Bantahan Islam Terhadap Mitos Kesialan di Bulan Safar

Bulan Safar (mengikuti kata baku dalam KBBI), bulan kedua dalam tahun hijriah, memiliki tempat khusus di hati masyarakat Muslim, terlebih di Indonesia. Sayangnya, ia tidak disambut dengan suka-cita dan kegembiraan, melainkan dengan perasaan waswas, khawatir, hingga ketakutan. Rasa khawatir dan takut ini didasarkan pada anggapan bahwa di bulan Safar akan turun ratusan ribu bala’ (cobaan/ujian), tepatnya di hari Rabu terakhir bulan tersebut. 

Rabu terakhir bulan Safar kemudian menjadi dikenal oleh masyarakat luas dengan berbagai istilah. Secara umum, masyarakat muslim mengenalnya dengan nama “Arba’ Mustamir”. Sedangkan di Jawa, dikenal istilah “Rebo Wekasan”, yang secara harfiah berarti hari Rabu Terakhir. 

Sejarah Mitos Kesialan Bulan Safar 

Secara bahasa, kata Shafar semakna dengan kata shifr (kosong, hampa). Ibnu Manzhur al-Anshari dalam Lisaan al-‘Arab (juz IV, hal. 462)  mengutip banyak makna kata Safar. Di antaranya adalah bahwa orang-orang Arab terbiasa melakukan perjalan di bulan ini, sehingga Mekah menjadi “kosong”. Pendapat lainnya adalah bahwa orang-orang Arab memerangi kabilah-kabilah pada bulan itu, yang menyebabkan penduduk kabilah itu pergi meninggalkan tempatnya tanpa membawa apa pun (tangan kosong).

Anggapan akan kesialan yang terjadi di bulan Safar berawal dari masa jahiliah. Al-Ghunaiman, ketika memberikan penjelasan (syarah) terhadap hadis terkenal mengenai bantahan Nabi akan kesialan di bulan Safar dalam kitabnya Syarh Fath al-Majid ([10]: 79), menyebutkan tiga tafsir yang berhubungan dengan pandangan orang-orang jahiliah.

Pertama, orang-orang Jahiliah menganggap Safar sebagai bulan sial, sehingga mereka enggan berpergian atau membuat sesuatu di bulan tersebut. Apa pun yang dilakukan atau dibuat pada bulan Safar diyakini tidak akan sebaik jika dilakukan di bulan lainnya.

Kedua, orang-orang jahiliah pernah mendahulukan bulan Safar dibandingkan bulan Muharam, sehingga mereka dapat melakukan peperangan yang sejatinya diharamkan (karena termasuk dari al-asyhur al-hurum). Mereka melakukan ini dengan alasan bahwa mereka melalui keharaman berperang yang terlalu lama akibat terjadinya tiga bulan haram secara berturut-turut (Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam). Perbuatan ini disebutkan pada surah al-Taubah ayat 37.

Ketiga, adanya kepercayaan bahwa muncul sejenis hewan melata atau ular hitam khusus di bulan Safar. Hewan tersebut diyakini membawa penyakit yang sangat menular, melebihi penularan kusta atau lepra. Penularan kusta sendiri telah dianggap sebagai penyakit yang mudah menular. Faktanya, menurut halodoc.com, penyakit ini tidak mudah menular.  

Kemudian, munculnya anggapan oleh kaum muslim bahwa akan ada ratusan ribu cobaan di bulan Safar bukan berasal dari al-Qur’an atau pun hadis Nabi Muhammad Saw. Persepsi ini secara khusus berasal dari ulama ahli kasyaf (seorang yang telah dibukakan penglihatan akan hal-hal gaib oleh Allah).  

Mengutip laman menara.baznas.go.id, Imam al-Dairabi mengatakan:

Sebagian ulama dari ahli kasyaf menuturkan bahwa pada setiap hari tahun akan turun 320 ribu bala’, yang semuanya terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Maka, hari itu adalah hari yang paling berat dalam satu tahun.”

Bantahan Islam Akan Kesialan Bulan Safar

Adanya anggapan bahwa akan turun banyak cobaan di bulan Safar, khususnya Rabu terakhir, membuat banyak masyarakat sangat berhati-hati dalam bertindak, misalnya untuk melaksanakan pernikahan. Sebagai seorang yang bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA), penulis sangat merasakan terjadinya penurunan peristiwa pernikahan di bulan Safar. 

Buya Yahya dalam channel YouTubenya menyebutkan bahwa selama Allah dan Nabi Muhammad tidak menjelaskan adanya kesialan di hari tertentu, maka tidak sepatutnya kita menganggap akan adanya kesialan. Bahkan, kata beliau, sangat aneh jika orang-orang beriman mempercayai adanya kesialan yang tidak dikabarkan oleh Allah mau pun Nabi. 

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kesialan tergantung pada pribadi masing-masing. Ketika seseorang ditimpa musibah atau kesialan, barangkali disebabkan oleh perbuatannya sendiri, baik karena ia telah bermaksiat atau pun hal lainnya. Sebaliknya, ketika seseorang berbuat kebaikan di bulan Safar, maka akan menjadi kebaikan bagi dirinya sendiri. 

Biar pun malam Jumat, tapi untuk maksiat, (maka ia) jadi maksiat, malam maksiat, malam sengsara. Ramadan bulan mulia. Hayo, bagi siapa? (bagi) yang berbuat baik. Yang (berbuat) maksiat, wah, sengsara di atas sengsara. Kan, begitu,” jelas Buya Yahya

Rasulullah Saw telah membantah adanya kesialan atau malapetaka yang khusus terjadi di bulan Safar, baik melalui ucapan mau pun tindakan. Melalui ucapan, beliau bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ 

Tidak ada wabah (yang menular tanpa izin Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak ada juga burung (penanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) di bulan Safar.” (HR. al-Bukhari, no. 5757) 

NU Online mengutip Habib Abu Bakar al-Adni yang menyebutkan beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam terjadi di bulan Safar, di mana Rasulullah Saw yang menjadi pelakunya. Pada bulan Safar, Rasulullah Saw melaksanakan pernikahannya yang pertama, yaitu dengan Sayyidah Khadijah. Pernikahan penting lainnya, yaitu antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah al-Zahra, juga terjadi pada bulan Safar. 

Selain masalah pernikahan, peristiwa besar lainnya yang pernah terjadi di bulan ini adalah peperangan. Ada dua peperangan besar yang pernah terjadi di bulan Safar, yaitu Perang Abwa dan Perang Khaibar. Kedua peperangan tersebut dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw. 

Bertindak hati-hati sejatinya adalah perbuatan yang baik. Namun, tindakan hati-hati seharusnya dilakukan setiap hari dan setiap saat. Banyak orang yang sangat berhati-hati ketika Rebo Wekasan tiba, tetapi menjadi pribadi yang ceroboh di hari-hari selainnya. Wallahu a’lam.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini