Menghitung bulan Ramadhan yang akan hadir dalam beberapa hari lagi, Masyarakat Muslim Indonesia sedang bersuka cita menyambut kedatangannya dengan berbagai kegiatan positif. Dimulai dari ramainya pasar Tanah Abang oleh segerombolan ibu-ibu yang berlomba membeli kebutuhan pasca Ramadhan dan hari lebaran. Tepat di hari senin kemarin, saya mengikuti acara munggahan yang dipersiapkan setiap bulan Sya’ban akan berakhir. Acara munggahan ini sudah melekat di Masyarakat Sunda apalagi kalangan jamaah Perempuan, kaum muda ataupun tua, berkumpul di suatu masjid atau Madrasah Diniyyah (sekolah agama) di kampung halaman. Beberapa kerabat dari kota Aceh, menyebutnya sebagai Mak Meugah, dan Megengan yang melekat di tradisi Jawa.
Secara Teologi, tradisi munggahan ini merupakan tradisi lokal yang dibalut dengan nilai-nilai yang tetap Islami. Tidak ada yang bertentangan, apalagi diperdebatkan di kalangan Indonesia. Tradisi ini hadir berkumpul untuk saling mendoakan, pada yang telah tiada ataupun yang masih ada; terdapat fikih sosial disana dengan berbagi nasi liwet, kue cuhcur, bahkan sedekah pada anak yatim; semuanya bertekad untuk saling membahagiakan dan bersama sama memanjatkan doa-doa kebaikan. Dari sini kita bisa lihat, tradisi munggahan dibangun atas peninggalan leluhur kita yang bukan hanya mementingkan ibadah fardi (individu), namun ibadah Ijtima’I (sosial) juga sebagai prioritas. Ibadah sosial ini juga dicontohkan pula oleh Nabi Muhammad Saw. yang gemar menyenangkan hati (Idkhal al-Surur) para sahabatnya. Dalam kitab al-Mawaidh al-Ushfuriyyah karya Muhammad bin Abu Bakar, mengutip hadis Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda,
“Barangsiapa yang memberikan kebahagiaan dan kegembiraan dalam hati saudaranya yang muslim saat di dunia, maka Allah Swt. akan menciptakan malaikat yang akan menolak seluruh musibah darinya. Ketika hari kiamat sudah tiba, maka ia akan menjadi sahabat sejatinya. Ketika terjadi sesuatu yang mengerikan, maka ia akan berkata : jangan takut! Lalu dia akan bertanya, siapakah engkau? Maka ia akan berkata lagi, aku adalah kebahagian dan kegembiraan yang engkau berikan pada saudaramu yang muslim waktu di dunia”.
Melihat tradisi munggahan di Tasikmalaya, peran komunitas Perempuan lebih aktif dan solutif dalam mengatur tradisi ini. Bukan memberikan nilai kesimpangan gender, namun ternyata kearifan local dalam kehidupan Perempuan sunda punya ciri khas yang menarik. Christina S.Handayani dalam artikelnya Kuasa Wanita Jawa menyebut bahwa peran Perempuan Sunda atau Jawa memiliki keselarasan dalam berfikir dan bertindak, yaitu sifat kesabaran dan mau diandalkan di lingkungan Masyarakat. Gotong royong yang dilakukan Perempuan Sunda dalam pembuatan cuhcur, kolak, ataupun nasi liwet, menunjukkan peran Perempuan dalam tradisi Sunda yang merupakan akulturasi dengan budaya Islam.
Saya bertanya pada salah satu ibu yang sedang menyiapkan hidangan di masjid’ “Bu, sabaraha artos ngaluarkeun kangge acara munggahan ieu? Geuning meuni sagala aya! (Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk munggahan ini? Semua makanan sangat bervariasi!. Ibu itu menjawab “satiap tatangga atos ditangtukeun saha wae anu bade sedekah, diniatan kangge sedekah ngocor ka para sepuh anu atos ngantun” (setiap tetangga disini ada pembagian rata siapa saja yang mau sedekah, munggahan ini diniatkan juga untuk para leluhur yang sudah tiada). Di beberapa wilayah, saya juga banyak diceritakan oleh kawan kuliah, Perempuan Jawa pun menjadi tokoh pertama yang erat di kegiatan Sadranan (tradisi Jawa). Hingga pada akhirnya, saya sebagai gen-z juga masih merasakan suka citanya tradisi munggahan di bangku kuliah dan kami (kaum Perempuan) menjadi tokoh utama. Menyambut puasa Ramadhan memang jihad melawan hawa nafsu, tapi ia juga membawa kesenangan bagi kami kaum Perempuan yang Ikhlas berbagi energi dan materi demi hangatnya Ramadhan.
Rifa Tsamrotus saadah,S.Ag, Lc, MA., Ustadzah di Cari Ustadz
Tertarik mengundang ustadz Rifa Tsamrotus saadah,S.Ag, Lc, MA.? Silahkan klik disini