Mengkaji Moderasi dalam Nuansa Maqashidi II: Perihal Amar M’aruf dan Nahi Munkar

Al-amr bi al-ma’rūf (mendorong pada kebaikan) wa al-nahy ‘an al-munkar (mencegah dari perbuatan yang munkar) merupakan dua hal yang bersifat prinsipil dalam merealisasikan bagian dari maqāshid al-syarī’ah, baik itu hifdz al-dīn maupun mashlaah al-mujtama’. Abi mengurai bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar tidak bisa dipisahkan dari Islam itu sendiri. Sebab melalui keduanya Islam mampu menjaga eksistensinya sebagai agama yang membawa misi untuk meneguhkan kemashlahatan dan menolak kemafsadatan, baik dalam skala individu, keluarga dan umat. 

Dua ayat al-Qur’an, Q.S. Ali Imran: 104; 110, memperlihatkan bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan karakteristik yang harus ada pada umat Islam. Pada Q.S. Ali Imran: 104, umat Islam diperintah untuk menjadi umat yang mampu menyeru pada kebaikan serta melalukan amar ma’ruf dan nahi munkar.

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ 

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. *Makruf adalah segala kebaikan yang diperintahkan oleh agama serta bermanfaat untuk kebaikan individu dan masyarakat. Mungkar adalah setiap keburukan yang dilarang oleh agama serta merusak kehidupan individu dan masyarakat.”

Lalu pada Q.S. Ali Imran: 110, Amar ma’ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah menjadi karakter yang turut membawa umat Islam menjadi khaira ummah (umat terbaik)

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ 

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”

Maka, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Abi mengilustrasikan bahwa jika ada orang yang hanya melakukan amar ma’ruf dan enggan melakukan nahi munkar ataupun sebaliknya, maka sama halnya dengan orang yang membangun rumah namun tidak sama sekali menghiraukan tentang potensi adanya hal-hal tertentu yang bisa menghancurkan rumahnya (ka man banā baitan wa lam yubāli bi man yudammiruh).

Abi kemudian menjelaskan metode yang harus ditempuh dalam mengaktualisasikan amar ma’ruf dan nahi munkar. Beliau menegaskan bahwa keduanya harus dilakukan dengan cara yang baik dan bijaksana. Maka, tidak diperbolehkan apabila amar ma’ruf dan nahi munkar dipraktikkan dengan cara-cara yang membawa kekerasan dan justru keluar dari koridor “baik dan bijaksana”. Seperti halnya melakukan nahi munkar dengan menggunakan praktik-praktik yang tidak manusiawi, yang sama sekali tidak mencerminkan jati diri Islam itu sendiri.

Praktik-praktik amar ma’ruf dan nahi munkar semacam itu malah akan membuat hilangnya simpati orang-orang terhadap Islam dan bahkan bisa sampai menolak kehadiran Islam itu sendiri. Model amar ma’ruf dan nahi munkar semacam itu sudah sangat jauh dari esensi ajaran Islam yang tercermin dalam pribadi Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dalam Q.S. al-Anbiya: 107, wa mā arsalnāka illa ramatan li al-‘ālamīn (dan tidaklah aku utus engkau wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta), serta dalam hadis yang mengabadikan statemen Nabi Saw. ketika diminta untuk mendoakan keburukan bagi orang musyrik: innī lam ub’ats la’ānan wa innamā bu’itstu ramatan (aku tidak diutus sebagai laknat, akan tetapi aku diutus sebagai rahmat).

Metode profetik yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. menjadi model ideal sekaligus uswah asanah bagi siapa pun yang ingin menunaikan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar. Tidak boleh ada paksaan, kekerasan, apalagi laknat dalam setiap tindakan yang mendorong pada kebaikan dan mencegah dari pada keburukan. Maqāshid dari amar ma’ruf dan nahi munkar itu sendiri ialah meneguhkan eksistensi agama (ajaran dan nilai) serta kemashlahatan sosial, maka bagaimana mungkin hal itu bisa tercapai dengan cara-cara yang justru berpotensi merusak citra agama serta menciptakan kegaduhan sosial?

Oleh sebab itu, kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kewajiban yang harus ditunaikan dengan metode dan cara-cara tepat serta harus berlandaskan pada prinsip-prinsip fundamental Islam itu sendiri. Ada tiga prinsip dasar yang ditekankan oleh Abi untuk dipegang dalam hal ini yaitu ‘adl, isān dan al-akhlāq al-karīmah. Ketiganya akan mengantarkan dakwah Islam (amar ma’ruf-nahi munkar) sebagai aktivitas yang tidak hanya dilakukan untuk menunaikan kewajiban, namun sekaligus memperteguh eksistensi Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan, etika dan kasih sayang.

Terakhir, Abi menegaskan kembali bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap umat Islam tidak terkecuali. Karena siapa pun yang meninggalkannya, maka sejatinya ia telah membiarkan kerusakan terjadi dalam tubuh umat. Maka umat Islam yang ideal adalah yang melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar dengan formatnya yang paling baik, dan dengan hal itu umat Islam layak menyandang statusnya sebagai khaira ummah serta merealisasikan maqāshid di balik kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar.

Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A., Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A.? Silakan klik disini