“Jangan mendewakan ulama lah, kan dia juga manusia. Butuh makan juga, seperti kita. Mereka bisa salah. Lebih baik langsung saja mengikuti apa kata al-Quran dan hadis. Pasti benarnya itu.”
Beberapa kali kita mungkin sering mendengar argumen di atas. Sekilas, tampak benar. Tetapi, sebenarnya ditinjau dari berbagai arah tampak sekali bahwa pernyataan itu problematis. Minimal kita coba simak beberapa hal. Pertama, pernyataan itu sedang menihilkan peran ulama dalam konteks keberagamaan. Seakan semua orang bisa langsung memahami semua hal terkait urusan keagamaan berdasarkan al-Quran dan hadis nabi. Padahal, tidak semua orang terlatih dan pernah mengikuti latihan untuk urusan ini.
Contoh paling sederhana adalah, saya pernah bertanya tentang kenapa dalam bacaan bismillah huruf hamzahnya hilang (بسم), sementara dalam ayat pertama surah al-Alaq huruf hamzahnya tercantum dengan jelas (باسم), padahal keduanya dibaca sama? Ketika kebingungan dalam menjawab, biasanya saya mengakhiri diskusi dan mengajaknya membahas yang lain yang enteng-entengan saja. Tetapi, ketika dia bisa menjawab, saya mengajukan pertanyaan, “antum dapat pengetahuan itu dari mana?”
“Dari Ustadz Fulan.”
Maka, jawaban itu sekaligus adalah jawaban mengapa kita membutuhkan ulama.
Kedua, tidak ada santri atau umat yang menilai bahwa ulama itu malaikat, sehingga selalu benar. Adapun penghormatan kita kepada mereka itu justru berdasarkan keteladanan yang dicontohkan oleh guru-guru kita ketika mereka berinteraksi dengan guru-guru mereka. Betapa sering kita melihat seorang kyai yang kealimannya begitu masyhur tetapi sangat takzim dan salim bolak-balik gurunya atau kyai yang lebih sepuh. Contohnya, betapa sering kita melihat bagaimana Gus Bahaudin Nursalim yang hendak nyucup tangan KH Mustofa Bisri; atau misalnya KH Kafabihi Mahrus Lirboyo yang salim dan takzim kepada KH Nurul Huda Jazuli Ploso.
Sikap yang kita tunjukkan kepada para ulama seperti itu bukan berarti kita menilai atau menganggap bahwa mereka tidak punya salah. Tidak. Bagaimana pun, tidak ada di dunia ini makhluk yang maksum selain Nabi Muhammad. Semuanya punya potensi salah. Tetapi, setidaknya kesalahan yang mereka lakukan itu berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Dan justru berpahala karena itu. Bukankah Nabi Muhammad bersabda dalam salah satu hadisnya, “Barangsiapa berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala; bila ijtihadnya keliru maka pahalanya satu.”
Kalau ulama yang memiliki pengetahuan seluas samudera saja bisa salah, apatah lagi yang pengetahuannya hanya setetes air? Kesalahannya bisa berkali-kali dan tak mendapatkan pahala pula.
Ketiga, untuk bisa memahami al-Quran dan hadis nabi itu membutuhkan perangkat pengetahuan yang cukup kompleks. Apalagi untuk ukuran kita sekarang. Bukan hanya harus menguasai ilmu seperti nahwu, shorof, balaghah, ulumul quran, dan ulumul hadis, melainkan juga memahami konteks kitab atau mengapa seorang ulama mengarang kitab tertentu. Bagi yang baru menamatkan Jurumiyah, tentu tidak akan bisa membaca Fathul Muin apalagi Fathul Wahhab. Kemungkinan baru bisa memahami Fiqhul Wadhih, kitab fikih dasar paling sederhana. Itu pun belum tentu bisa memahami secara keseluruhan.
Hanya orang-orang yang menguasai spesifikasi tertentu yang bisa menjelaskan keterkaitan antara ayat al-Quran atau Hadis Nabi, apalagi untuk menyajikan jawaban pertanyaan-pertanyaan atas persoalan terkini. Mereka inilah yang kita sebut sebagai ulama, yang secara harfiah bermakna “orang berilmu”. Mereka bisa menjelaskan sebuah tema melalui berbagai perspektif dan dengan beragam pendekatan berkat pengetahuan mereka yang luas.
Bukankah Islam mendukung kesetaraan semua manusia, sehingga mendorong banyak dari kalangan budak untuk menjadi muslim? Memang betul. Semua manusia itu istimewa dan posisinya sama di hadapan Allah, tetapi yang membedakan adalah kualitas ketakwaannya. Bilal ibn Rabbah yang budak statusnya sama dengan Abu Bakar Shiddiq yang seorang pengusaha dan bangsawan Mekkah. Islam memberikan perasaan kesetaraan.
Tetapi, di satu sisi, yang harus kita ingat adalah sudah menjadi sunnatullah bahwa selalu ada yang kita namakan sebagai “tingkatan”. Dalam sosiologi dinamakan sebagai strata. Berkat adanya strata inilah sistem bermasyarakat berjalan. Ada pemimpin, ada yang dipimpin; seseorang disebut imam karena ada makmum di belakangnya. Dan, berdasarkan logika ini pula Allah memberikan ilustrasi yang mudah sekali dipahami tentang perbedaan antara orang beriman dan berilmu dan yang tidak.
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kami dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Al-Misbah, Vol. 13, ketika menafsirkan ayat ini menceritakan salah satu riwayat tentang turunnya ayat ini. Kejadiannya pada hari Jumat dan Rasulullah Saw. sedang berada di satu tempat yang sempit. Sudah menjadi kebiasaan beliau untuk memberikan tempat khusus kepada para sahabatnya yang ikut Perang Badr. Tetapi, karena tempatnya sempit maka Nabi meminta para sahabatnya yang tak ikut Perang Badr untuk bergeser dan memberikan tempatnya kepada Ahli Badr. Tapi, ini menjadi gunjingan bagi kalangan munafik dan menuding Nabi membeda-bedakan sahabat. Padahal, maksud Nabi adalah memberikan tempat khusus kepada Ahli Badr sebagai penghormatan kepada mereka. Maka, turunlah ayat itu yang memberikan kelegaan bagi para sahabat, baik Ahli Badr maupun bukan. Mereka pun mengikuti tuntunan Nabi Saw.
Hemat Prof. Quraish, ayat ini tidak secara tegas menyatakan akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi, menegaskan bahwa mereka memiliki “derajat-derajat”, yakni yang lebih tinggi daripada yang sekadar beriman. Ayat ini membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yaitu sekadar beriman dan beramal saleh dan beriman dan beralam saleh dan memiliki pengetahuan. Tetapi, dengan syarat ilmu itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang diperoleh, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu beda kualitas seorang yang bertungkus lumus dengan ilmu pengetahuan sekujur hidupnya dengan yang bukan. Lebih saleh, alim, bijaksana. Menghiasai dirinya dengan ilmunya. Kita ingat bagaimana sikap Imam Syafi’i ketika ingin belajar kitab Muwatho kepada Imam Malik di Madinah, yaitu dengan menghafalkan seluruh isinya terlebih dahulu dan baru menghadapnya sambil memperlihatkan sikap tawadlu dan rendah hati. Sehingga sikapnya memikat hati Imam Malik.
Jika ulama sekelas Imam Syafi’i saja begitu takzim kepada gurunya, mengapa kita tidak mengikuti keteladanannya dalam menghormati ulama?
Dan memang, kita menghormati dan takzim kepada para ulama berdasarkan ilmu yang mereka kuasai. Bukan dalam rangka mengangkat mereka menjadi dewa, tetapi dalam rangka untuk mengikuti tuntunan yang Allah berikan dalam al-Quran dan keteladanan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para ulama yang beriman, beramal sholeh, dan berilmu. Wallahu a’lam bish-showab.
Muhammad Husnil, S.S.I, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Muhammad Husnil, S.S.I? Silahkan klik disini