Dalam kasus sawer qariah yang cukup besar menyedot perbincangan publik bukanlah memberikan uang kepada ahli membaca al-Qur’an. Sebab memberikan sesuatu pada orang yang soleh, sebagaimana memberikan uang kepada orang yang mahir dalam membaca al-Qur’an, bukanlah sesuatu yang tabu di dalam Islam. Yang menyedot perbincangan publik adalah “cara memberikan” sesuatu tersebut yang terkesan tabu. Untuk itu penting mengenal adab atau tata krama dalam “memberi”.
Islam mengenalkan prilaku “memberi” dalam berbagai istilah. Apabila memberi dengan tujuan karena Allah maka disebut sedekah, apabila dengan tujuan hanya sekedar menjalin kasih sayang maka disebut hadiah, apabila dengan tujuan selainnya maka bisa disebut hibah. Para ulama juga menetapkan beberapa adab dalam memberi. Dengan tujuan salah satunya agar tindakan memberi bisa berbuah pahala, dan tidak malah memunculkan dosa. Adab-adab ini tersebar dalam permasalahan zakat, sedekah, menyuguh tamu, dan selainnya.
Diantara adab memberi yang ditetapkan oleh para ulama dalam bab sedekah adalah: 1) Niat karena Allah; 2) Menyebunyikan sedekah dari hadapan publik agar tidak memancing rasa sombong. Kecuali dengan tujuan menarik perhatian orang lain agar ikut bersedekah; 3) Melakukan sedekah di waktu-waktu yang dianjurkan sedekah; 4) Mendahulukan kerabat sebagai penerima; 5) Mendahulukan orang yang amat membutuhkan sebagai penerima;
6) Menjahui al-Manni (mengungkit-ungkit) wal adza (prilaku menyakiti orang lain; 7) Menyerahkan dengan sikap rela serta wajah ramah; 8) Sedekah dengan benda yang masih bagus; 9) Sedekah dengan harta yang halal; 10) Memilih penerima yang tidak menggunakan harta sedekah untuk keperluan maksiyat dan beberapa adab lain (Al-Inafah Fima Jaa Fis Shadaqoh/33).
Salam kasus sawer qariah, adab memberi yang kurang diperhatikan adalah memberi dengan tanpa disertai tindakan adza (menyakiti). Adab ini muncul berdasarkan firman Allah salah satunya:
Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima) (QS. Al-Baqarah/264).
Para ahli tafsir menjelaskan, sebenarnya redaksi al-Adza lebih umum dari al-Manni. Sebab al-Manni atau mengungkit-ungkit pemberian juga juga merupakan termasuk prilaku menyakiti orang lain. Hanya saja karena prilaku al-Manni sering terjadi, sehingga dia disebutkan secara khusus seakan terpisah dari redaksi al-Adza (Tafsir Munir/3/48).
Imam al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan, al-Adza bisa berupa ucapan merendahkan si penerima, memperlihatkan mimik wajah yang tak nyaman dipandang, mempertontonkan keadaan penerima yang buruk, serta berbagai model sikap merendahkan (Ihya Ulumuddin/1/226).
Ibn Hajar di dalam Fathul Bari menjelaskan, Imam al-Bukhari meyakini bahwa al-Adza bisa saja berupa memberikan sesuatu yang didapat dengan cara tidak baik kepada seseorang. Seperti mensedekahkan benda curian. Sebab andai si penerima mengetahui asal-usul benda yang dia terima, tentu dia enggan menerima benda tersebut (Fathul Bari/4/499).
Dalam kasus sawer qariah, pemberian yang ada dapat dimasukkan dalam kategori sedekah. Sebab tampaknya si pemberi hanya sekedar ingin memberikan uang dengan tujuan penghargaan kepada kemampuan si qariah dalam membaca al-Qur’an. Sayangnya dengan cara yang salah. Yaitu cara yang justru mempermalukan si penerima. Sebab si penerima diibaratkan penyanyi dangdut yang biasa diberi saweran berupa uang, dengan cara diberikan di atas panggung.
Padahal yang mungkin diharapkan penerima adalah, andai ada orang yang ingin memberinya uang, tentu pada waktu dan tempat yang tepat. Yaitu kesempatan yang tidak mempermalukan dirinya sebagai ahli al-Qur’an. Sebab kemuliaan al-Qur’an tidak dapat dihargai dengan uang berapapun jumlahnya. Dan ini membuat interaksi al-Qur’an dengan uang amatlah tabu. Seharusnya uang diberikan kepada penerima tatkala tidak sedang membaca al-Qur’an, dan juga tidak dengan cara menyebarnya.
Mohammad Nasif, Penulis Buku Keislaman dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Mohammad Nasif, S.Th.I? Silahkan klik disini