Tidak Ada Kegiatan yang Lebih Membahagiakan Selain “Pulang”

Agama menjanjikan pahala dua qirath—setara dua gunung—bagi siapa pun yang mengikuti prosesi jenazah sampai ke liang lahat. Namun, lebih dari sekadar pahala besar, ittibā’ al-janā’iz adalah latihan batin yang membuka ruang perenungan yang tidak bisa diberikan oleh nasihat apa pun.

Saat mengantar jenazah, kita melihat bagaimana seluruh keagungan manusia perlahan runtuh. Seseorang yang dulu hidup dengan keluarga paling harmonis, punya rekan kerja yang kompak, dihormati circle pertemannya, mungkin seorang bos yang disegani, bahkan kiai yang dimuliakan—pada akhirnya tetap berdiri sendiri di hadapan liang kubur. Tidak ada satu pun yang menemani lama-lama. Semua berhenti tepat di tepi gundukan.

Di momen itu, sabda Nabi SAW terasa begitu kuat:


“عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ وَأَحْبِبْ مَنْ أَحْبَبْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ لَاقِيهِ” 

“Hiduplah sesukamu, karena engkau pasti mati; cintailah siapa pun yang engkau suka, karena engkau pasti berpisah dengannya; dan berbuatlah sesukamu, karena engkau pasti menerima balasannya.”
(HR. al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 10394)

Sebesar apa pun cinta kepada siapa pun atau apa pun, relasi itu selalu memiliki ujung: kita meninggalkan mereka, atau mereka meninggalkan kita. Hanya satu yang bertahan: amal. Jika amal itu baik, kubur berubah menjadi raudhatun min riyādhil jannah (taman dari kebun surga); jika buruk, ia menjadi hufratun min hufarin nīrān (galian dari lubang neraka).

Ketakutan pada Kematian

Di titik ini banyak orang menganggap kematian sebagai momok. Seolah ia adalah kutukan yang menakutkan. Padahal, ketakutan itu lebih banyak berasal dari bayangan buruk kita terhadap kematian: balasan dosa, siksaan, gelap, kesepian. Semua mengerikan jika yang tersisa hanyalah penyesalan. Namun Islam justru memperbaiki cara pandang itu.

Kematian sebagai Makna “Pulang”

Dalam tradisi Islam, mati tidak dilihat sebagai musibah absolut. Perhatikan bagaimana Al-Qur’an mengajarkan ucapan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.” Kita adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah kita kembali. 

Kata rāji‘ūn disini juga berarti pulang.

Dan pulang adalah diksi yang menenteramkan.

Bukankah pulang selalu identik dengan rasa aman dan lega? Pulang sekolah, pulang kerja, pulang kampung, pulang liburan. Bahkan 3 bulan sebelum lebaran, tiket mudik sudah di-booking secara kolosal. Mari kita renungkan: apa kegiatan yang lebih membahagiakan dari pulang? Bahkan orang yang sedang berlibur—dalam suasana paling menyenangkan sekalipun—sering tiba-tiba merasa homesick, kangen rumah, rindu kasur sendiri, rindu aroma dapur, rindu kehadiran orang-orang di rumah. Sejauh apa pun seseorang pergi, detak hati manusia selalu menuntun ke satu arah: pulang.

Karena yang paling menyedihkan bukanlah kematian itu sendiri, tetapi ketika seseorang tidak tahu jalan pulang. Atau punya rumah, namun takut kembali ke sana.

Di sinilah ajaran Nabi SAW memberi pegangan: bagaimana agar perjalanan pulang itu tidak menyeramkan, tetapi justru menenangkan.

Syukuri Kematian Sebagai “Rem” dari Potensi Kemaksiatan

Rasulullah mengajarkan sebuah doa yang sering dibaca para imam setelah salat:


“اللَّهُمَّ اجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ”

“Ya Allah, jadikan hidup ini kesempatan untuk menambah segala kebaikan, dan jadikan kematian sebagai istirahat dari segala keburukan.” (HR. Muslim no. 2682)

Makna doa ini begitu indah: hidup adalah ladang kebaikan, sedangkan kematian adalah pintu istirahat dari segala potensi kezaliman, kedegilan, dan maksiat yang mungkin kita lakukan.

Di tengah keruhnya peradaban hari ini, manusia hampir mustahil benar-benar menghindari semua kesalahan. Maka dengan perspektif ini, kematian bukan akhir yang menakutkan, tetapi rem terakhir dari segala keburukan yang mungkin muncul.

Mengingat Mati untuk Menjernihkan Hidup

Mengingat kematian bukan dimaksudkan untuk membuat hidup terasa suram, tetapi justru untuk menjernihkan langkah. Ia menempatkan kita pada kesadaran bahwa hidup ini hanyalah perjalanan singgah—dan kita sedang menuju rumah yang sebenarnya. Karena itu, setiap hari adalah kesempatan untuk menata bekal, memperbaiki arah, dan memastikan bahwa ketika waktu pulang tiba, kita tidak datang dengan tangan kosong.

Sebab “pulang” hanya menakutkan bagi mereka yang tidak tahu apa yang akan dibawa. Bagi yang menyiapkan bekal, pulang adalah kabar baik.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini