Kedudukan Shalat Tahajud dan Hubungan Badan Suami Istri

QNA

Tanya: Bagaimana  kedudukan  shalat Tahajud?  Bolehkah  seorang  istri  enggan melayani  suaminya  dengan  alasan  shalat  Tahajud?

Jawab:

Shalat Tahajud baik sekali dikerjakan. Tetapi, harus disadari bahwa shalat ini tidak wajib. Banyak ibadah lain yang dapat dikerjakan sebagai alternatif penggantinya. Al-Qur’an menyebutkan tiga alasan untuk tidak melakukannya dan sekaligus memberi alternatif penggantinya:

… Dia (Allah) mengetahui bahwa akan ada di antara kamu yang sakit, dan berjalan di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka (sebagai ganti shalat Tahajud) bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an, dan laksanakanlah shalat (fardu secara berkesinambungan), tunaikanlah zakat, dan berilah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (yakni, bersedekah). Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu guna masa depan (akhirat) niscaya akan kamu peroleh balasannya di sisi Allah sebagai balasan yang baik dan paling besar ganjarannya, … (QS. al- Muzzammil [73]: 20).

Sekali lagi, shalat Tahajud bukan kewajiban, tetapi hanya sunnah. Dalam bukunya yang berjudul Kayfa Nafham al-Islâm (Bagaimana Kita Memahami Islam), Muhammad al-Ghazâlî menulis, “Seandainya ada seseorang yang sepanjang malam memuji Allah, dan kemudian di pagi harinya ketika dia membuka usahanya dia merasa lesu dan malas, yang mengakibatkan dia mengabaikan usahanya, atau malas memasarkan dagangannya  atau  membersihkan  (kios)-nya  guna  meningkatkan penghasilannya, maka sungguh dia telah berdosa kepada Allah.”

Baca Juga: Apa yang Dimaksud dengan Kitab Kuning?

Kehidupan rumah tangga yang harmonis didambakan oleh agama bagi pemeluknya. Karena itu, hubungan seks antara suami-istri adalah ibadah. Masing-masing mendapat ganjaran dengan hubungan itu. Demikian penjelasan Nabi. Para sahabat yang mendengar Nabi saw. bersabda demikian terheran-heran, “Apakah salah seorang dari kami melampiaskan syahwatnya, lalu dia beroleh ganjaran?” Nabi saw. menampik keheranan mereka dengan bertanya, “Beritahulah aku, bagaimana seandainya dia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah dia berdosa? Maka, begitu pula, jika dia melampiaskannya pada yang halal, dia memeroleh ganjaran.”

Islam menghargai naluri manusia. Ia bahkan mendahulukan kepentingan manusia (haqq al-‘ibâd) atas “hak Allah”. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) kalau suaminya ada di tempat, kecuali dengan seizin suaminya” (HR. Bukhârî). Ini karena dikhawatirkan jangan sampai kebutuhan seksual suami yang mendesak—jika tidak dilayani—menjerumuskannya dalam dosa.

Abû Dâwûd meriwayatkan sebuah hadits. Sekalipun lemah, makna hadits ini secara umum dapat diterima. “Seorang wanita datang meng- adukan suaminya yang bernama Shafwân kepada Rasulullah saw. Katanya: ‘Suamiku memukulku jika aku mengerjakan shalat, memaksaku berbuka jika berpuasa, dan dia baru mengerjakan shalat Subuh menjelang (hampir) terbit matahari.’

Nabi menanyakan pengaduan itu kepada sang suami dan dia menjawab: ‘Aku memukulnya jika dia mengerjakan shalat, karena dia membaca dua surah berturut-turut (dalam satu rakaat). Padahal, sebelumnya, dia telah (sering) kularang.’ Nabi berkomentar: ‘Satu surah saja sudah cukup.’ Ihwal pengaduan bahwa dia dipaksa berbuka puasa, sang suami menjawab: ‘Dia berpuasa sunnah (terus-menerus), sementara aku adalah pemuda yang tidak tahan (untuk tidak berhubungan seks).’ Nabi berkomentar: ‘Tidak dibenarkan seorang wanita berpuasa sunnah (ketika suami berada di tempat), kecuali seizin suaminya.’ Adapun soal shalat Subuh, ‘Kami adalah keluarga yang dikenal (sulit tidur) sehingga kami baru terbangun (menjelang) terbitnya matahari.’ Nabi bersabda, ‘Jika engkau bangun, segeralah kerjakan shalat.’”

Baca Juga: Kapan Perayaan Maulid Nabi Pertama Kali Dirayakan?

Hadits-hadits yang cukup banyak dalam konteks ini menunjukkan bahwa beribadah kepada Allah, apalagi yang sunnah, dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain, dengan pelayanan yang baik kepada pasangan hidup dan keluarga. Perlu ditambahkan bahwa walaupun tidak disebut-sebut kebutuhan istri dalam berbagai hadits, namun ini tidak berarti bahwa suami tidak memunyai kewajiban kepada istrinya. Al-Qur’an menegaskan: Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu dan kamu (suami-suami) adalah pakaian bagi mereka (QS. al-Baqarah [2]: 187).

Dengan saling pengertian dan tanpa harus berkorban, masing- masing pihak dapat memeroleh kebutuhan dan kesenangannya, termasuk hubungan seks dan shalat Tahajud. Bukankah kedua ibadah itu tidak harus dilakukan setiap dan sepanjang malam?

Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang Selatan: Penerbit Lentera Hati, 2010), hlm. 20 – 21.