Syakban merupakan bulan kedelapan dalam hitungan tahun hijriyah. Bulan ini terletak di antara dua bulan mulia, yaitu Rajab dan Ramadan. Kemuliaan Rajab adalah karena ia termasuk dari bulan mulia (al-syahr al-haram). Sedangkan kemuliaan Ramadan dikarenakan banyak sebab, di antara adalah bulan di mana Al-Qur’an pertama kali diturunkan dan menjadi bulan puasa bagi umat muslim.
Karena posisinya yang demikian, Syakban sering dilalaikan oleh umat muslim. Padahal, Syakban juga memiliki banyak keutamaan sebagaimana bulan-bulan lainnya. Nama Syakban sendiri mencerminkan keutamaan-keutamaan tersebut. Syakban dimaknai sebagai al-syi’b (jalan kebaikan), al-sya’b (tambalan), dan al-ta’asysyub (terkumpulnya banyak kebaikan), dan lain sebagainya (Sayyid Muhammad, Maadzaa fii Sya’baan?, hal. 5).
Pada bulan ini terjadi beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam era Nabi Muhammad Saw. Pada bulan inilah perintah bershalawat kepadanya diturunkan (QS. al-Ahzab: 56). Pada bulan itu juga terjadi pemindahan kiblat salat dari Baitul Maqdis ke Kakbah, sebuah perintah yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Muhammad (QS. al-Baqarah: 144). Di bulan Syakban juga terjadi pengangkatan amal ibadah hamba dalam satu tahun, yang terjadi pada pertengah bulan (Nishf Sya’baan).
Karena banyaknya keutamaan Syakban yang sering dilalaikan oleh umat muslim, Nabi Muhammad Saw. di masa hidupnya selalu berusaha menghidupkan bulan ini. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw. bersabda,
“Itu (Syakban) adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia, (ia terletak) di antara bulan Rajab dan bulan Ramadan. Dia adalah bulan di mana amal perbuatan manusia diangkat menuju Tuhan Semesta Alam … al-hadis.” (HR. al-Nasa’i, no. 2357).
Salah satu cara Nabi Muhammad menghidupkan bulan ini adalah dengan berpuasa. Banyak hadis yang menerangkan bagaimana banyaknya puasa yang beliau lakukan di bulan Syakban. Lanjutan hadis di atas berbunyi, “… Maka aku ingin agar amal ibadahku diangkat ketika aku berpuasa.”
Sayyidah Aisyah menjelaskan betapa seringnya Nabi Muhammad Saw. berpuasa di bulan Syakban. Ia berkata,
“Rasulullah Saw. pernah berpuasa hingga kami mengatakan; beliau tidak berbuka. Dan beliau berbuka hingga kami mengatakan; beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasanya dalam satu bulan penuh kecuali di bulan Ramadan. Dan aku tidak pernah melihat beliau puasa di suatu bulan yang lebih banyak dari puasa beliau di bulan Syakban.” (HR. al-Bukhari, no. 1969).
Dalam riwayat lain, Sayyidah Aisyah berkata,
“Tidak ada bulan di mana Rasulullah Saw banyak berpuasa dibanding bulan Syakban. Beliau berpuasa di bulan itu -satu bulan penuh- atau sebagian besarnya.” (HR. al-Nasa’i, no. 2354).
Dua hadis di atas menunjukkan betapa banyaknya puasa yang dilakukan Nabi di bulan Syakban, sehingga para sahabat berkata ‘seakan-akan beliau tidak berbuka’. Namun, seakan terjadi pertentangan antara dua hadis di atas. Pada hadis pertama disebutkan bahwa Nabi berpuasa sebulan penuh hanya di bulan Ramadan, yang merupakan puasa wajib. Sedangkan pada hadis kedua, disebutkan bahwa Nabi berpuasa di bulan Syakban secara penuh.
Badruddin al-‘Aini mengutip pendapat Ibnu Mubarak menjelaskan bahwa dalam tradisi verbal orang Arab, diperbolehkan mengatakan ‘penuh’ untuk menggantikan redaksi ‘lebih banyak’ dalam satu bulan, sebagaimana dikatakan ‘fulan salat sepanjang malam’ (‘Umdah al-Qaari, jil. 11, hal. 83). Syamsuddin al-Barmawi juga menjelaskan bahwa maksud ‘seluruh’ adalah ‘kebanyakan’ (al-Laami’ al-Shabiih, jil. 6, hal. 440).
Alasan lain mengapa Nabi Muhammad Saw. selalu menghidupkan Syakban dengan berpuasa adalah sebagai penghormatan dan persiapan memasuki bulan Ramadan. Dalam sebuah hadis ghariib disebutkan bahwa Rasulullah Saw. ditanya mengenai puasa yang paling afdal setelah puasa Ramadan. Beliau menjawab:
“(yaitu) puasa di bulan Syakban untuk mengagungkan bulan Ramadan.” (HR. al-Tirmidzi, no. 663).
Imam al-‘Iraqi menyebut bahwa hadis di atas bertentangan dengan hadis lainnya yang menyebutkan bahwa puasa yang paling afdal setelah puasa Ramadan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram (HR. al-Bukhari, no. 1165).
Akan tetapi, Abu Thayyib al-Sindi menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan di antara dua hadis tersebut. Secara umum, puasa sunah yang paling afdal adalah puasa di bulan Muharram. Namun, jika dikaitkan sebagai penghormatan terhadap bulan Ramadan, maka puasa sunah yang paling baik adalah puasa di bulan Syakban. Puasa ini juga berfungsi sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan puasa wajib, yaitu Ramadan (al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzii, jil. 3, hal. 256).
Dalam Islam, salah satu cara untuk memuliakan suatu momen adalah dengan melakukan persiapan yang baik menjelang datangnya momen tersebut. Misalnya, untuk memuliakan hari Jumat, hari raya bagi umat muslim, Imam al-Ghazali menyarankan agar kaum muslim sudah melakukan persiapan di hari Kamis, yaitu dengan membersihkan pakaian dan memperbanyak membaca tasbih dan istigfar di sore harinya (Bidaayah al-Hidaayah, hal. 48).
Demikian cara Rasulullah Saw. menghidupkan bulan Syakban, bulan yang sering dilalaikan oleh umat muslim di masanya. Padahal, banyak keutamaan yang hanya terjadi di bulan tersebut. Maka, mari menyongsong Ramadan dengan sebaik-baiknya sedari bulan Syakban.
Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini