Bolehkah menolak perjodohan? Mungkin inilah pertanyaan yang acapkali muncul di benak individu yang sedang dijodohkan oleh orang tua. Topik ini cukup sensitif untuk diperbincangkan lantaran penolakan dari anak seringkali dianggap sebagai pertentangan atau bahkan “menyakiti” perasaan orang tua.
Persoalan penolakan perjodohan semakin kompleks manakala dihubungkan dengan dimensi keagamaan. Sebagai contoh, sebagian orang tua berkeyakinan bahwa menerima calon pasangan yang dianggap baik agamanya adalah kewajiban dan “pamali” atau tabu jika menolaknya, tanpa mempertimbangkan pandangan sang anak.
Artikel ini akan membahas secara sederhana tentang penolakan perjodohan dan merefleksikannya dalam kehidupan nyata. Refleksi ini bertujuan setiap individu, baik orang tua ataupun anak, yang terkait dengan perjodohan memahami bagaimana prinsip dasar perjodohan sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad Saw.
Hukum dasar perjodohan
Secara umum tidak ada larangan atau perintah secara spesifik untuk melakukan perjodohan. Namun, ada beberapa hadis yang dianggap sebagian orang sebagai dasar untuk segera menjodohkan anak, terutama perempuan, seperti hadis riwayat Tirmidzi yang berbunyi:
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, “Jika datang kepadamu seorang pemuda yang akan mengkhitbah (melamar) anak gadismu. Engkau ridha dengan agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah anak gadismu dengannya. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan muncul kerusakan yang nyata.” (HR. Tirmidzi).
Sebagian orang memahami hadis di atas sebagai alasan untuk segera menikahkan anak perempuan, tanpa mempertimbangkan pendapat sang anak. Padahal penekanan hadis ini bukanlah pada aspek tersebut, melainkan pada anjuran untuk menikahkan anak perempuan dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya.
Anjuran ini muncul karena pada waktu itu terdapat kecenderungan masyarakat untuk menjadikan kemulian nasab dan kekayaan harta sebagai syarat utama untuk menerima pinangan. Jika tren ini terus berlanjut, maka akan banyak pemuda dan pemudi membujang karena tidak memiliki harta. Akibatnya, dikhawatirkan akan terjadi fitnah yang besar seperti perzinahan dan sebagainya. Oleh karena itu, “syarat agama dan akhlak yang baik” menjadi prioritas Nabi Muhammad Saw.
Memang ada terdapat ayat dan hadis yang berbicara mengenai anjuran segera menikah jika telah mampu, namun dalil tersebut tidak berbicara spesifik pada hukum perjodohan. Karena itulah Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-5 pada tahun 1930 menyebutkan hukum perjodohan dalam Islam adalah boleh (mubah), karena tidak ada dalil sharih yang mewajibkan ataupun melarangnya.
Kendati demikian, terdapat sebuah hadis yang riwayat Ibnu Majah yang menjelaskan tentang keutamaan orang yang menjodohkan sesama muslim, yakni:
Artinya: “Hisyam bin Ammar telah menceritakan kepada kami: Mu’awiyah bin Yahya telah menceritakan kepada kami: Mu’awiyah bin Yazid telah menceritakan kepada kami: Dari Yazid bin Abu Habib, dari Abul Khair, dari Abu Ruhm, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Sebaik-baik pertolongan adalah menjodohkan dua orang (laki-laki dan wanita) dalam pernikahan.” (HR Ibnu Majah)
Dengan kata lain, meskipun hukum menjodohkan adalah mubah (boleh), namun terdapat keutamaan bagi orang yang menjodohkan atau menolong sesama untuk menikah, karena itu sama saja dengan menuntun dan menolong sesama muslim pada kebaikan. Setiap kebaikan pasti akan mendapatkan ganjaran dari Allah Swt.
Pertimbangkan Pendapat Anak
Walaupun menjodohkan anak dibolehkan, namun bukan berarti orang tua boleh bertindak semena-mena tanpa memprtimbangkan pendapat anak. Syekh Ali Jum’ah menyebutkan bahwa peran kedua orang tua dalam pernikahan adalah sebatas nasihat, tidak diperbolehkan bagi keduanya memaksa anak; baik laki-laki maupun perempuan untuk menikahi orang yang tidak ia senangi (Al-Bayan lima Yusyghilul Azhan: 68).
Sudah jadi rahasia umum, acap kali alasan orang tua menjodohkan anaknya adalah karena ingin melakukan yang terbaik bagi sang anak. Namun, keduanya juga harus menyadari bahwa juga ada kemungkinan pilihan yang mereka anggap baik itu tidak sesuai dengan kemauan anak yang dapat berujung pada ketidakharmonisan rumah tangga atau bahkan kegagalan pernikahan itu sendiri.
Berkenaan ini, Syekh Mustafa ar-Rahubani dalam Mathalibu Ulin Nuha Fi Syarhi Ghayatil Muntaha menegaskan, “Tidak boleh bagi orang tua untuk memaksa anaknya untuk menikahi orang yang tidak ia kehendaki, karena tidak akan tercapai tujuan dari pernikahan tersebut (sakinah mawaddah wa rahmah). Oleh karena itu, anak yang menolak perjodohan tidak dikategorikan sebagai anak durhaka.
Dalam perjodohan, Nabi Muhammad Saw telah memberikan teladan yang sangat baik, yakni dengan mempertimbangkan pendapat anak. Disebutkan bahwa saat Ali bin Abi Thalib melamar Fatimah, Rasulullah Saw tidak langsung menerimanya, melainkan menanyakan pendapat sang anak terlebih dahulu. Ini memberi isyarat kepada kita bahwa seorang ayah atau ibu harus mempertimbangkan pendapat anaknya.
Jaga Perasaan Orang Tua
Berdasarkan penjelasan di atas, hukum perjodohan adalah boleh (mubah). Artinya, menolak perjodohan juga boleh karena itu bukan kewajiban, terutama jika perjodohan tersebut dianggap tidak sesuai dengan keinginan pribadi yang mungkin berujung pada tidak tercapainya tujuan pernikahan. Dalam konteks ini, penolakan perjodohan mungkin akan lebih mendatangkan kemaslahatan.
Kendati demikian, bukan berarti seorang anak boleh melakukan penolakan secara kasar dan serampangan sehingga dapat menyakiti perasaan orang tua. Sebaiknya penolakan perjodohan dimulai dari obrolan hati ke hati antara anak dan orang tua agar dapat dipahami bersama alasan kenapa penolakan tersebut terjadi. Melalui langkah ini diharapkan orang tua dapat berbesar hati karena anaknya telah menolak.
Adapun jika orang tua tetap bersikukuh dengan pendapatnya dan sang anak juga tetap tidak ingin menerima perjodohan tersebut, maka solusi terbaiknya adalah dengan mencari penengah yang mampu mendamaikan keduanya. Untuk sampai ke tahap kesepahaman ini, diperlukan kedewasaan sikap baik oleh orang tua maupun anak.
Penting untuk diingat, walaupun terdapat perbedaan pendapat antara anak dan orang tua, keduanya tetap harus saling berbuat baik satu sama lain walaupun berbeda agama sebagaimana Nabi Muhammad Saw. Anak harus berbuat baik kepada orang tua selama tidak bertentangan dengan syariat, begitu pula sebaliknya, orang tua harus menjaga anak sebagai wujud tanggung jawab kepada Allah Swt. Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini