“Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. (Hadits Riwayat Muslim/ 162).
Demikian penggalan sabda Rasulullah pada Nabiyallah Musa as dalam suatu hadits yang diriwayatkan dalam beberapa Riwayat—salah satunya Imam Muslim— ketika Nabi Musa meminta Rasulullah untuk memohon keringanan jumlah bilangan waktu shalat fardhu. Jika kita cermati dialog Rasulullah dengan Nabi Musa, bukan tanpa alasan Nabi Musa meminta beliau untuk memohon keringanan bilangan waktu. Nabi Musa berkaca pada kaumnya, Bani Israil, yang enggan menjalani ibadah yang telah ditetapkan. Nabi Musa as ragu, apakah umat Rasulullah mampu melakukan ibadah shalat fardhu 50 waktu yang kelak pertama kali akan dihisab itu?
Sungguh pun Rasulullah turut mempertimbangkan bilangan waktu shalat yang membuat Nabi Musa terasa berat, ada rasa malu kepada Allah sehingga beliau tak sampai hati berbuat. Dengan penuh keluhuran akhlak, Rasulullah Saw berucap seperti penggalan kata di atas. Lima waktu—menurut Rasulullah ialah jumlah yang sudah cukup dan tak perlu dinegosiasi lagi. Jumlah final yang dengannya beliau berharap umat hingga akhir zaman mampu melaksanakan. Lima puluh waktu yang awalnya terasa tidak mungkin dan memberatkan, dikurangi menjadi lima waktu saja dengan tanpa mengurangi pahala kebaikannya.
Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah berfirman, “Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat. Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka ditulis (baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu dengan Musa ’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. (HR. Muslim 162).
Baca Juga: Memanfaatkan Momentum Bulan Rajab
Rasa malu yang pada Allah ialah akhlak yang diwarisi oleh Rasulullah Saw pada kita semua. Nilai kehidupan sarat moral ini dicontohkan Rasulullah pada momentum Isra Mi’raj ini. Isra yang dimaknai sebagai perjalanan (di malam hari) dari Masjidil Haram di Makkah sampai Masjidil Aqsha di Palestina, mengajarkan sebuah proses perjalanan seperti layaknya kehidupan. Kita semua, pada akhirnya tengah melakukan perjalanan/ naik kepada Allah (Mi’raj). Sehingga, ‘malu’ sebagai akhlak yang diteladani Rasulullah pada umatnya semestinya mampu menjadi modal utama kehidupan. Malu jika terlalu banyak menuntut pada-Nya, malu jika memaksakan apa yang kita inginkan, sementara kita tahu mungkin yang kita ingin belum tentu baik menurut Allah. Malu jika menahan kebaikan pada-Nya dengan menunda-nunda kewajiban shalat lima waktu misalnya, sementara kebaikan Allah tak terhitung banyaknya. Dengan kesadaran sederhana rasa malu bermula, maka semoga mampu menahan diri kita untuk melakukan maksiat dan dosa juga menuntun kita untuk menjadi hamba yang lebih baik lagi setiap harinya.
Terkait dengan adab kepada Allah, beberapa kitab tasawwuf banyak mengkajinya, semisal Ibn Atthaillah as-Sakandary yang berujar, ‘Jangan menuntut Tuhan lantaran permintaanmu terlambat dikabulkan. Namun, tuntutlah dirimu lantaran terlambat melaksanakan kewajiban.’ Demikian tuturnya dalam kitab al-Hikam yang menguraikan salah satu adab ‘sopan’ manusia pada Tuhan. Sikap ‘protes’ pada Tuhan ini sangat tidak layak apalagi berburuk sangka pada-Nya terkait urusan-urusan yang sifatnya duniawi (lahir) maupun kebutuhan ukhrawi.
Mengapa? Jika manusia menuntut Tuhan, maka doanya itu tak lain hanyalah karena ingin sekali dikabulkan, padahal doa adalah ‘ubudiyah—salah satu bentuk ibadah pada Allah. Melalui doa, keimanan dan tawakkal seorang hamba tengah diuji. Akankah ia tetap istiqamah meminta kendati permintaannya tak jua mendapat jawaban dari-Nya? Oleh karena itu, Allah berhak menahan segala inginmu karena cukup Dialah yang paling tahu apa yang engkau butuhkan—sementara diri kita tak tahu apa-apa jika bukan karena izin-Nya.
Baca Juga: Shalat Sunnah Nabi Ketika Isra Miraj
Spirit Isra dan Mi’raj dan pentingnya adab malu pada Allah tercermin melalui bagaimana sikap berdoa pada-Nya. Berdoalah bukan hanya karena doa itu berharap dikabulkan. Namun, berdoalah karena kita tengah belajar tentang ketaatan. Ketika Allah menjadikan kita taat (dengan memberi taufik untuk melaksanakan berbagai ketaatan dan membuat hatimu ridha atas semua yang Dia berikan) maka sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia yang paling besar. Dalam karunia itu, Allah menghimpun ubudiyah lahir dan ubudiyah batin dalam diri. Semoga adab malu yang dicontohkan Rasulullah pada peristiwa Mi’raj mampu kita amalkan sehari-hari saat sedang memohon doa; mengupayakan amal terbaik setiap harinya, berdoa memohon yang terbaik untuk kehidupan kita, tanpa harus memaksakan kehendak-Nya— karena sadar, manusia lebih banyak dosa dan tidak tahunya.
Demikian, wallahu a’lam.
Dr. Ina Salmah Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id