Korupsi itu Dimulai dari yang Receh

Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan oleh sebuah video: truk pengangkut mie instan terguling di jalan raya. Bukan hanya menumpahkan muatannya, tetapi juga menumpahkan moral sebagian warga yang berada di lokasi. Bukannya membantu, mereka malah ramai-ramai menjarah dus mie yang berserakan.

Pemandangan itu sudah cukup menyedihkan. Tapi yang lebih menyesakkan justru datang dari kolom komentar. Di antara ribuan tanggapan netizen, ada satu komentar yang membuat pembacanya bergeming:

“Ternyata kita ini benci koruptor bukan karena mereka korupsi, tapi karena kita nggak kebagian.”

Komentar itu pahit, tapi kadang kebenaran memang terasa seperti obat yang pahit. Ia menampar kesadaran kita bahwa bisa jadi, di lubuk hati terdalam, kebencian terhadap koruptor bukan sepenuhnya karena moralitas, tapi karena posisi kita tidak di situ. Sebab kalau seandainya kita berada di posisi mereka, belum tentu kita lebih baik.

Tak lama berselang, kasus penjarahan rumah pejabat publik juga sempat viral. Dalam video itu terlihat puluhan warga menjarah dan memporak-porandakan rumah mereka—tanpa ampun, tanpa perlawanan. Lagi-lagi, komentar yang sama muncul:

“Kita ini benci koruptor cuma karena kita nggak diajak.”

Komentar itu seperti cermin yang dipaksa menatap balik kepada kita: mungkin koruptor yang kita hujat itu bukan orang lain, melainkan diri kita sendiri—hanya belum dapat kesempatan. Kita bisa lantang bicara soal kejujuran karena belum diuji. Integritas mudah diklaim, tapi sulit dibuktikan sebelum amplop miliaran rupiah benar-benar tergeletak di depan mata.

Tentu saja, tidak semua orang menjarah mie instan atau mencuri uang negara. Tapi bukan berarti bebas dari “korupsi” dalam bentuk lain. 

Seorang siswa, misalnya, diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar sungguh-sungguh. Tapi waktu belajarnya malah habis untuk rebahan, main HP, atau bahkan menyalin tugas dari teman—lebih parah lagi, sekarang bisa pakai AI atau aplikasi pintar untuk mengerjakan tugas tanpa usaha sedikit pun. Itu bentuk korupsi tanggung jawab dan korupsi ide.

Seorang pegawai negeri, guru, atau dosen yang tap fingerprint tapi tidak hadir, datang terlambat lalu pulang lebih cepat, atau melaporkan kegiatan fiktif—itu pun korupsi waktu dan amanah.
Pedagang yang mengurangi timbangan, tukang servis yang bilang “ganti sparepart” padahal masih layak, mandor bangunan yang pakai bahan sisa tapi menagih harga penuh—semuanya hanya berbeda dalam skala, bukan dalam kadar dosa.

Ironisnya, sebagian dari kita begitu lantang mengutuk koruptor di televisi dan media sosial, padahal, tanpa disadari, benih yang sama mungkin sedang tumbuh dalam diri sendiri.

Dosa Besar Dimulai dari yang Kecil

Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan dalam sabdanya:

وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا 

“.. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kefajiran (keburukan), dan sesungguhnya kefajiran itu membawa ke neraka. Seseorang akan terus berdusta hingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta ” (HR. al-Bukhārī, Kitab Adab, no. 6094)

Hadis di atas bukan sekadar peringatan moral, tapi gambaran tentang mekanisme batin manusia: bahwa keburukan besar tidak pernah lahir seketika. Ia tumbuh dari dosa kecil yang dianggap remeh, dari kebiasaan menipu sedikit-sedikit, dari perilaku culas yang dibiarkan “karena cuma sepele.” Dari hal-hal kecil semacam itulah, pelan-pelan, seseorang menulis takdirnya sendiri di sisi Allah—sebagai pembohong, sebagai pengkhianat, sebagai pelaku korupsi dalam bentuk apa pun.

Sebab dosa yang diulang-ulang akan membentuk kebiasaan. Dan kebiasaan yang dipelihara akan membentuk karakter. Ketika karakter itu sudah menetap, langit seakan berkonspirasi untuk meneguhkan keburukan itu: peluang curang datang semakin sering, pembenaran diri makin mudah ditemukan, dan hati makin kalis terhadap dosa.

Kalau hari ini seseorang gagal jujur dalam urusan mie instan dan seratus ribuan, apa jaminannya ia akan amanah dalam urusan sejuta? Dan jika sejuta pun masih menggoda, apa yang akan menahannya ketika satu miliar diletakkan di depan mata?

Korupsi, pada akhirnya, bukan sekadar soal jumlah. Ia soal kebiasaan—dan kebiasaan itu nyaris selalu dimulai dari hal-hal yang paling receh, dari celah-celah kecil di mana kita merasa tak ada yang melihat, padahal Allah Maha Melihat.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini