Maqashid al-Syariah: Memahami Tujuan di Balik Syariat Islam

Syariat Islam diturunkan untuk memberikan kemaslahatan yang sebesar-besarnya bagi umat manusia/ li tahqiq mashali al-ibad (al-Syathibi, Juz II, 1997: 324). Namun perlu didasari bahwa penerapan syariat itu dalam kehidupan harus sejalan dan merujuk pada maqashid al-syariah. Secara prinsip dyakini bahwa Allah Swt. tidak menetapkan sesuatu dengan sia-sia, bahwa dibalik apa yang ia syari’atkan terdapat maqāid (maksud-maksud), asrâr (rahasia-rahasia) dan hikmah tertentu (Al-Raisuni, 1999: 60).

Al-Syatibi menjelaskan bahwa pemahaman atas maqashid al-syariah sangatlah penting bagi seorang ulama yang ingin ber-ijtihad atau melakukan istimbat hukum. Pengetahuan akan maqāid al-syarī’ah akan mengantarkan pada hakikat dan fungsi dari suatu hukum tertentu yang ditetapkan di dalam syara’. Tanpa pengetahuan yang mumpuni atas maqāid al-syarī’ah dari suatu syara’, maka seorang mujtahid mungkin akan kurang optimal dalam menghadirkan hukum yang ideal.

Disamping itu, dalam proses istimbâth al-akam oleh para ulama/ mujtahid juga tidak terlepas dari pemahaman terhadap perkembangan pemikiran, budaya serta kondisi perubahan sosial yang terjadi, bukan pemahaman teks secara literal semata. Bahkan teks/ nash itu datang untuk menjelaskan dan mengobati kondisi yang ada. Seorang ahli fiqh yang benar adalah yang tidak tergantung pada teks literal saja dengan melupakan hikmah, maksud, asrâr, dan kondisi yang memiliki pengaruh dalam menetapkan hukum. Dengan hanya menempuh pendekatan literalis justru bisa membuat seseorang keliru memahami, dan akan menyesatkan kalau itu dikeluarkan dalam bentuk fatwa-fatwa hukum.

Istilah maqashid al-Syari’ah berdiri atas dua kata yakni maqāid dan syarī’ah. Maqāid merupakan bentuk mashdar dari kata: قصد- يقصد- مقصد- مقاصد yang berarti kesengajaan atau tujuan (Ibn Faris, Juz 5, TT: 1333). Dalam pengertian lughawi ini kata maqāid memiliki makna yang sama dengan kata: أهداف yang merupakan bentuk plural dari kata: هدفا yang diambil dari kata: هدف – يهدف – هدف – أهداف  yang bermakna غرض dengan bentuk jamaknya اغراص. Jadi bila dihuungkan dengan kata al-Syari’ah dalam bentuk kata majemuk (mudhaf mudhafun ilaih), yaitu kata : اهداف الشريعة , maka pengertiannya sama dengan مقاصد الشريعة yaitu tujuan disyari’atkan hukum tersebut dalam penerapannya (al-‘Alimi, 1993: 79).

Menurut Ahmad al-Raisuni, menjabarkan bahwa istilah maqāid pertama kali diperkenalkan oleh Turmudzi Halim, seorang cendekiawan muslim yang hidup sekitar abad 3 H, melalui karya-karyanya yaitu al-Shala wa Maqāiduh, al-Haj wa Asrâruh, al-‘llah, ‘Ilal al-Syarī’ah, ‘Ilal al-‘Ubûdiyah dan juga al-Furûq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi sebagai judul dari karangannya yang juga membahas perkara maqasid (al-Raisuni, 1992: 32).

Sementara itu kata syarī’ah adalah masdhar dari kata شرع. Menurut bahasa pengertiannya adalah “jalan yang lurus” (الطريقة المستقيمة). Kata syarī’ah muncul dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali, yakni dalam Q.S. al-A’raf: 7, Q.S. al-Syuara: 42-43, Q.S. al-Maidah: 48, dan al-Jatsiyah: 18, yang mengandung arti “jalan yang lurus yang membawa kepada kemenangan.” (al-Says, 1994: 5). Ahmad al-Raisuni mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan maqāid al-syarī’ah, yaitu: 

الغاية التي وضعت الشريعة لأجل تحقيقها لمصلحة العباد

(Tujuan ditetapkannya hukum syara’ adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi hamba)

Maka dapat dicerna bahwa maqāid al-syarī’ah merupakan tujuan dari didirikannya hukum dan sejatinya fungsi dihadirkannya hukum bukanlah untuk Tuhan namun semata-mata untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.

Inti dari maqāid itu sendiri ialah untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan yang ditujukan kepada manusia sekaligus mencegah hal-hal buruk menimpanya atau dalam istilah lain ialah jalb al-mashalih (memperoleh maslahat) (Mu’alim, 1999: 92). Sebab tujuan dari adanya hukum itu sendiri ialah dalam rangka menjaga dan menciptakan kemaslahatan dengan menjaga dan memelihara tujuan-tujuan syara’ (Abd al-Syakur, TT: 286-287).

Definisi dari mashalahah itu sendiri yang dianggap representatif dan baik hingga saat ini menurut Husain Hamid Hasan (1971: 42), adalah formulasi yang ditulis oleh al-Ghazali, sebagaimana berikut:

اما المصلحة فهي عبارة في الاصل عن جلب المنفعة أودفع المضرة ولسنا نعني ذلك جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق في تحصيل مقاصدهم، لكن نعني بالمصلحة على مقصود الشرعي, ومقصود الشرعي من الخلق خمسة وهي أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم نسلهم ومالهم فكلما يتضمن هذه الأ صول الخمسة فهو مصلحة وكلما يفوت هذه الأ صول فهو مفسدة ودفعها مصلحة.

Maslahah pada prinsipnya merupakan ungkapan yang menunjukkan aktivitas menarik manfaat atau menolak mudharat; namun bukanlah kami maksudkan aktivitas mengambil manfaat dan menolak mudharat sebagai tujuan hamba dalam merealisasikan maksud-maksudnya. Yang kami maksudkan dnegan mashlahah ialah memelihara maqashid al-Syar’i yang menjadi maqasid al-Syar’i itu adalah lima unsur: yakni memelihara: al-Din (agama), al-Nafs (jiwa), al-‘Aql (akal), al-Nasl (keturunan), dan al-Mal (harta). Apa saja yang menjamin terpeliharanya lima prinsip dasar ini, maka itu adalah mashlahah. Sebaliknya apa saja yang membuat terganggu atau sirnanya kelima prinsip dasar tersebut, maka itu adalah mufsadat. Mencegah dan menghindari munculnya mufsadat, itu adalah termasuk mashlahat.

Karena itu, Abdullah Darraz (1975, Juz II: 5-6) dalam argumennya yang menanggapi pandangan al-Syatbihi mengatakan bahwa tujuan fundamental yang Allah inginkan dalam hukum-Nya ialah terealisirnya al-mashlaah lil ‘ibâd (kemaslahatan bagi hamba) dalam kehidupannya di dunia sampai kehidupannya di akhirat. Untuk hal itu diperlukan pemahaman syari’at secara utuh dan pengamalan atau penerapannya secara baik.

Maqashid al-syari’ah dalam perkembangannya menjadi kajian yang menarik, bahkan dikatakan sangat beririsan dan fundamental dalam kajian filsafat hukum Islam (Djamil, 1997: 123). Pertanyaan-pertanyaan kritis yang dihadirkan dalam kajian ini menjadi alasannya. Filsafat hukum Islam maupun filsafat pada umumnya berupaya untuk mengupas sisi ontologis maupun epistemologis hukum yang tidak dijangkau oleh Ilmu Hukum. Maka filsafat hukum Islam dalam hal ini memainkan dua fungsi penting, yaitu: fungsi kritis dan fungsi konstruktif.

Fungsi pertama yakni fungsi kritis memiliki peran untuk mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang sebelumnya dianggap telah mapan dalam hukum Islam. Sementara fungsi konstruktif sebagai fungsi kedua memiliki peran untuk menyusun dan menyambungkan cabang-cabang keilmuan hukum Islam sehingga tidak terjadi dikotomi keilmuan. Sederhananya, dua fungsi ini memperlihatkan bahwa filsafat hukum Islam memberikan peluang untuk terus terbukanya pintu ijtihad dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan kritis di dalamnya serta berupaya untuk membawa banyak perspektif dalam membaca atau menetapkan suatu persoalan. Hal inilah yang kemudian ditemukan atau identik dengan kajian maqāid al-syarī’ah dan kehadirannya begitu diperlukan untuk mempertajam dua fungsi tersebut (Djamil, 1997: 123).

Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A., Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A.? Silakan klik disini