Cara Islam Menjawab Tantangan Pendidikan Anak: Merawat Akal, Merawat Hati

Mari kita memulai tulisan singkat ini dengan satu pertanyaan sederhana: “Mengapa pendidikan anak dalam Islam selalu terasa relevan, bahkan di tengah gempuran zaman digital, TikTok, dan segala macam “tren” yang kadang bikin orang tua geleng-geleng kepala?” Jawabannya, Islam mempunyai fondasi yang kokoh—bukan sekadar aturan, tetapi juga spirit merawat akal dan hati.

Islam tidak pernah memisahkan antara kecerdasan intelektual dan kebijaksanaan batin atau hati. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا


“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” (QS. Thaha:114)

Ayat ini bukan sekadar perintah belajar, ayat ini juga bukan sekedar peringatan dari Allah kepada Nabi Muhammad agar tidak perlu tergesa-gesa dalam membaca Al-Qur’an karena takut lupa (At-Tusi, At-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an). Tetapi, ia juga sebuah pengakuan bahwa ilmu yang kita punya tak pernah cukup. Anak-anak kita, sejak dini, diajak untuk menjadi pencari ilmu seumur hidup. Tetapi, bagaimana caranya agar semangat ini tetap menyala di tengah tantangan zaman?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita menengok ungkapan Imam Al-Ghazali yang amat indah di dalam Ihya’ Ulumuddin. Ia menulis:

“الولد أمانة عند والديه، وقلبه الطاهر جوهرة نفيسة ساذجة خالية من كل نقش وصورة، وهو قابل لكل ما نقش، ومائل إلى كل ما يمال به إليه.”

Artinya: “Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci bagaikan permata yang belum terukir, siap menerima apapun yang diukirkan padanya, dan cenderung kepada apa pun yang diarahkan kepadanya.”

Di sinilah letak tantangan sekaligus peluang. Keluarga Muslim, dengan segala kehangatan dan juga “drama” di dalamnya, adalah tempat anak belajar tentang cinta, adab, dan makna hidup. Namun demikian, memang perlu diakui bahwa di era digital peran keluarga sering “ditantang” oleh gadget dan media sosial. Maka, di sinilah relevansi ungkapan al-Qur’an bahwa sungguh Rasulullah SAW. adalah teladan yang baik. (Al-Ahzab:21)

Dengan kata lain, Nabi mengajarkan agar kita jangan hanya sibuk menasihati, tetapi hadirkan teladan. Anak-anak lebih mudah meniru daripada mendengar. Dalam banyak riwayat misalnya disebutkan bahwa Nabi sering memeluk dan mencium anak kecil. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad mencium Hasan bin Ali dan saat itu Al-Aqra’ bin Habis bersamanya. Al-Aqra’ berkata, “Aku memiliki sepuluh anak, dan aku belum pernah mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah pun memandangnya dan berkata, 

مَنْ لَا يَرْحَم لَا يُرْحَمُ

“Barangsiapa yang tidak menunjukkan belas kasihan, maka ia tidak akan dikasihani.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks pendidikan, ada juga sebagian orang tua yang kurang percaya atau belum yakin dengan anak putrinya  untuk menempuh pendidikan tinggi. Dalam contoh yang lebih luas, pelarangan perempuan untuk belajar mungkin terwakili oleh Afghanistan yang sangat membatasi bahkan melarang pendidikan menengah dan tinggi bagi anak perempuan (Basir Ahmad, women’s education in contemporary Afghanistan). 

Padahal dalam penelitian Sumaia A. Al-Kohlani “Educational gender inequality in the Muslim world: A problem of a cultural heritage, religion, or modernization?” Di negara-negara Muslim non-Arab, modernisasi dan kebijakan pendidikan yang inklusif justru mendorong anak perempuan untuk maju. 

Suara mereka yang mendukung keadilan dalam pendidikan sejatinya sesuai dengan ajaran Islam sendiri, yakni “فَاسْتَبِقُواالْخَيْرَاتِ” atau “Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148). Laki-laki dan perempuan, sama-sama didorong untuk menjadi yang terbaik dalam kebaikan. Tantangannya sekarang adalah apakah sekolah dan keluarga mampu dan mau membuka ruang yang setara, tanpa membiarkan tradisi menutup peluang anak untuk berkembang?

Di negara minoritas Muslim, seperti Belanda atau Amerika, anak-anak Muslim kadang menghadapi diskriminasi. Penelitian Lucía Torres menunjukkan, pengalaman negatif di sekolah bisa menurunkan rasa percaya diri dan identitas nasional anak (Barriers to inclusion of Muslim migrant students in western schools). Tetapi, ketika guru dan lingkungan sekolah mampu menciptakan ruang yang inklusif, anak-anak Muslim justru tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan terbuka.

Maka dari itu, lingkungan sekolah, guru, bahkan anak didik juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kita semua punya peran penting dalam membangun ekosistem pendidikan yang sehat.

Satu hal yang tidak boleh hilang dalam proses pendidikan anak adalah tradisi keagamaan. Sebagai orang tua muslim, tentu kita punya andil besar dalam menanamkan tradisi  dan nilai keagamaan seperti shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an, ucapan sopan, gotong royong, dll. Tradisi baik ini akan mengurangi mereka dari paparan gadget dan tantangan digitalisasi yang terus mengintai.

Dari sini terlihat bahwa keluarga, sekolah, dan masyarakat harus saling menguatkan. Jangan biarkan anak-anak kita berjalan sendiri di tengah derasnya arus globalisasi. 

Pendidikan anak dalam Islam bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga penanaman nilai, karakter, dan cinta. Tantangan zaman boleh berubah, tetapi spirit Islam untuk merawat akal dan hati tetap abadi. Mari kita rawat bersama, agar anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang cerdas, berakhlak, dan siap menghadapi dunia—tanpa kehilangan jati diri.

Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum Blora dan Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini