Di balik indahnya janji pernikahan dan harapan membangun rumah tangga bahagia, tersembunyi tantangan besar yang tak selalu disadari yakni cara pandang kita terhadap pasangan. Banyak pasangan terjebak dalam pola pikir persaingan yang halus (tidak disadari) namun destruktif—di mana keberhasilan pasangan justru memunculkan rasa terancam. Pola ini dikenal dengan zero-sum thinking, sebuah paradigma yang diam-diam menggerogoti harmoni rumah tangga.
Paradigma zero-sum thinking ialah sebuah paradigma di mana satu pihak merasa bahwa keuntungan pasangan adalah kerugiannya sendiri— ini merupakan pendekatan relasional yang kontraproduktif. Dalam konteks relasi suami istri, pola ini membentuk semacam dikotomi menang-kalah yang menciptakan relasi kuasa, bukan relasi cinta dan kerja sama.
Alih-alih saling mendukung, pasangan justru terjebak dalam relasi kuasa yang membingkai cinta sebagai ajang siapa lebih unggul. Padahal, dalam perspektif Al-Qur’an, pernikahan merupakan ruang sakral untuk saling menumbuhkan rasa nyaman dan saling mencintai-melengkapi, bukan saling menjatuhkan. Relasi pernikahan, dalam hal ini, adalah ikatan spiritual dan sosial yang saling membangun (mutual enhancement). Mari kita telusuri lebih jauh bagaimana cara berpikir ini bertentangan dengan spirit Al-Qur’an dan nilai-nilai kesalingan dalam kehidupan berumah tangga.
Prinsip Musyawarah dan Kesetaraan: Menghidupkan Nilai Resiprokal (Muqabalah)
Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 228, disebutkan:
… Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 228)
Dalam Tafsir al-Kabir, Ar-Razi menekankan bahwa ayat ini adalah bentuk pernyataan keadilan relasional, artinya meski suami diberikan kelebihan di atas istri, ia tidak lebih tinggi dari istri secara hakikat manusiawi. Dalam relasi yang sehat, tidak ada yang harus kalah agar yang lain menang. Menurut Ar-Razi, ketahuilah, ketika Allah SWT menjelaskan bahwa tujuan pernikahan itu adalah untuk memperbaiki keadaannya, bukan untuk menyakitinya.
Ar-Razi menjelaskan bahwa masing-masing pasangan mempunyai hak atas pasangannya. Tujuan pernikahan tidak akan tercapai apabila masing-masing tidak memperhatikan hak suami istri. Lalu Ar-Razi mengibaratkan suami adalah pemimpin dan penggembala, sedangkan istri ibarat yang diperintah dan yang ditundukkan. Karena itu, sebagai pemimpin dan gembala, suami wajib memenuhi hak-hak dan kepentingan istrinya, dan sebagai balasannya, istri pun wajib tunduk dan patuh kepada suami.
Sementara dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menekankan bahwa kalimat ini membongkar struktur patriarkal dalam masyarakat Arab kala itu. Al-Qur’an hadir untuk merestorasi keadilan relasi: bukan dominasi salah satu pihak, melainkan saling membangun peran secara proporsional.
Untuk bisa memenuhi hak masing-masing (suami-istri) diperlukan musyawarah, sebab kebutuhan akan hak setiap suami-istri berbeda-beda. Di sinilah pentingnya komunikasi, keterbukaan, dan musyawarah agar masing-masing merasa nyaman, tenang, damai dan berdasarkan rasa cinta dan kasih sayang.
Jika ditilik dari perspektif mubadalah (kesalingan) yang diperkenalkan oleh Faqihuddin Abdul Kodir menjadi relevan. Menurutnya, ayat ini adalah “kunci hermeneutika relasional”, yaitu segala hak yang disebutkan bagi suami, juga berlaku bagi istri dalam konteks yang setara. Paradigma zero-sum menyalahi prinsip ini karena ia menutup kemungkinan kesalingan dan menjadikan relasi sebagai ajang dominasi.
Relasi Sakinah Mawaddah Warahmah: Menghadirkan Spirit Cinta, Bukan Kompetisi
Kedua, membangun hubungan berdasarkan rasa sakinah mawaddah warahmah seperti yang dijelaskan dalam firman Allah,
Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Rum [30]: 21)
Q.S Ar-Rum [30]: 21 menegaskan bahwa Allah menciptakan pasangan agar manusia merasa sakinah (tenang), “Agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan antara kalian mawaddah dan rahmah” sebagaimana penjelasan ayat tersebut.
Menurut Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir, makna “sakinah” menunjukkan bahwa pasangan bukan hanya pelengkap biologis, tetapi sumber stabilitas psikologis dan spiritual. Jika hubungan dijalankan dengan pola kalah-menang, bagaimana mungkin sakinah bisa terwujud?
Sementara Quraish Shihab melihat mawaddah sebagai cinta aktif (kasih sayang yang diwujudkan dalam tindakan konkret), dan rahmah sebagai empati, kepedulian, dan keikhlasan. Sedangkan sakinah adalah puncak dari tujuan pernikahan, yakni merasa tentram, nyaman, teduh, dan damai. Paradigma zero-sum menghambat hadirnya dua nilai ini, karena pasangan cenderung melihat tindakan baik pasangannya sebagai “strategi untuk menang”, bukan ketulusan cinta.
Dalam ayat yang lain disebutkan,
Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. (Q.S. Ali Imran [3]: 195)
Kalimat “baik laki-laki maupun perempuan” (min dzakarin au untsa) dalam ayat di atas adalah penegasan eksplisit yang sangat jelas (tanshish sharih) dari Al-Qur’an tentang prinsip meritokrasi tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir, “ini menunjukkan bahwa keutamaan menurut agama diukur dengan amal perbuatan, bukan atribut yang melekat pada pelakunya. Atribut seseorang sebagai laki-laki atau perempuan, dari strata sosial rendah atau tinggi, sama sekali tidak berpengaruh dalam hal ini”.
Kemudian, ayat tersebut terdapat frasa ba’dhukum min ba’dh (sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain) menurut al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ayat ini tidak hanya mengajarkan prinsip kesalingan (mubadalah), tetapi juga kesederajatan antara laki-laki dan perempuan di mata agama, hukum, aturan dan kebijakan. Dengan demikian, kedua frasa tersebut menjelaskan kesalingan sekaligus menyiratkan kesejajaran dan kesederajatan antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Ibn ‘Ashur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, rumah tangga tidak sekadar kontrak sosial, melainkan nukleus (inti) masyarakat. Apa yang dibentuk di rumah akan memengaruhi tatanan sosial yang lebih luas. Ibn ‘Ashur menyebut pentingnya nilai syura (musyawarah) dalam rumah tangga, sebagai pengejawantahan dari prinsip keadilan dan keridhaan. Ketika pola berpikir zero-sum diaplikasikan dalam kehidupan berumah tangga, maka rumah menjadi kering, medan konflik dan negosiasi kuasa, bukan ruang kasih dan saling percaya.
Bahkan, dalam sabda Nabi saw agar rumah dibentuk menjadi baiti jannati (rumahku adalah surgaku). Artinya, masing-masing suami-istri memiliki kewajiban untuk membentuk rumah sebagai tempat yang nyaman, tenang, baik ketenangan spiritual maupun psikologis, serta didasari rasa cinta yang tulus dan kasih sayang.
Dalam pendekatan mubadalah, rumah merupakan tempat di mana nilai-nilai Qur’ani seperti ta’awun (kerja sama), ‘adl (keadilan), dan rahmah (belas kasih) diejawantahkan. Seorang suami atau istri yang terjebak dalam mentalitas “jika kamu menang, aku kalah atau sebaliknya” sebenarnya tengah meruntuhkan institusi rumah tangga dari dalam, karena menolak mengakui keunggulan pasangan sebagai bagian dari kesuksesan bersama.
Maka, sesungguhnya relasi suami istri idealnya dijalankan bukan dengan cara subordinatif, melainkan dengan pola kesalingan aktif. Pola yang berpegang pada prinsip: “apa yang kamu inginkan dari pasanganmu, itu juga yang harus kamu lakukan untuk pasanganmu”. Jika dalam sebuah relasi, suami merasa berkuasa penuh dan keberhasilan istri dianggap sebagai ancaman bagi egonya, maka relasi itu sedang kehilangan sakinah mawaddah wa rahmah.
Oleh karena itu, paradigma zero-sum thinking bertentangan dengan prinsip kesalingan Qur’ani, sunnah Nabi SAW, etika tafsir klasik dan kontemporer, serta pendekatan mubadalah yang memanusiakan kedua belah pihak. Mengganti paradigma ini dengan win-win thinking dalam semangat syura, mawaddah, dan rahmah merupakan langkah awal menuju keluarga Qur’ani yang sakinah. Bukan lagi siapa yang menang atau kalah, tapi bagaimana keduanya tumbuh dan meraih keberhasilan bersama.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini