Ramadan, Haruskah Menutup Warung Makan?

Di antara kewajiban seorang muslim yang telah dibebani menjalankan syariat (mukalaf) adalah menunaikan puasa Ramadan. Karenanya, Ramadan sangat dinanti oleh banyak muslim. Sebab, banyak keutamaan Ramadan sebagai bulan suci. 

Ramadan adalah bulan di mana kitab suci umat Islam, yaitu al-Qur’an, diturunkan (QS. Al-Baqarah[2]: 185). Datangnya Ramadan membuat pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup (HR. al-Bukhari). Selain itu, di bulan suci tersebut setan-setan akan dibelenggu (HR. Muslim). 

Ramadan adalah bulan pengampunan, sebagaimana bunyi suatu hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim, yang sering dibaca menjelang dan di awal-awal Ramadan, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Barang siapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala (semata karena Allah), diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.”

Berlipat Gandanya Pahala 

Salah satu sebab disambutnya Ramadan dengan penuh suka-cita adalah karena dilipat gandakannya ganjaran amal baik. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis yang menyebutkan kelipatan balasan perbuatan dan balasan bagi orang yang berpuasa:

Setiap perbuatan baik manusia akan dilipat gandakan ganjarannya sebesar sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Sebab, dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku… al-hadits.

Naashir al-Diin Al-Baidhawi (w. 685 H) berpendapat bahwa hadis di atas menjelaskan bahwa setiap perbuatan baik akan dibalas sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Penyebutan secara khusus “kecuali puasa” bermakna bahwa ganjaran puasa tidak dapat diperkirakan oleh manusia. Pencatatan amal puasa bahkan tidak diserahkan kepada malaikat. 

Menurut al-Baidhawi, salah satu alasan mengapa puasa begitu istimewa adalah karena puasa adalah perbuatan tersembunyi (rahasia) yang hanya diketahui oleh pelaku dan Allah Swt. Puasa dilakukan semata mengharap rida Allah. Karenanya, Allah menyebut bahwa “puasa adalah untuk-Ku” (Tuhfah al-Abraar Syarh Mashaabiih al-Sunnah, jil. 1, hal. 479). 

Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam kitabnya Lathaa’if al-Ma`aarif (hal. 268)  memberikan alasan lainnya mengapa puasa dibalas langsung oleh Allah Swt. Beliau menyatakan bahwa puasa adalah kesabaran, sehingga Nabi Muhammad memberi nama Ramadan sebagai bulan kesabaran (HR. Abu Daud) dan menjelaskan bahwa puasa adalah separuh kesabaran (HR. al-Tirmidzi). 

Ada tiga jenis sabar, yaitu sabar dalam menjalani ketaatan, sabar menahan diri dari kemaksiatan (larangan-larangan), dan sabar dalam menerima ketentuan Allah. Puasa adalah ibadah yang di dalamnya terkandung tiga jenis kesabaran di atas. Seseorang yang sedang berpuasa berarti sabar menjalankan perintah Allah. Ia juga sedang bersabar untuk tidak melakukan maksiat. Juga, ia bersabar dalam takdir di mana orang yang tidak makan-minum akan merasakan lapar dan haus.

Ibnu Rajab juga menjelaskan bahwa ganjaran perbuatan dapat disebabkan beberapa faktor, seperti karena mulianya tempat dan waktu. Ramadan adalah bulan yang teramat mulia sehingga setiap perbuatan baik pada bulan itu akan dibalas berkali-kali lipat. 

Warung Makan di Bulan Ramadan

Salah satu isu tahunan yang cukup ramai dibicarakan di Indonesia adalah apakah warung makan harus ditutup ketika pagi hingga siang hari di bulan Ramadan. Selalu terdapat pro-kontra mengenai masalah ini. 

Tidak ada aturan yang berlaku secara nasional terkait wajibnya menutup warung makan di bulan Ramadan. Larangan yang ada biasanya bersifat temporal-lokal yang ditandai dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) masing-masing. Sering kali terdapat perbedaan dalam setiap kebijakan yang dibuat, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan sekitar. 

Misalnya, Perda Kota Banjarbaru Nomor 4 Tahun 2005 melarang setiap orang untuk membuka warung, kedai, restoran, dan tempat lainnya yang menyediakan makanan dan minuman. Setiap orang juga dilarang untuk makan di restoran atau di tempat-tempat umum. Pemilik warung atau restoran yang menyediakan tempat untuk berbuka puasa hanya diperbolehkan membuka usahanya dari pukul 17.00 wita. 

Sedangkan Perda Kota Pasuruan Nomor 34 Tahun 2011 menyatakan bahwa setiap orang berhak membuka usaha pangan selama bulan suci Ramadhan. Namun, ada dua ketentuan yang harus dipenuhi. Pertama, makanan atau minuman yang dijual harus dalam bentuk kemasan. Kedua, dilarang menyediakan fasilitas makan di tempat. 

Kembali pada pro-kontra penutupan warung makan di bulan Ramadan. Bagi mereka yang setuju, biasanya berpandangan bahwa warung makan yang buka di pagi-siang bulan Ramadan dapat mengganggu ketertiban, kenyaman, hingga kekhusyukan ibadah puasa. Dilansir dari Antara, wali kota Banjarmasin, Ibnu Sina, pun berpendapat demikian.  Selain itu, beliau juga menyinggung terkait toleransi antar umat beragama. 

Mereka yang pro penutupan warung makan biasanya juga berpendapat bahwa menutup warung sama dengan menutup kemungkinan kemaksiatan. Sebab, banyak muslim yang sengaja tidak puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat bisa makan dengan mudah. Tak heran, ada kelompok-kelompok keras yang kemudian melakukan penutupan paksa terhadap warung-warung makan di pagi-siang Ramadan. 

Beberapa alasan mereka yang pro penutupan warung di atas sering kali didebat oleh mereka yang kontra. Alasan pertama, kekhusyukan ibadah puasa, misalnya, sering ditanggapi dengan pertanyaan satire, “Apa imannya selemah itu sehingga tergoda dengan adanya warung yang berjualan?” 

Mereka juga berpendapat bahwa semakin besar godaan, semakin besar ganjaran pahala yang akan didapat. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya, “Sesungguhnya, besarnya balasan tergantung besarnya ujian. Sesungguhnya, Allah azza wa jalla ketika mencintai suatu kaum, Ia akan memberi mereka ujian (cobaan)…” (HR. al-Tirmidzi). 

Terkait toleransi, kita sering memaksakan toleransi harus diberikan dari kelompok minoritas kepada mayoritas. Dalam hal ini berarti mereka yang berjualan (minoritas) harus menghormati mereka yang berpuasa (mayoritas). Padahal, menurut hemat penulis, toleransi seharusnya diberikan dari mayoritas untuk minoritas. 

Penulis, meski pun seorang muslim, pernah menjadi minoritas di bulan Ramadan. Ketika sedang menjadi musafir (menempuh perjalanan lebih dari 300 kilometer), penulis merasa kelelahan sehingga butuh makan. Sayangnya, kendati ada restoran fast food yang menyediakan makan di siang hari, pengunjung dilarang makan di tempat. Akhirnya, kami, penulis dan seorang teman, mencari tempat sunyi untuk makan dan minum. 

Alasan menutup warung karena dianggap sebagai menutup jalan kemaksiatan, tentu hal itu ada benarnya. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua pengunjung adalah mereka yang sengaja tidak berpuasa. Di antara mereka ada yang memang tidak dikenai kewajiban puasa, seperti non muslim, wanita haid, orang yang sedang sakit parah, anak-anak, dan musafir (seperti yang telah penulis alami sendiri). 

Terakhir, puasa adalah satu ibadah. Dan berjualan juga adalah ibadah. Kita perlu mempetimbangan ekonomi pedagang. Jika ekonomi mereka hanya bergantung pada usahan berjualan, lantaskah warung mereka perlu ditutup selama Ramadan?  Wallahu a’lam.  

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini