“Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.” (Surah Ali Imran Ayat 92).
Memberi sesuatu yang sangat kita cintai? Hmm, tentu bukan hal yang mudah. Seringkali kita merasa berat untuk berbagi—apalagi jika tengah berada di masa-masa sulit. Namun, sejatinya ada banyak hikmah dan maksud Allah mengapa memberi menjadi satu perintah khusus dalam berbagai ayat al-Quran. Beberapa hikmah tersebut ialah bahwa memberi bukan saja berdampak pada besarnya ganjaran atau bertambahnya pahala melainkan juga peningkatan kualitas kesehatan jiwa raga manusia.
Awal ayat Ali Imran Ayat 92 di atas diawali dengan ungkapan al-Birr. Al-Birr yang sering diartikan sebagai kebajikan sesungguhnya seakar kata dengan salah satu dari 99 Asmaul Husna (Al-Barr). Kata al-barr—dalam Tafsir al-Mishbah terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf bâ’ dan dua huruf râ’. Terdapat sekian makna yang dikandung oleh rangkaian huruf-huruf ini, antara lain. Pertama, kebenaran. Dari sini, lahir makna ketaatan karena yang taat membenarkan yang memerintahkannya dengan tingkah laku. Selain itu, makna lain ialah menepati janji. Maksudnya, seseorang yang menepati janjinya dan membenarkan ucapannya, mengindikasikan kejujuran dalam hatinya.
Kedua, daratan. Dari sini lahir kata bariyyah yang berarti padang pasir, luas dan masyarakat manusia karena daratan/padang pasir sedemikian luas dan karena masyarakat manusia pada umumnya hidup di daratan.
Dari berbagai derivasi lafaz al-birr yang disebutkan Al-Quran, ada temuan yang begitu unik dan luar biasa. Jika uraian sebelumnya telah ditulis bahwa Allah Maha Barru/Mahabaik, maka Allah tidak hanya memberikan gelar itu terbatas untuk dzat-Nya saja melainkan juga manusia sebagai pelaku kebaikan dan senantiasa istikamah dalam kebaikan-kebaikannya, diberikan gelar kehormatan bernama al-Abrar (Qs. Ali Imran/3: 193).
Dalam memaknai ayat di atas, beragam mufassir mencoba menafsirkan. Dalam Tafsir Jalalain misalnya kebajikan sempurna diartikan sebagai ganjaran pahala berupa surga—namun dengan syarat sebelum kamu menafkahkan menyedekahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.
Senada dengan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibn Katsir juga mengurai bahwa yang dimaksud dengan al-birr ialah surga. Ayat ini turun berkenaan dengan salah satu sahabat Nabi yang ikhlas menyedekahkan sesuatu yang sangat ia cintai. Hal ini diurai dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad beliau mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Thalhah yang pernah mendengar dari Anas ibnu Malik, bahwa Abu Thalhah adalah seorang Anshar yang paling banyak memiliki harta di Madinah. Adapun harta yang paling dicintainya adalah Bairuha (sebuah kebun kurma) yang letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi. Nabi ﷺ sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang segar lagi tawar.
Sahabat Anas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan firman Allah dalam Surah Ali Imran Ayat 92, Abu Thalhah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Swt telah berfirman: ‘Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai’ dan sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha ini, dan sekarang Bairuha aku sedekahkan agar aku dapat mencapai kebajikan melaluinya dan sebagai simpananku di sisi Allah Maka aku mohon sudilah engkau, wahai Rasulullah, mempergunakannya.” Maka Nabi ﷺ menjawab melalui sabdanya: ‘Itu harta yang menguntungkan! Tetapi aku berpendapat hendaklah kamu memberikannya kepada kaum kerabatmu’ Abu Thalhah menjawab, “Akan aku lakukan sekarang, wahai Rasulullah.” Lalu Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada kaum kerabatnya dan anak-anak pamannya.
Adapula hadits yang menceritakan tentang kebaikan Umar bin Khattab dalam bersedekah. Hadits ini diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Di dalam kitab Shahihain disebutkan: bahwa sahabat Umar mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku belum pernah memperoleh harta yang paling aku cintai dari semua harta yang ada padaku selain bagianku dari ganimah Khaibar. Apakah yang harus aku lakukan terhadapnya menurutmu?” Maka Rasuiullah ﷺ menjawab: ‘Tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah (di jalan Allah) buah (hasil)nya.’
Teladan dari para sahabat mendeskripsikan bahwa keimanan mereka bukan lagi pada hal-hal materil namun lebih pada ketaatan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan al-Quran. Jika kita tinjau dari psikologi misalnya, salah satu ilmuwan Psikologi Islam Indra Kusuma menjelaskan, secara psikologis, sikap memberi ialah gambaran dari sikap kecukupan. Sebaliknya, sikap pelit lahir dari adanya mentalitas (rasa takut) kekurangan. Mental takut kurang atau takut berbagi—lanjut Indra jika tidak diantisipasi, maka akan berimbas pada kondisi mental.
Keterkaitan berbagi dengan kondisi mental lebih lanjut diteliti oleh Jorge Moll (2006) dan koleganya di National Institute of Health yang ternyata mereka menemukan bahwa ketika sesorang memberikan derma dan kebaikan, hal tersebut mengaktifkan bagian-bagian otak yang terhubung dengan rasa bahagia, koneksi sosial, dan kepercayaan. Banyak ilmuwan yang juga meyakini bahwa perilaku peduli pada orang lain dapat mengeluarkan endorfin di otak dan menghasilkan sebuah perasaan positif yang disebut sebagai “helper’s high”.
Berbagai contoh dari para sahabat juga temuan di atas semoga membuat kita lebih yakin bahwa berbagi tidak akan pernah membuat manusia merugi. Sebaliknya, berbagi sebagai spirit al-Quran juga memiliki tujuan. Syukur bi al-lisan dan syukur bi al-hal terhadap ni’mat Allah yakni (bersyukur dengan mengucap alhamdulillah, kemudian memanifestasikan rasa syukur dengan menyingkap dan berbagi atas ni’mat tersebut kepada orang lain—adalah bentuk upaya meraih sejatinya iman.
Kini, mari sama-sama bertafakkur, dimanakah level syukur kita?
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini