Tiga Tirakat dalam Menggunakan Media Sosial

Semestinya, media sosial diperuntukkan dan dipergunakan untuk kepentingan silaturahim dan menebar informasi yang mencerahkan. Sayangnya, media sosial hari ini lebih banyak menyuguhkan informasi sampah dan tidak mendidik. Semua orang bisa mengomentari atau menyampaikan pandangannya seakan-akan ia mengetahui betul persoalan yang dikomentari, sehingga orang menganggap ia adalah ahli, padahal tidak. Fenomena semacam ini menurut Tom Nichols, ia sebut the Death of Expertise (matinya kepakaran).

Tom Nichols melukiskan era media sosial ini dengan, “These are dangerous times. Never have so many people had access to so much knowledge, and yet been so resistant to learning anything” (ini adalah masa-masa genting nan pelik. Belum pernah ada begitu banyak orang yang memiliki akses terhadap beragam pengetahuan, tetapi enggan mendalami sesuatu alias palugada, apa lu mau gua ada).

Karena itu, artikel ini akan mengulas bagaimana sikap kita dalam menggunakan media sosial dengan mengetengahkan tiga hal sebagai tirakat saat bermedsos. Tirakat yang dimaksud adalah menahan diri untuk tidak tergesa-gesa dalam menyikapi sesuatu. Dalam Islam, tirakat ini disebut imsak (menahan diri). Makna imsak lekat dengan puasa (shaum/ shiyam).

Tidak Mudah Kagetan

Afifuddin Dimyathi (Gus Awis), Ulama kharismatik Indonesia, menuturkan di antara tirakat dalam bermedsos ialah tidak mudah kagetan (Jawa: gumunan) dengan berita bombastis maupun bantahannya. Dalam bermedsos, kita harus mengedepankan prinsip apa (what), siapa (who) dan alasan apa yang melatari ucapan dia (why). Karena boleh jadi, dia hanya iseng dan ingin membuat gaduh alias bombastis untuk menaikkan traffic light medsosnya. Karena itu, Nabi saw pernah memperingatkan,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَ رِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Syahrin r.a, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (H.R. Muslim).

Menafisi hadis di atas, Maftukhin, Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, menuturkan

“Salah satu fungsi ilmu pengetahuan adalah melakukan prediksi-prediksi peristiwa yang akan datang. Dengan ilmunya itu, para ilmuwan dapat mengetahui peristiwa yang akan datang (meski tidak mutlak). Semakin dalam ilmunya, semakin matang pemahamannya, semakin tepat analisisnya, maka akan semakin tajam daya prediksinya. Sama dengan para ilmuwan, para spiritualis, para ahli ibadah, para sufi, para ahli tanggap rasa, juga dapat memprediksi peristiwa yang akan datang sesuai dengan kapasitas spiritualnya dan kedalaman waskitanya. Dengan begitu, para ilmuwan, para sufi, spiritualis, yang menguasai bidangnya, dalam menyelesaikan persoalan selalu proaktif, tidak kagetan, ora gumunan, karena sudah mengetahui apa yang akan terjadi. Karena itu, jika ada orang yang bersikap reaktif, mereka belum mencapai puncak keilmuan atau spiritualnya”.

Puasa menanggapi pertanyaan yang provokatif

Tirakat kedua dalam bermedsos adalah puasa menanggapi pertanyaan yang provokatif dan sentimentil. Tatkala sebuah isu digulirkan, opini liar publik kian bermunculan. Dalam hal ini, tidak ada lagi keseimbangan antara yang pro dan kontra, sebab memang yang dicari adalah bagaimana kedua kubu tersebut semakin bersitegang dan ending-nya saling menghujat di media sosial.

Jika sudah begitu, yang ada hanyalah pertikaian yang tak berkesudahan. Terlebih, cuitan seorang public figure ditunggu untuk menjadi pemantik tema dan menyeret sekian ratus/ jutaan followers untuk melegitimasinya. Hal ini tentu amat sangat disayangkan.

Dalam konteks inilah, Nabi saw memberi suatu solusi atau jalan tengah menyikapi persoalan semacam itu dengan berkata yang baik minimal, jikalau tidak bisa berucap yang santun lagi baik, diamlah.

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرًا أو ليصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari)

Pesan utama hadis di atas, seakan Nabi mengatakan kepada kita, “Wahai umatku, janganlah kalian suka mengomentari sesuatu yang tak kamu pahami, janganlah kalian gemar menjustifikasi sesuatu sebelum kamu teliti terlebih dulu, karena itu akan berdampak fatal pada dirimu serta orang di sekitarmu, maka sebaiknya kalian diam itu lebih bijaksana dan tidak membuat gaduh.

Dengan demikian, dapat dipahami Nabi saw mewanti-wanti siapapun untuk menjaga lisannya dan menyodorkan dua pilihan saja: berkatalah yang baik atau diam saja.

Mendahulukan Tabayyun (Klarifikasi)

Tirakat yang ketiga adalah mendahulukan tabayyun ketimbang terbawa arus. Allah swt memberi guideline,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 6)

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, menafsiri kata fatabayyanu dengan,

أمهلوا حتى تعرفوا صحته، لا تعجلوا بقبوله

“Tunggu sampai kalian tahu keabsahannya, jangan buru-buru menerimanya”.

Senada dengan al-Tabari, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, mengatakan telitilah kebenaran informasinya dengan menggunakan berbagai cara agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan tentang keadaan yang sebenarnya dan yang pada gilirannya dan dengan segera menyebabkan kamu atas perbuatan kamu itu beberapa saat saja setelah terungkap hal yang sebenarnya menjadi orang-orang yang menyesal atas tindakan kamu yang keliru.

Lebih dari itu, Shihab memberi catatan bahwa apabila dalam suatu masyarakat sudah sulit dilacak sumber pertama dari satu berita, sehingga tidak diketahui apakah penyebarnya fasik atau bukan, atau bila dalam masyarakat telah sedemikian banyak orang-orang yang fasik, maka ketika itu berita apapun yang penting, tidak boleh diterima begitu saja.

Dalam konteks serupa, lanjut Shihab, Sayyidina Ali ra. berkata: “Bila kebaikan meliputi satu masa beserta orang-orang di dalamnya, lalu seorang berburuk sangka terhadap orang lain yang belum pernah melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah menzaliminya. Tetapi apabila kejahatan telah meliputi satu masa disertai banyaknya yang berlaku zalim, lalu seseorang berbaik sangka terhadap orang yang belum dikenalnya, maka ia akan sangat mudah tertipu.”

Shihab menambahkan, bahwa banyaknya orang yang mengedarkan informasi atau isu bukan jaminan kebenaran informasi itu. Banyak faktor yang harus diperhatikan.

Demikianlah, tiga tirakat dalam bermedsos semoga kita mampu menahan diri untuk tidak merespon persoalan yang belum kita ketahui secara mendalam dan menyaring segala informasi agar tidak mudah digiring pada satu opini tertentu sehingga dapat mengotori kejernihan hati dan akal sehat kita. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini