Termasuk sifat manusiawi adalah memiliki rasa malas, baik untuk hal-hal duniawi mau pun ukhrawi. Dalam hal ukhrawi, manusia sering merasa enggan untuk melaksanakan ibadah, menyembah kepada Allah swt. Padahal, beribadah merupakan tujuan utama manusia diciptakan sebagai seorang hamba, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Dzariyat ayat 56.
Bahkan, di antara orang-orang yang terlihat rajin menunaikan ibadah, ada yang mengerjakannya hanya sebagai formalitas, yaitu sekadar menggugurkan kewajiban yang diembannya. Ada yang rutin shalat, tetapi dilaksanakan dengan malas-malasan. Ada yang berpuasa sekadar malu jika hanya dia yang tidak melaksanakannya di antara teman-temannya.
Sifat tercela manusia lainnya adalah kufur nikmat. Imam al-Ghazali (w. 1111 M) menyebutkan bahwa ketidaktahuan dan kelalaian adalah dua penyebab mengapa seseorang menjadi kufur nikmat. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa syukur atas nikmat hanya dapat dilakukan setelah seseorang mengetahui akan nikmat yang diberikan kepadanya (Ihyaa ‘Uluum al-Diin[4]: 123).
Mengutip dari NU Online, KH. Ahmad Mustofa Bisri, atau yang lebih akrab dikenal dengan panggilan Gus Mus, juga menerangkan bahwa orang yang bersyukur harus merasa mendapatkan anugerah dari Allah terlebih dahulu. Tanpa merasa demikian, orang tidak akan dapat bersyukur.
Nabi Muhammad Saw, sebagai suri tauladan umat, memberikan tips berharga agar seseorang dapat senantiasa memiliki semangat untuk beribadah dan mudah bersyukur. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda:
“Ada dua perkara yang barang siapa memilikinya Allah akan mencatatnya sebagai seorang yang pandai bersyukur dan penyabar… yaitu orang yang melihat (mengukur) perkara agamanya (ibadah) dengan orang yang lebih tinggi darinya lalu dia mengikutinya, dan orang yang melihat (mengukur) perkara dunianya (harta benda) kepada orang yang paling rendah darinya lalu dia memuji Allah atas karunia yang diberikan kepadanya… al-hadits (HR. al-Tirmidzi, no. 2512).
Dalam hadis lain Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian memandang kepada seseorang yang dilebihkan atas dirinya dalam hal harta dan penciptaan, hendaklah ia memandang kepada orang yang ada di bawahnya dari orang-orang yang dilebihkan atas dirinya.” (HR. Muslim, no. 2965).
Ibnu Malik dalam Syarh al-Mashaabiih (jilid 5 halaman 419) menjelaskan bahwa orang yang memandang kepada mereka yang ibadah dan amal shalehnya lebih banyak dan lebih baik akan merasa terpacu mengikutinya. Orang itu senantiasa merasa ibadahnya masih kurang, sehingga akan selalu berusaha berbuat baik dan memperbaiki diri.
Sedangkan dalam urusan duniawi (harta benda, kesehatan, kecantikan, dan sebagainya), seseorang dianjurkan untuk membandingkan dirinya dengan orang yang jauh di bawahnya. Dengan demikian, dia akan bersyukur akan karunia yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
Maka berlaku hal sebaliknya. Ketika seseorang membandingkan harta dan penciptaanya dengan seseorang yang lebih kaya dan berada, ia akan merasa anugerah yang diberikan kepadanya sangatlah kurang. Lebih jauh, akan muncul penyakit-penyakit hati yang merusak, seperti iri dan dengki.
Untuk menghindari penyakit hati yang berkaitan dengan keirian terhadap benda duniawi, Rasulullah Saw menganjurkan umatnya agar memiliki sifat qana’ah (kanaah), yaitu ketika seorang hamba merasa cukup dan rida akan karunia yang telah diberikan Allah Swt kepadanya. Rasulullah Saw bersabda:
“Sungguh sangat beruntung orang yang telah memeluk Islam, diberikan rezeki yang cukup, serta merasa cukup terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya.” (HR. Muslim, no. 1057).
Begitu juga ketika seorang yang telah melaksanakan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya memandang kepada mereka yang ibadahnya lebih sedikit, dia akan cukup dengan ibadah yang telah dilaksanakannya. Ia merasa bahwa dirinya telah lebih baik dibandingkan orang lain. Ia juga merasa ibadahnya telah mencukupi sebagai bekalnya di akhirat kelak. Sehingga, dia tidak berusaha menambah dan memperbaiki amal shalehnya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir (hadis nomor 182) dan Imam al-Baihaki dalam Syu’b al-Iimaan (hadis nomor 512), disebutkan bahwa akan ada penduduk-penduduk surga yang menyesal. Penyesalan mereka disebabkan karena ketika hidup ada waktu luang yang terbuang tanpa menyebut (zikir) nama-Nya.
Dengan demikian, mensyukuri nikmat merupakan salah satu kunci terbesar dalam menggapai kebahagian dan ketentraman hidup. Sikap syukur akan mudah didapat ketika seorang hamba mengetahui dan menyadari betapa besar karunia yang telah diberikan kepadanya. Dan cara untuk mengetahui besarnya karunia yang ada pada diri seseorang adalah dengan memandang ke bawah, yaitu memandang orang yang harta dan kepemilikan duniawinya lebih sedikit daripada dirinya. Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini