Ketika organisasi Muhammadiyah dideklarasikan pada tahun 1912, Nusantara masih dalam kondisi tercerai berai. Namun, jiwa dan akar kebangsaan telah dirasakan melekat dalam benak para pendiri dan pengurus Muhammadiyah. Gagasan tentang persatuan umat menjadi visi bersama para pendirinya dan setelah memasuki periode kepemimpinan KH. Mas Mansur (1936 – 1942) dan Ki Bagus Hadikusumo (1942 – 1953), Muhammadiyah tampil berperan aktif dalam merumuskan visi kebangsaan Indonesia. Melalui kepemimpinan kedua tokoh tersebut, Muhammadiyah aktif mewarnai pembentukan visi kebangsaan Indonesia. Harus digarisbawahi bahwa keduanya dalah cendekiawan yang mendalami ajaran Islam sehingga tidak mungkin mereka akan terlibat demikian jauh jika seandainya mereka beranggapan bahwa kebangsaan bertentangan dengan ajaran Islam.
Menjelang kemerdekaan (1942), Muhammadiyah kembali memainkan peran aktif khususnya pada periode kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo. Peran beliau dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) cukup besar dalam merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar (UUD). Beliau sangat bersemangat memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Pandangan beliau sangat jelas mendukung Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya.” Tapi akhirnya beliau dan tokoh-tokoh Islam, demi menjaga persatuan bangsa Indonesia yang beragam, bersedia menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Namun, perlu juga dicatat bahwa penghapusan itu tidak berarti pengabaian ajaran Islam karena rumusan yang akhirnya disepakati adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yang bagi umat Islam dipahami sebagai gambaran utama tentang makna tauhid yang merupakan dasar utama dari ajaran agama Islam.
Nahdlatul Ulama (NU) lahir secara resmi pada tahun 1926. Organisasi keagamaan Islam ini berkontribusi tidak kecil dalam menegakkan dan mengukuhkan kedaulatan bangsa Indonesia dan memperkokoh paham kebangsaan. Hakikat itu antara lain dapat ditangkap dengan memahami benih pembentukannya. Sebelum kelahirannya telah lahir sekian organisasi-organisasi yang dibentuk oleh sekian tokoh yang kemudian menjadi tokoh-tokoh NU. Organisasi-organisasi tersebut menggunakan kata nahdhah (kebangkitan). Salah satu di antaranya adalah Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Bangsa) di samping Nahdhah at-Tujjar (Kebangkitan para Pedagang) dan juga Tashwir al-Afkar yang penekanannya adalah pencerahan pikiran dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul dan tentu saja penjajahan Belanda yang sedang dialami bangsa Indonesia ketika itu.
Sikap kebangsaan tokoh-tokoh NU beserta para ulamanya tertanam kuat dalam sanubari mereka, antara lain bahkan terutama sejak mereka belajar dan memperdalam pengetahuan agama Islam di Makkah. Di sana mereka memperoleh pencerahan tentang pentingnya menentang penjajah dan keharusan menciptakan masyrakat Islam yang maju. Itu merupakan salahs atu sebab mengapa penjajah menghalang-halangi kepergian orang-orang Indonesia berkunjung ke Makkah.
Rasa kebangsaan itulah yang mendorong KH. A. Wahid Hasyim pada tahun 1945 menjembatani bahkan ikut mempertemukan wakil gerakan-gerakan Islam di satu pihak dan para wakil golongan nasionalis dalam PPKI, untuk menghapus istilah “negara Islam” dalam UUD 1945 dan mengganti rumusan “Dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya” dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dari teks UUD 1945.
Paham kebangsaan yang sejalan dengan tuntunan agama itu jugalah yang menggugah PBNU yang berkedudukan di Surabaya mengeluarkan sebuah seruan, yang kemudian dikenal dengan nama Resolusi Jihad, pada tanggal 22 Oktober 1945, sekitar 2 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Kegiatan organisasi-organisasi Islam selain kedua yang disebut di atas tidak jauh berbeda dalam konteks kebangsaan dan karena itu tidak perlu dikemukakan di sini. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa paham kebangsaan yang diserukan oleh para pendiri bangsa Indonesia sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama bahkan agama-agama. Ini dapat terbaca dengan jelas pada rumusan yang mereka sepakati dan yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 yakni Pancasila.
M. Quraish Shihab dalam Islam & Kebangsaan (Tangerang Selatan: Lentera Hati, November 2020), 122 – 127.