Tiga Bentuk Cara Allah Swt Berkomunikasi kepada Manusia

Sebagai Tuhan, Allah SWT memiliki hak prerogatif dalam melakukan kontak dengan siapapun tak terkecuali manusia. Ada berbagai bentuk cara Allah dalam berkomunikasi. Secara historis, tradisi semacam ini telah terdokumentasikan dalam kitab suci terdahulu, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran. 

Di dalam Alquran disebutkan bahwa Allah dalam beberapa kesempatan telah berkomunikasi dengan beberapa Nabi, mulai Nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw. Allah juga berbicara kepada para malaikat dan bahkan iblis. Setidaknya dalam Alquran, ada tiga bentuk komunikasi Allah kepada manusia sebagaimana dijelaskan dalam ayat di bawah ini, 

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَاۤئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِاِذْنِهٖ مَا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ

Tidak mungkin bagi seorang manusia untuk diajak berbicara langsung oleh Allah, kecuali dengan (perantaraan) wahyu, dari belakang tabir, atau dengan mengirim utusan (malaikat) lalu mewahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Asy-Syura [42]: 51)

Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas menguraikan bagaimana proses pewahyuan kepada para Nabi. Menurutnya, ayat ini tidak boleh hanya dipahami dalam arti percakapan seperti halnya makhluk, melainkan lebih dari itu. Kita dapat menyimpulkan bahwa percakapan di sini bermakna “dipahaminya apa yang hendak disampaikan Allah oleh objek yang Dia pilih”.

Ayat di atas mengemukakan tiga cara. Yang pertama, secara langsung, melibatkan komunikasi langsung dari Tuhan kepada si penerima. Dalam hal ini, penerima memahami komunikasi ini tanpa mendengar suara apapun atau melakukan kontak dengan seorang utusan (yaitu, malaikat).

Cara pertama ini dapat bermacam-macam. Menurut al-Biqa’i, sebagaimana disitir dalam penafsiran Quraish Shihab, makna wahyu di sini dapat mencakup pemberian informasi tanpa perantara dan dengan cara yang tersembunyi. Ia dapat juga berbentuk ilham atau mimpi atau juga dengan cara yang lain, baik Allah menganugerahkan kepada yang menerima wahyu itu kemampuan mendengar — dan ini adalah peringkat tertinggi — atau juga disertai dengan pandangan maupun tidak. Termasuk dalam bagian ini “wahyu-Nya” kepada ibu Nabi Musa as. (baca Q.S. al-Qashash [28]: 7) atau kepada lebah (QS. an-Nahl [16]: 68), atau kepada langit (QS. Fushshilat [41]: 12).

Yang kedua, disertai dengan satu kondisi atau syarat yaitu “di belakang tabir/ hijab”. Komunikasi yang kedua ini mengacu pada skenario di mana Allah berfirman kepada seseorang secara langsung dengan menggunakan kata-kata, tetapi pendengar tidak melihat-Nya. Salah satu contoh terbaik dari kejadian semacam ini adalah wahyu kepada Nabi Musa. 

Al-Quran memberitahu kepada kita, bahwa Musa memohon kepada Allah untuk mengungkapkan atau menunjukkan diri-Nya kepada Musa, lalu Allah membalasnya: Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat Aku, tetapi lihatlah bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagaimana sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Namun tentu saja, baik gunung maupun Musa tidak mampu berdiri kokoh. Kisah ini terekam dalam Q.S. al-A’raf [7]: 143,

وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ

Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Maha Suci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (Q.S. al-A’raf [7]: 143)

Menurut sebagian mufasir, yang ditampakkan itu adalah kebesaran dan kekuasaan Allah Swt. Sementara itu, sebagian yang lain menafsirkan bahwa yang tampak itu adalah cahaya-Nya. Bagaimanapun juga, tampaknya Allah Swt. tidaklah seperti tampaknya makhluk. Tampaknya Allah mestilah sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang tidak dapat diukur dengan pikiran manusia.

Beberapa sarjana Muslim, sebagaimana dikemukakan Abdullah Saeed dalam The Qur’an: An Introduction, percaya bahwa bentuk ketiga, yakni melalui seorang utusan. Adalah bentuk pewahyuan yang paling pasti dan jelas. Ini juga metode yang dengannya umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad SAW menerima Al-Quran seluruhnya. Metode ini melibatkan utusan – diyakini sebagai malaikat Jibril – yang membawa firman Allah kepada seorang Nabi. Jibril diyakini telah mentransmisikan wahyu dalam bentuk yang dapat dipahami Nabi – dalam bahasa Arab.

بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِيْنٍ ۗ

 (Diturunkan) dengan bahasa Arab yang jelas. (Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 195)

Hal ini ditegaskan kembali melalui beberapa ayat Al-Quran seperti,

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab Suci) berupa Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu mengerti. (Q.S. Yusuf [12]: 2)

Lebih umum, Al-Quran menyatakan bahwa: “Kami tidak mengutus seseorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat menjelaskan kepada mereka”. Dan diutusnya Nabi sebagai rasul pun sesuai dengan bahasa kaumnya, yakni bahasa Arab seperti termaktub dalam firman-Nya,

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. (Q.S. Ibrahim [14]: 4)

Cara yang ketiga ini merupakan cara yang paling sering diterima oleh para nabi. Nabi Muhammad saw. menggambarkan pengalaman beliau bahwa wahyu yang disampaikan malaikat itu terkadang datang disertai dengan bunyi lonceng yang menggelegar, terkadang berupa sosok makhluk yang amat besar, dan sebagainya. 

Hikmah yang dapat diambil dari ayat di atas adalah manusia memiliki potensi dan sudah dibekali seperangkat peralatan yang memadai untuk dapat berkomunikasi dengan Allah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk dapat berkomunikasi dengan-Nya, manusia diminta oleh Allah untuk selalu berdzikir kepada-Nya karena hanya dengan mengingat Allah, Allah pun pasti mengingat kita. Fadzkuruni adzkurkum, wasykuruli wa la takfurun, “Karena itu, ingatlah kalian kepadaKu niscaya Aku ingat juga kepada kalian”. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini