Konsep Rahmah ala Al-Quran dalam Pengasuhan Anak

“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Furqan/25: 74)

Dalam kehidupan manusia, Allah memberikan kita aneka anugerah. Salah satu di antara anugerah kemurahan Allah itu ialah anak keturunan. Berbicara mengenai anak, dalam Al-Quran pun istilah ini disebutkan dengan beragam nama ada yang disebut dengan lafaz ghulam, walad, atfhal, tifl, shabiy, juga yang disebut dalam Qs. Al-Furqan/25: 74 di atas dengan dzurriyat.

Dzurriyat atau diartikan dengan keturunan yang didefinisikan secara luas yakni keturunan (baik berupa anak maupun cucu) secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran dengan istilah yang sangat mulia yakni qurrata a’yun (penyejuk atau penyenang hati). Kata qurrah demikian menurut Muhammad Quraish Shihab pada mulanya berarti dingin. Sementara, qurrah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menggembirakan. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa air mata yang mengalir dingin menunjukkan kegembiraan, sedang yang hangat menunjukkan kesedihan. (Tafsir al-Misbah: 9/ 545).

Terinspirasi dari Qs al-Furqan/25: 74 di atas maka dapat kita ketahui bersama bahwa sebaik-baik anugerah Allah ialah pasangan dan juga keturunan yang menyenangkan ketika dipandang, menyejukkan hati tatkala ia berbicara, santun perilakunya, berbudi luhur pekertinya, serta tentu bertaqwa.

Namun, bagaimana tips Al-Quran merawat dan mendidik dzurriyah agar menjadi qurrata a’yun bagi orangtuanya?

Al-Quran sesungguhnya meletakkan dasar-dasar pendidikan anak (tarbiyah al-awlad) secara komprehensif. Tak sekedar pemenuhan materil atau kebutuhan dasar untuk makan, pakaian, pendidikan, juga kebutuhan tersier, anak-anak membutuhkan ‘sentuhan’ tulus dan bonding berkualitas melalui pendekatan kasih sayang (rahmah). oleh karena itu, anak– dideskripsikan sebagai ‘amanah’ terbesar dalam hidup manusia, dalam satu ayat disebutkan sebagai ziinah (perhiasan), ada pula disebut anak ialah ‘aduwwun (musuh) dalam Qs. At-Taghabun/64: 14 namun di ayat lain disebut pula sebagai fitnah (ujian).

Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (Qs. al Anfal/8: 28)

Dalam tafsir Ibn Katsir (2/510), dijelaskan bahwa harta dan anak-anak merupakan ujian dan cobaan dari Allah swt. Jika hal tersebut diberikan kepadamu, guna mengetahui apakah kamu bersyukur dan menaati-Nya atau kamu melalaikan-Nya. Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab menyebutkan bahwa Surah Al-Anfal di atas dimulai dengan perintah “ketahuilah”. Redaksi seperti ini bertujuan untuk menekankan mitra bicara tentang betapa pentingnya apa yang akan disampaikan dan bahwa hal tersebut tidak boleh diabaikan serta diremehkan. Anak sebagai fitnah bukan saja ketika orang tua terdorong oleh cintanya kepada anaknya, sehingga ia melanggar perintah Allah, tapi juga dalam kedudukan anak sebagai amanah dari Allah swt. Allah menguji manusia melalui anaknya. Untuk melihat apakah ia memelihara amanah tersebut secara aktif, yakni mendidik dan mengembangkan potensi-potensi anak agar menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah. (Tafsir Al-Misbah: 10/426).

Dalam ayat lain, Allah menyebutkan bahwa anak-anak dan harta adalah ziinah (perhiasan), “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan” (Qs. Al-Kahfi/ 18: 46).

Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan, ayat tersebut menunjukkan makna harta dan anak dinamai dengan zinah, yakni hiasan atau sesuatu yang dianggap baik dan indah. Hal ini memang demikian, karena ada unsur keindahan pada harta. Demikian juga pada anak, di samping anak dapat membela dan membantu orang tuanya. Penamaan anak dan harta sebagai zinah/hiasaan menurut Muhammad Quraish Shihab jauh lebih tepat daripada menaminya dengan qimah/sesuatu yang berharga. Karena, kepemilikan harta dan kehadiran anak tidak dapat menjadikan seseorang berharga atau menjadi mulia. Kemulian dan penghargaan hanya diperoleh melalui iman dan amal saleh. (Tafsir al-Misbah: 08/70).

Mengingat sangat berharganya rezeki keturunan tersebut, maka merawat dan menjaganya pun memerlukan bekal iman dan ilmu yang cukup. Betapa banyak orangtua yang akhirnya tersakiti secara fisik oleh anaknya, lantaran tidak mampu membelikan barang-barang mahal seperti yang diinginkan anaknya. Sebaliknya, betapa banyak pula orangtua gelap mata sehingga melakukan kekerasan fisik, psikis, verbal, bahkan seksual terhadap buah hatinya.

Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga) kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa yang besar.” (Qs al Isra/17: 31).

Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (Kemenppa) mencatat, Januari hingga Juni 2025, sebanyak 12 ribu anak masih menjadi korban kekerasan. Hal yang paling mencengangkan, kekerasan ini masih terjadi di tempat yang seharusnya ‘aman’ bagi anak baik di rumah, sekolah, lembaga pendidikan.

Jika kita melihat dari perspektif Al-Quran, maka kita akan melihat bahwa Al-Quran sangat memberikan teladan yang sempurna bagaimana relasi orangtua dan anak bersifat kesalingan; saling berkasih sayang. Orangtua memiliki tanggungjawab yang besar untuk memberikan kebutuhan dasar yang memadai, makanan minuman bergizi, pendidikan yang memadai, mencurahkan perhatian, kasih sayang, waktu dan pengasuhan terbaik untuk anak-anaknya– agar terlahir anak-anak yang kuat fisiknya, luhur akhlaknya, bukan anak-anak yang lemah yang akhirnya banyak melahirkan musibah (dzurriyah dhi’afah/ Qs. An-Nisa: 4/ 9). Sebaliknya, anak pun diberi tanggungjawab langsung oleh Allah untuk berbuat baik dan santun pada keduanya terlebih jika keduanya telah memasuki usia senja. (Qs. Al-Isra/17: 23).

Prinsip saling berkasih sayang inilah yang semoga mampu menguatkan bonding orangtua dan anak. Keduanya paham bahwa hubungan orangtua dan anak ialah ikatan fisik dan batin yang tiada pernah putus. Anak tidak pernah bisa memilih terlahir dari rahim siapa. Orangtua pun tidak mampu memilih jenis kelamin anak yang akan dilahirkannya. Sebab itu, baik orangtua maupun anak harus sama-sama sadar bahwa tanggungjawab untuk berbuat baik bukan sekedar menggugurkan kewajiban namun menjalani perintah langsung dari Allah. Orangtua sepenuhnya sadar bahwa kelak Allah akan meminta pertanggungjawabannya, anak pun mengetahui bahwa kelak nanti akan dihisab bagaimana akhlak pada orangtuanya. Tentu, hubungan ini tidak dapat terjalin dengan mudah, melainkan harus ada upaya yang dimulai dari orangtua di rumah melalui penanaman nilai akhlak dengan prinsip rahmah. Sehingga, tercapailah apa yang diurai pada ayat pertama di atas; menghasilkan anak-anak yang menjadi penyejuk hati kedua orangtuanya.

Selamat Hari Anak Nasional. Semoga seluruh anak-anak dapat hidup dengan aman, nyaman, damai dan penuh berkah.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini