Ramadhan dan Momentum Meneladani Ketakwaan Ja’far al-Shadiq

Jika berkisah tentang waliyullah, Gus Baha’ biasanya memperlihatkan para waliyullah yang punya amalan sederhana dan terlihat biasa-biasa aja, tapi punya pemaknaan yang mendalam. Nah, hal yang sama bisa dijumpai ketika membaca tafsir Q.S. al-Baqarah (2): 183—ayat yang berbicara mengenai kewajiban puasa Ramadhān. 

Ada satu riwayat yang dikutip al-Tsa’labi dalam tafsirnya, al-Kasyf wa al-Bayān, dari Imam Ja’far al-Shadiq (w. 148 H). Meskipun nama beliau kontroversial karena diperebutkan oleh dua aliran Islam besar yang berbeda, Sunni dan Syiah, namun eksistensinya sebagai salah satu sufi besar dalam kesejarahan Islam merupakan informasi historis yang sampai hingga saat ini. Sebagaimana tercantum dalam ensiklopedia sufi yang ditulis oleh Abdurrauf al-Munawi, al-Kawākib al-Durriyah fī Tarājim al-Sādah al-Shūfiyah.

Di dalamnya, Ja’far al-Shadiq berkata:

لذة “يا” في النداء أزال تعب العبادة والعناء 

“Nikmatnya kata ‘yā’ pada redaksi panggilan, yā ayyuhālladzīna āmanū, telah menghilangkan penat dan lelahnya ibadah.” 

Dari narasinya bisa dipahami bahwa Ja’far al-Shadiq setiap kali mengingat atau membaca ayat yang terdapat nidā’ atau redaksi panggilan di dalamnya, maka akan langsung fresh dan semangat lagi untuk beribadah. 

Kisah Ja’far al-Shadiq memberikan setidaknya dua hal yang menjadi pelajaran. Pertama, Ja’far al-Shadiq tidak hanya seorang waliyullah namun juga ‘Ulama. Pandangan ini tidak hanya bisa didapat saat menelusuri biografi beliau, namun juga ketika melihatnya menguraikan pemahamannya terhadap al-Qur’an pada redaksi di atas. 

Poin ini perlu ditekankan, sebab kerapkali dijumpai kisah-kisah pengalaman seorang sufi yang tidak sama sekali menyinggung kapasitasnya dalam ranah intelektual. Pada konteks ini, Ja’far al-Shadiq menunjukkan bahwa proses menuju kedekatan yang intim dengan Tuhan dilalui salah satunya melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam terhadap Kalam-Nya.

Kedua, intimasinya dengan Kalāmullah telah membawa Ja’far al-Shadiq berada pada level interaktif dengan Tuhan. Bagaimana tidak? Hanya dengan mendengar kata “yā” (hai/ wahai) dalam redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang berkomunikasi dengan orang-orang beriman, ia langsung merasa bahwa panggilan itu kontemporer kepada dirinya. Maka, tidak heran jika seketika itu juga ia merasa begitu senang dan gembira atas ibadah yang ia lakukan dan merasa terbebas dari belenggu negatif yang menghantuinya ketika beribadah.

Menuju level yang sama dengan nuansa kebatinan Ja’far al-Shadiq merupakan impian setiap insan muslim. Mencapai pada rasa di mana al-Qur’an seolah berbicara langsung kepada kita, saat ini juga. Menikmati setiap lantunan ayatnya sebagai senandung yang selalu menyertai kehidupan kita.

Untuk memulai menapaki tingkat demi tingkat—sebagaimana Ja’far al-Shadiq, Ramadhan menyediakan fasilitas tangga atau bahkan lift yang premium. Ramadhan membawa umat Islam pada ritual puasa yang memberikan tarbiyah bagi setiap insan yang berpuasa untuk mengendalikan nuansa batinnya pada kondisi takwa.

Ramadhan juga menjadi bulan spesial bagi pengkaji Kalāmullah, karena pada bulan ini al-Qur’an secara resmi menjadi panduan (syahr Ramadhān alladzī unzila fīh al-Qur’ān, hudan li al-nās). Bulan ini memberikan kesempatan kepada siapapun untuk kembali mengingat al-Qur’an sebagai Kalāmullah dan huda. Menjadi momentum yang tepat untuk melakukan tadabbur dan berupaya untuk membawa al-Qur’an seakan mu’āshiran lanā, al-Qur’an seolah turun di masa ini, saat ini dan berbicara kepada kita secara langsung.

Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A., Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A.? Silakan klik disini