuatu bernilai atau tidak menganggap sesuatu sepele (sebelah mata). Sedangkan menghargai orang lain adalah menganggap orang lain berharga, tidak menyepelekan dan menganggapnya setara. Orang yang menghargai sesama manusia tidak akan merendahkan atau mengerdilkan orang lain.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana menghargai sesama manusia? Apa yang harus dilakukan? sikap menghargai sesama setidaknya dapat wujudkan melalui tiga aspek dalam keseharian, yakni 1) mentalitas, 2) sikap dan 3) institusional. Kehadiran sikap menghargai dalam ketiga aspek tersebut menjadikan nilai penghargaan berada pada titik paripurna.
Pertama, secara mentalitas. Wujud menghargai sesama manusia pertama kali dimulai dari kesadaran bahwa semua manusia sama, tidak ada yang lebih unggul ataupun lebih rendah. Adapun perbedaan yang muncul di antara manusia dalam berbagai segi adalah wujud keragaman yang tidak menunjukkan superioritas ataupun inferioritas.
Berkenaan dengan kesadaran akan kesetaraan manusia telah disampaikan Nabi Muhammad Saw. dalam penggalan sabdanya, “…Wahai segenap manusia! Sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa (Satu), dan nenek moyangmu adalah satu. Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab melainkan dengan takwa itulah…..” (Ar-Raḫîqul Makhtûm)
Sabda Nabi Muhammad Saw. di atas menunjukkan bahwa semua manusia sama, berasal dari asal-usul yang sama dan memiliki kedudukan yang sama. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Yang menjadi pembeda manusia di sisi Allah Swt. adalah ketakwaan dan pengukuran ketakwaan itu sendiri merupakan hak prerogatif Allah Swt.
Kedua, secara sikap. Tahap kedua menghargai sesama manusia dapat diwujudkan dengan sikap menghargai orang lain dalam keseharian. Misalnya, seorang guru memperlakukan murid-muridnya secara setara-simetris tanpa membeda-bedakan latar belakang mereka, baik dalam hal kekayaan, keturunan, golongan, budaya, maupun agama.
Nabi Muhamad Saw. dalam kesehariannya selalu mempraktikkan penghargaan kepada sesama manusia, termasuk non-muslim. Beliau bersabda, “Ingatlah! siapa berlaku aniaya terhadap seorang mu’ahad, menekannya, atau membebaninya dengan beban yang tidak mampu ia tanggung, atau merampas hak mereka, maka aku adalah orang yang akan memintakan pertanggungjawabannya (mu’ahad) kelak di hari kiamat” (HR. Abu Dawud).
Dalam kesempatan lain, diceritakan dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah berdiri ketika rombongan yang mengangkut jenazah seorang Yahudi lewat di depannya. Melihat peristiwa tersebut, para sahabat lantas berkata, “itu jenazah orang Yahudi ya Rasulallah.” Beliau menjawab dengan penuh ketegasan, “Bukankah ia (jenazah) juga manusia.”
Teladan yang ditunjukkan Nabi Muhammad Saw kepada kita mengajarkan bahwa semua orang punya kedudukan yang sama, setara, dan simetris. Oleh karena itu, tidak boleh ada sikap diskriminasi terhadap siapa pun, baik muslim maupun non-muslim. Nilai kesetaraan dan persamaan ini harus dijaga oleh setiap orang dalam setiap kondisi dan keadaan.
Ketiga, secara institusional. Tahap ketiga menghargai sesama manusia dapat diwujudkan dalam ranah institusional dengan cara menjadikan suatu institusi, mulai dari keluarga hingga negara, memiliki fondasi nilai kesamaan dan kesetaraan. Jika nilai menghargai sesama manusia bisa dilaksanakan dengan baik pada ranah institusional maka akan tercipta kehidupan berkeadilan.
Pada pembentukan Kota Madinah, khususnya Piagam Madinah, Nabi Muhammad secara institusional menghadirkan seluruh golongan masyarakat kota Madinah, baik muslim maupun non-muslim. Ini menunjukkan bahwa Nabi menghargai sesama manusia terlepas dari latar belakangnya. Hasilnya, Madinah menjelma menjadi kota persatuan yang berkeadilan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan pemeluknya untuk menghargai sesama manusia, baik secara mental, sikap maupun bermasyarakat. Pada hakikatnya setiap orang setara, tidak ada yang lebih tinggi ataupun yang lebih rendah, apa pun latar belakangnya. Yang membedakan seseorang di mata Allah Swt. hanyalah ketakwaannya (kebaikan dan manfaat). Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini