Definisi Musafir dan Kaitannya dengan Shalat

QNA

Tanya:  Apa yang dimaksud dengan musafir? Bagaimana kaitannya dengan shalat? Sebagai mahasiswa yang datang dari daerah jauh, apakah saya  dapat  dianggap  musafir?

Jawab:

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “musafir” diartikan sebagai “orang yang bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih); pengembara.” Dalam pandangan hukum Islam, musafir adalah orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dalam jarak tertentu dan berniat tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu.

Menurut mazhab Syâfi‘î dan Mâlikî, jarak yang ditempuh sekur- ang-kurangnya adalah 77 kilometer, dan 115 kilometer menurut mazhab Abû Hanîfah. Imam Ahmad berpendapat bahwa seseorang tidak lagi disebut musafir bila dia bermaksud tinggal empat hari atau lebih di suatu tempat. Imam Syâfi‘î dan Mâlik juga berpendapat demikian. Imam Abû Hanîfah membenarkan sampai lima belas hari. Dengan demikian, dalam pandangan para ulama itu, jika seseorang telah berniat tinggal lebih dari waktu itu sejak semula, maka dia bukan musafir lagi. Jadi, dia tidak diberi izin untuk menjamak (menggabung shalat Dzuhur dan Asar atau Maghrib dan Isya), apalagi meng-qashar (melaksanakan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat saja).

Baca Juga: Kedudukan Shalat Tahajud dan Hubungan Badan Suami Istri

Seandainya sang musafir terpaksa menunda kepulangannya sehari karena satu dan lain hal, maka statusnya sebagai musafir dapat diperpanjang sehari. Kemudian, jika kepulangannya ternyata masih harus tertunda lagi sehari esok harinya, maka statusnya masih dapat diperpanjang lagi hari demi hari. Imam Syâfi‘î membatasi perpanjangan ini hanya sampai tujuh belas atau delapan belas hari. Sementara itu, imam mazhab lainnya tidak membatasinya. Tetapi, Anda harus ingat bahwa izin ini berlaku bagi mereka yang berstatus musafir dalam pengertian di atas, yakni yang sejak semula hanya bermaksud tinggal empat atau lima hari dan bukan seperti Anda yang berstatus mahasiswa yang sudah tentu sejak semula bermaksud tinggal selama berbulan-bulan.

Imam Abû Hanîfah mewajibkan musafir melakukan shalat qashar (Dzuhur, Asar, dan Isya masing-masing hanya dua rakaat). Sementara itu, tiga imam mazhab lainnya membolehkan meng-qashar atau melak- sanakannya empat rakaat sebagaimana biasanya.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhârî, dan Ibnu Mâjah dari Ibnu ‘Abbâs adalah sebagai berikut: Ketika Nabi saw. memasuki kota Mekkah (dari Madinah), beliau tinggal di sana sembilan belas hari dan mengerjakan shalat dua rakaat. Ada juga riwayat yang menyatakan 17 hari, dan 18 hari. Agaknya, yang menghitung 17 hari tidak memasukkan hari datang dan hari pulang, dan yang menghitung 18 hari tidak memasukkan hari pulang.

Baca Juga: Apa yang Dimaksud dengan Kitab Kuning?

Hadits ini adalah salah satu alasan bagi mereka yang membolehkan shalat qashar, selama penundaan sehari demi sehari itu tidak lebih dari 17 atau 18 hari. Memang, ada juga ulama yang membolehkan meng- qashar shalat selama yang bersangkutan meninggalkan tempat tinggalnya dan berapa lama pun dia berada dalam perjalanan. Akan tetapi, pendapat ini tidak mendapat dukungan banyak ulama, karena alasan-alasannya tidak kuat.

Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang Selatan: Penerbit Lentera Hati, 2010), hlm. 39.