Nasihat merupakan hal yang penting dalam kehidupan, baik untuk hal-hal ukhrawi maupun untuk kepentingan duniawi. Dalam keseharian, orang tidak hanya meminta nasihat mengenai ritual dan perilaku keagamaan, tetapi juga untuk urusan bisnis, pergaulan, bahkan untuk asmara.
Islam sendiri adalah agama nasihat. Dalam kitab al-Arba’uun al-Nawawiyyah, pada hadis ketujuh, disebutkan sebuah hadis dari sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin Aus al-Dariy bahwa Nabi Muhammad saw bersabda,
“Agama adalah nasihat.’ Para sahabat bertanya, ‘Untuk siapa wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Untuk Allah, kitab-Nya, nabi-Nya, dan untuk para pemimpin muslimin serta muslim seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 56).
Namun demikian, memberikan nasihat harus disertai dengan cara yang baik dan benar. Banyak orang memberikan nasihat dengan cara yang tidak disenangi, bahkan sampai menyakiti perasaan. Padahal, Nabi Muhammad, sebagai seorang yang paling dipercaya dan didengar oleh para sahabat, tidak memberikan nasihat sesuka hati beliau.
Lemah Lembut dalam Memberikan Nasihat
Al-Qur’an memberikan informasi bagaimana sikap dan tindakan Nabi Muhammad Saw dalam berdakwah dan memberikan nasihat kebaikan. Dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 159 disebutkan, “Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu…”
Perintah Allah Swt agar berdakwah dengan cara yang lemah lembut juga terdapat dalam surah al-Nahl ayat 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik…”
Dalam Duruus al-Syekh Aidh al-Qarni (9/164) diceritakan bagaimana jawaban khalifah Harun al-Rasyid ketika seorang badui berkata kepadanya, “Dengarkan aku wahai Amirul Mukminin! Aku memiliki ucapan (nasihat) kasar yang ingin kukatakan kepadamu.” Harun al-Rasyid kemudian menjawab,
“Demi Allah, aku tidak akan mendengarkanmu. Karena Allah telah mengutus seseorang yang lebih baik daripada dirimu kepada orang yang jauh lebih buruk daripada diriku. Ia berfirman, “Berbicaralah kalian berdua (Musa dan Harun) kepadanya (Fir’aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Taha[20]: 44).
Memperhatikan Waktu dan Kondisi
Dalam memberikan nasihat, selain dengan bertutur lemah lembut, Nabi Muhammad Saw juga memperhatikan waktu dan kondisi yang ada. Beliau sangat memperhatikan kondisi audiens yang akan diberikan nasihat, memberikan rentang waktu yang tepat agar pendengar tidak merasa terbebani dengan nasihat yang baru.
Dalam sebuah hadis, Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa:
“Rasulullah Saw selalu memilah-milah hari yang tepat bagi kami untuk memberikan nasihat, karena khawatir rasa bosan akan menghinggapi kami.” (HR. al-Bukhari, no. 68).
Banyak orang yang dengan sengaja mau pun tidak memberikan nasihat bahkan ketika tidak diminta. Ini biasanya terjadi pada orang yang baru mendapatkan sedikit ilmu kemudian merasa lebih tau daripada orang lain. Ibnu Hajar al-`Asqalani, dalam Fath al-Baarii (11/139), menjelaskan bahwa makruh berbicara (memberikan nasihat) kepada orang yang tidak mau menerimanya.
Patut untuk diperhatikan juga dalam hal ini adalah melihat tingkat pemahaman audiens. Tidak sepatutnya menggunakan bahasa akademik yang tinggi untuk memberikan nasihat kepada masyarakat awam, apalagi hanya agar terdengar sebagai orang yang terdidik.
Ibnu Mas’ud pun berkata, “Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum (seseorang) dengan suatu perkataan yang tidak dapat digapai oleh akal mereka, kecuali akan menjadi fitnah (kesesatan) bagi sebagian mereka.”
Termasuk dalam hal ini adalah memperhatikan orang yang akan diberi nasihat. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam banyak kesempatan. Salah satu contohnya adalah ketika seorang laki-laki meminta nasihat kepada beliau. Nabi pun berucap, “Jangan marah! Jangan marah! Jangan marah!” (HR. al-Bukhari, no. 6116).
Pada kesempatan lain Nabi Muhammad Saw memberikan nasihat yang berbeda kepada salah seorang wanita bernama Ummu Abi al-`Aliyah, “Hindarilah olehmu hal-hal yang mengganggu telinga.” (HR. Ahmad, no. 16260).
Terkait nasihat-menasihati, seorang ahli fikih dan sejarawan dari Spanyol, Ibnu Hazm al-Andalusi dalam karyanya al-Akhlaaq wa al-Siyar fii Mudaawaah al-Nufuus (hal. 45), berkata:
“Janganlah memberikan nasihat kepada orang lain disertai dengan syarat nasihat darimu harus diterima. Jika engkau bersikap demikian, maka engkau adalah seorang yang zalim, bukan pemberi nasihat. Engkau adalah seseorang yang menuntut untuk ditaati dan raja, bukan seorang yang berusaha menunaikan amanah kebenaran dan persaudaraan. Itu bukanlah sikap seorang yang berakal, bukan pula sikap kedermawanan. Tetapi, sikap seorang penguasa terhadap rakyatnya atau seorang tuan terhadap budaknya.”
Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini