‘Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui.’ (Qs. Al-Baqarah: 2/158)
Musim haji 2022 tengah berlangsung. Dengan penuh rasa syukur, Indonesia kembali memberangkatkan jama’ah haji. Mereka yang terpanggil tahun ini berkesempatan menunaikan haji setelah sempat terhenti karena pandemi. Dari porsi 85 persen jemaah haji tahun 2022, data menunjukkan Indonesia menempati peringkat pertama dengan kuota paling banyak yaitu sekitar 100.051 jemaah. Antusiasme jamaah untuk melaksanakan haji begitu besar sebanding dengan upaya, tenaga, biaya yang juga harus dikeluarkan. Tak heran, faktor ‘kemampuan’ fisik, psikis, sarana dan finansial menjadi beberapa syarat dalam melaksanakan ibadah rukun iman kelima ini. Salah satu serangkaian ibadah haji yang membutuhkan niat teguh dan menguji kekuatan fisik ialah sa’i.
Surah al-Baqarah/2: 158 di atas memberikan tuntunan bahwa dua bukit (shafa dan marwah) tempat sa’i sebagai simbol historis dari perjuangan perempuan (Siti Hajar) yang disebut sebagai syi’ar agama Allah. Syi’ar diartikan para ulama sebagai tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah. Falaa junaaha—lafadz berikut diartikan dengan ‘tiada berdosa’ mengapa? Karena shafa dan marwah sebelumnya ialah tempat berhala dan penyembahan orang-orang kafir Quraisy. Sehingga, ayat ini mempertegas bahwa tempat itu telah suci dan dijadikan syi’ar untuk melaksanakan ibadah umrah maupun haji karena bukan lagi sebagai tempat pemujaan berhala.
Baca Juga: Jujur Melahirkan Kepercayaan
Tentu sebagian dari kita mengetahui sejarah sa’i menjadi syi’ar Allah dalam melaksanakan ibadah umrah maupun haji. Sayyidah Hajar, isteri Nabi Ibrahim as, ibunda dari Nabi Ismail as menjadi tokoh sentral dalam kisah ini. Sederhana, Sayyidah Hajar hanya memiliki satu niat tulus: mengerahkan kekuatan fisiknya untuk mencari air karena puteranya yang meronta kehausan. Sendiri tanpa ada suami atau siapapun yang menemaninya, Siti Hajar tak putus asa. Ia yakin sepenuhnya Allah-lah sebaik-baiknya penolong.
Sebagai seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkannya, tentu nalurinya tergerak. Ia tak ingin anaknya sengsara kehausan sehingga apapun yang harus dan mampu ia lakukan, akan ia lakukan. Demikianlah gambaran perasaan Siti Hajar dan seluruh orangtua di seluruh dunia yang secara naluri ingin selalu memenuhi kebutuhan anaknya sepanjang yang ia bisa. Dalam kondisi panas yang menyengat, Siti Hajar memutuskan untuk berlari kecil mencari air di dua bukit itu; barangkali ada air untuk anaknya. Pada pelarian pertama, belum ia temukan tanda-tanda. Lalu ia berlari kecil lagi, belum jua ia temukan dimana air yang sangat ia butuhkan. Hingga tak terasa tujuh kali sudah ia berbolak-balik sembari mendengar tangisan bayi kecilnya. Tak tega. Sampai akhirnya, ikhtiar Siti Hajar berbuah berkah: setelah letih dengan nafas tersengal dan seluruh tubuh penuh keringat, ia memeroleh tanda dari-Nya untuk menghentakkan kaki Nabi Ismail dan seizin Allah keluarlah air memancar yang kita kenal hingga hari ini yaitu zam-zam. MasyaAllah..
Simbol sa’i yang sarat sejarah ini hampir diketahui sebagian besar umat muslim. Jika kita coba merenung dan meneladani nilai-nilai dari sa’i, kita melihat dan merasakan bahwa betapa Allah ingin memuliakan Siti Hajar sebagai seorang Ibu yang ikhlas dan kuat berjuang demi anaknya. Artinya, meski ia sangat membutuhkan air, tak serta merta Siti Hajar memerolehnya dengan cepat dan instan meskipun hal tersebut sangat mudah bagi Allah. Allah menguatkan Siti Hajar dengan terlebih dulu ikhtiar lalu memasrahkan semuanya pada Allah. Disinilah symbol sa’i yang sarat sebagai perjuangan. Sa’i sendiri berasal dari bahasa Arab sa’a yang artinya berusaha, berupaya, berikhtiar, berjuang sekuat tenaga.
Baca Juga: Teladan Nabi ketika Bersama Anak-anak
Sa’i dimulai dari bukti shafa yang artinya kesucian, kemurnian. Sehingga, dalam mengikhtiarkan apapun, yang dibutuhkan pertama ialah niat yang suci. Sehingga, dari sa’i kita semua belajar bahwa sesungguhnya kita tengah bersa’i dengan usaha masing-masing; bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak-isteri, berjuang sekuat tenaga agar bisa membahagiakan orangtua, berikhtiar menciptakan generasi terdidik melalui pendidikan—dan aneka ragam ikhtiar lainnya sebagai bentuk taqarrub ilaa Allah (ketaatan untuk mendekatkan diri pada Allah).
Sementara marwah yang berasal dari bahasa Arab diartikan sebagai kehormatan, harga diri, kemuliaan dan definisi sejenis. Jika kita kaitkan dengan peristiwa sakral sa’i ini maka akan ditemukan bahwa dalam setiap usaha (sa’i) semestinya diawali dengan niat yang suci (shafa) dan baik. Dalam proses perjalanan usaha tersebut, persiapkan kekuatan fisik, psikis dan spiritual agar siap dan ringan hati dalam menerima apapun garis takdir yang Allah tetapkan. Ketika ikhtiar dan tawakal telah kuat dan mantap kita kerahkan, maka berakhirlah di gerbang ‘marwah’ (kemuliaan). Allah memuliakan siapapun yang mengerahkan tenaga dan pikirannya sebagai insan yang dibekali akal sempurna untuk terus beribadah kepada-Nya seperti pada petikan akhir ayat, ‘Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui,’
Demikianlah nilai-nilai sa’i yang semoga mampu kita teladani.
Dr. Ina Salmah Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadzah Dr. Ina Salmah Febriany, M.A? Silahkan klik disini