Sikap Kepahlawanan Perempuan dalam Sejarah Islam

Ketika menyebut kata pahlawan, konotasi yang timbul adalah mereka yang tampil di garda depan memikul senjata untuk berperang membela kebenaran. Makna tersebut sebenarnya tidak bias jika merujuk pada makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di sana dituliskan, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Dalam khazanah Islam kepahlawan perempuan ini sering diperdebatkan. Apakah harus terjun ke publik atau cukup berperan di ruang domestik? Untuk menjawab pertanyaan ini menarik jika menggunakan hipotesa yang disampaikan oleh Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi dalam kitabnya Fiqhul Mar’ah.

Dalam kitab itu, beliau menuliskan bahwa kebebasan perempuan (al-Huriyyatul mar’ah) merupakan suatu keniscayaan (nisbi) sama halnya yang dimiliki oleh laki-laki. Artinya, perempuan memiliki kemerdekaan dalam menentukan pilihan, kreatifitas dan inovasi. Bahkan sampai dalam konteks kepercayaan (baca: akidah).

Baca Juga: Perempuan dan Masyarakat Jahiliah

Syaikh Mutawalli memberikan contoh, kasus istri nabi Nuh dan nabi Lut yang keduanya adalah utusan Allah. Tetapi tidak bisa memaksa keyakinan yang sudah dipilih oleh istri mereka. Sebagai pembanding Syaikh Mutawalli juga meyantumkan kisah istri Firaun yang dengan jumawa mengaku sebagai tuhan, tetapi dia tetap tidak bisa memaksa istrinya untuk ikut sama dengan keyakinannya.

Terkait kisah ini sangat populer dalam Al-Qur’an direkam dalam surah al-Tahrim ayat 10 dan 11. Berikut ayatnya:

ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَاَتَ نُوْحٍ وَّامْرَاَتَ لُوْطٍۗ

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Lut..”

Kemudian ayat setelahnya:

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا امْرَاَتَ فِرْعَوْنَۘ اِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِه وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ

“Dan Allah (juga) membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir‘aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”

Selain kebebasan dalam konteks keyakinan, perempuan juga memiliki kebebasan berinovasi baik dalam peranan kekuasaan maupun strategi politik. Dalam kriteria ini, Syaikh Mutawalli memberikan contoh kisah ratu Bilqis yang diabadikan dalam Al-Qur’an ketika memilih keputusan untuk menghadapi undangan Sulaiman. Jalur hadiah dan diplomasi yang dipilih untuk memenuhi undangan Sulaiman dinilai oleh Syaikh Mutawalli sebagai kreatifitas sang ratu. Padahal, kalau mengikuti saran dari para pejabatnya, maka jalur adu kekuataan fisik yang ditawarkan. Namun, Ratu Bilqis memilih jalur lain.

Kreatifitas perempuan juga pernah membuat heboh di era Nabi Muhammad, di antara kisah Khaulah binti Tsa’labah yang mengadukan permasalahan pribadinya kepada Nabi guna menuntut keadilan. Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya menuturkan cerita itu berkaitan dengan turunnya ayat 1 surah al-Mujadilah dengan mengutip Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah berikut ini:

 وَهيَ تشتَكي زَوجَها إلى رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ وَهيَ تقولُ : يا رسولَ اللَّهِ ، أَكَلَ شَبابي ، ونثرتُ لَهُ بَطني ، حتَّى إذا كبُرَتْ سِنِّي ، وانقطعَ ولَدي ، ظاهرَ منِّي ، اللَّهمَّ إنِّي أشكو إليكَ ، فما برِحَتْ حتَّى نزلَ جِبرائيلُ بِهَؤلاءِ الآياتِ

“Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, ia telah menghabiskan kecantikanku, dan perutku sudah terlalu banyak mengeluarkan anak untuknya sampai usiaku menua dan tidak bisa memiliki anak lagi, tetapi dia telah menziharku. Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu.”

Baca Juga: Peran dan Posisi Perempuan dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dalam Tafsir Hasiyah al-Shawi, aduan Khaulah tersebut karena ia tidak puas dengan keputusan yang diberikan Nabi Muhammad atas perilaku zihar yang dilakukan suaminya. Karena pada saat itu, hukum yang ada mengatakan hukum zihar itu adalah diceraikan. Dan itu dinilai Khaulah tidaklah adil. Atas aduan itu kemudian turun ayat 1 surah al-Mujadilah yang merupakan jawaban dari keresahan yang dialami Khaulah, yang itu sangat berpengaruh pada perubahan hukum zihar.

Dari beberapa contoh di atas menunjukkan sikap kepahlawanan perempuan yang populer dalam sejarah Islam. Meskipun kepahlawanan perempuan terkadang dikalahkan dengan peran mereka yang dominan pada wilayah domestik. Padahal kepahlawanan perempuan tidak bisa dilupakan dalam arus sejarah apapun, termasuk sejarah kemerdekaan bangsa dan negara dari penjajahan.

Muhammad Khoirul Anwar Afa, S.Ud, M.Ag, Dosen PTIQ Jakarta dan Ustadz di cariustadz.id