Dualitas Manusia: Seorang Hamba dan Makhluk Sosial

Di sepanjang sejarah hidup manusia, selalu ada orang-orang yang terlalu fokus pada salah satu aspek kehidupan, akhirat atau dunia. Di antara manusia itu ada orang yang hanya memikirkan akhirat, detik demi detik di sepanjang harinya. Ada yang enggan bekerja, dengan alasan bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah di akhirat. Ada pula yang beralasan bahwa rezeki sudah ditentukan Tuhan, sehingga manusia hanya perlu fokus beribadah.

Begitu juga sebaliknya. Ada manusia yang sedari bangun tidur hingga menjelang tidurnya lagi masih memikirkan dan bekerja demi kepentingan duniawinya saja. Mereka sibuk mencari kepuasan dan mencapai keinginan yang tiada habisnya, kendati telah memiliki kecukupan hidup yang layak. Ada pula yang bekerja dari pagi ke pagi hanya sekadar untuk mendapatkan sesuap nasi.

Ada juga manusia yang memikirkan dunia dan akhirat, kendati porsi yang diberikan jauh dari kata seimbang. Misalnya, orang yang tetap menunaikan salat, puasa, zakat dan lain-lainnya, tetapi hanya sekadar menggugurkan kewajibannya. Dia salat, tetapi tidak berusaha memperbaiki kualitas salatnya. Dia puasa, tetapi hanya merasakan haus dan laparnya, bukan makna serta hikmahnya.

Dalam Taariikh Ashbihaan diriwayatkan sebuah hadis dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda:

لَيْسَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لآخِرَتِهِ، وَلا مَنْ تَرَكَ آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ، وَلَكِنْ مَنْ أَخَذَ مِنْهُمَا جَمِيعًا

Bukan orang yang terbaik di antara kalian dia yang meninggalkan urusan dunia untuk urusan akhirat, juga bukan dia yang meninggalkan urusan akhirat untuk urusan dunia. Tetapi (yang terbaik di antara kalian) adalah dia yang mengurusi keduanya.

Hadis di atas menjelaskan bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup, yaitu dengan menunaikan kebutuhan-kebutuhan hidupnya di dunia, tetapi juga tetap mengejar kehidupan akhiratnya. Dalam al-Jaami’ al-Shagiir karya al-Suyuthi terdapat redaksi tambahan dari hadis di atas, “Sesungguhnya dunia adalah pengantar (jembatan) menuju akhirat.”

Maka, cucu Ibnu Abbas, yang bernama Muhammad bin ‘Ali pernah berdoa, “Ya Allah, tolong aku untuk menjalani kehidupan dunia dengan kekayaan (harta) dan tolong aku untuk membekali kehidupan akhirat dengan ketakwaan.” (al-Dakhaair al-‘Abqariyyaat, [1]: 182).

Agar dapat menyeimbangkan kehidupan untuk urusan dunia dan urusan akhirat, maka  manusia perlu untuk menyadari dualitas dirinya, yaitu sebagai seorang makhluk Tuhan yang perlu meng-hamba dan sebagai seorang makhluk sosial yang perlu menjalani kehidupan di dunia dengan baik.

Manusia Adalah Hamba

Kata hamba dalam bahasa Arab adalah ‘abdun. Kata ini terdiri dari tiga huruf, yaitu ‘ain, ba, dan dal, yang di antara maknanya adalah rendah, keras, hina, dan kejam. Kata ini juga diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu abdi. Makna lainnya dari kata tersebut dapat diterjemahkan sebagai budak (tanwir.id). Hamba, abdi, dan atau budak pada akhirnya memiliki konotasi rendah.

Kerendahan hamba dikaitkan dengan fakta bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Kata hamba (‘abdun) berkaitan dengan kata kerjanya, ‘abada-ya’budu (beribadah), sehingga tugas seorang hamba adalah beribadah. Hal ini dicerminkan dalam surah al-Dzariyat[51]: 56 yang berbunyi:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Dengan demikian, seorang yang mengaku beragama, seorang yang merasa bahwa dirinya adalah hamba, harus menyembah dan beribadah kepada Sang Pencipta. Dalam Islam sendiri, tuntutan-tuntutan ibadah tersebut dirangkum dalam rukun Islam. Artinya, orang yang ingin diakui sebagai seorang muslim yang baik dan sejati, sekurang-kurangnya harus mengerjakan salat, puasa, zakat, hingga berhaji, bukan sebatas mengucap dua kalimat syahadat.

Untuk dapat melaksanakan kewajiban seorang hamba dengan aman dan nyaman, banyak hal perlu disiapkan. Dia yang ingin menunaikan salat membutuhkan pakaikan untuk menutup aurat. Dia yang ingin membayar zakat membutuhkan harta untuk diserahkan. Dia yang ingin beribadah membutuhkan tenaga untuk melaksanakannya. Karenanya, kendati tujuan manusia diciptakan adalah untuk menyembah Tuhan, ia juga harus memenuhi kebutuhannya di dunia.

Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Untuk memenuhi kebutuhan di dunia, manusia juga harus bekerja serta mampu berbuat baik dan adil. Ia tidak bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya tanpa interaksi sosial dengan makhluk lainnya. Karenanya, aturan-aturan sosial pun diperlukan agar orang tidak berbuat sesukanya.

Islam sendiri mengajarkan bagaimana seorang manusia yang baik tidak hanya mampu saleh secara ritual (beribadah kepada Tuhan), tetapi juga harus mampu saleh secara sosial (baik kepada sesama makhluk). Inilah salah satu misi penting diutusnya Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah hadis beliau bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia/terpuji.” (Musnad al-Syihaab, no. 1165).

Dalam redaksi Imam Ahmad bin Hanbal, kata makaarim al-akhlaaq diubah menjadi shaalih al-akhlaak (akhlak-akhlak yang baik/saleh). Ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya menjadi suri teladan dalam hal beragama  (interaksi hamba kepada Tuhan), tetapi juga dalam hal bersosial (interaksi antarmakhluk).

Betapa pentingnya saleh ritual dan saleh sosial ini dicerminkan dalam ajara Islam, bahwa ibadah-ibadah yang dilaksanakan seorang muslim tidak hanya bernilai baik bagi dirinya sebagai seorang hamba, tetapi juga harus bernilai positif bagi dirinya sebagai seorang makhluk sosial.

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa salat seharusnya mencegah seseorang untuk berbuat keji dan mungkar (QS. al-‘Ankabuut[29]: 45). Muslim yang tidak memiliki kepedulian sosial, kata Kuntowijoyo, termasuk orang yang di dalam surah al-Maa’uun disebut sebagai ‘mereka yang lalai dalam salatnya’. Contoh lainnya adalah zakat yang merupakan konsekuensi logis setelah merasakan lapar dan haus di bulan puasa (Muslim Tanpa Masjid, 8).

Karenanya, muslim yang baik harus dapat memberikan porsi yang tepat untuk keperluan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Tanpa kehidupan yang nyaman di dunia, seseorang tentu tidak akan bisa beribadah secara lebih nyaman dibandingkan orang yang memiliki kecukupan hidup di dunia. Wallahu a’lam.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini