Umat Islam dan Kristen mempunyai keyakinan yang sama terkait kenaikan Isa al-Masih. Meskipun demikian, keduanya memiliki perbedaan dalam perinciannya. Umat Islam meyakini bahwa Nabi Isa diangkat oleh Allah sebelum disalib. Landasan yang dipakai oleh umat Islam adalah surat an-Nisa’:157-158:
Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.
Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Baca Juga: Perbedaan Syariat, Fikih, dan Ijtihad
Sedangkan umat Kristen meyakini bahwa Nabi Isa disalib, kemudian wafat, lalu diangkat oleh Allah. Mereka juga meyakini adanya kebangkitan Yesus setelah meninggal, mereka menyebutnya dengan istilah Qiyamah. Bukan kiamat dalam arti dunia yang kiamat, tetapi kiamat dalam arti kebangkitan Yesus dari mati. Karena itu, Gereja di Yerusalem oleh orang Kristen Arab disebut sebagai Al-Kanîsat Al-Qiyâmah (Gereja Kiamat, “The Holy Sepulchure”).
Di situlah, menurut mereka, dulu Nabi Isa (Yesus) itu dikubur setelah disalib, dan tiga hari kemudian naik ke langit, lalu kelak diperingati dalam bentuk gereja, setelah masa Konstantin Yang Agung. (Budhy Munawar-Rachman, Karya Lengkap Nurcholish Madjid.)
Dalam pemahaman para ulama’ kita, terdapat perbedaan pandangan terkait rincian peristiwa pengangkatan Nabi Isa. Yang pertama, dan ini masyhur di kalangan ulama tafsir, bahwa sesungguhnya Allah SWT mengangkat Isa secara utuh, yaitu dengan ruh dan jasadnya sekaligus ke langit. Beliau juga akan turun meluruskan kekeliruan umatnya.
Adapun pendapat yang kedua, memahami secara majazi, bahwa “derajat” Nabi Isa diangkat Allah di sisi-Nya. Pendapat ini dipegang ar-Razi ketika menafsirkan ayat إِنِّى مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَىَّ dalam surat Ali Imran: 55. Hal ini menurutnya sebagai bentuk pengagungan. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir).
Sebagian dari ulama lain tidak mau masuk lebih dalam perihal perbedaan di atas dan cenderung mengungkapkan hikmah dari peristiwa ini. Al-Masih, walaupun disalib lalu diangkat (seperti keyakinan umat Kristen) atau diselamatkan dan diangkat oleh Allah (sebagaimana keyakinan kita), beliau pada akhirnya mendapatkan kedudukan yang istimewa. Baik di sisi Tuhan begitu juga di sisi para pengikut dan pengagumnya.
Di tempat lain Syaikh Muhammad Abduh pernah berkata, “Seorang muslim tidak menjadi muslim sebelum ia menjadi ‘masihi’, dalam arti meyakini beliau sebagai rasul dan utusan Allah walaupun beliau dilahirkan tanpa ayah.” (Quraish Shihab, Lentera Hati).
Al-Qur’an menegaskan bahwa kehadiran Nabi Muhammad di pentas bumi ini bukan untuk melawan ajaran Nabi Isa atau anti-Crist. Sebaliknya, Nabi Muhammad justru menjadi pendukung kebenaran dari kitab suci sebelumnya, yakni Taurat dan Injil (QS. 5:48). Ini tentu berbeda dengan perilaku kaum Yahudi yang menolak Nabi Isa bahkan menuduh Ibu Maryam melakukan hal tidak senonoh (QS. 4:156).
Sebagai muslim, kita tentu meyakini bahwa sejatinya Nabi Isa tidaklah disalib dan ini lebih sesuai dan lebih layak bagi kehormatan dan kemuliaan Nabi Isa. Kita juga menolak pandangan Kristen yang mengatakan bahwa Isa disalib untuk menjadikan dirinya sebagai penebus umat manusia dan alam serta untuk menghapus kesalahan Adam dan dosa-dosa anak cucu Adam.
Hal ini karena Allah SWT telah menetapkan bahwa keterbebasan dari dosa dan kesalahan adalah dengan tobat (at-Taubah:104). Sementara Nabi Adam telah bertobat dan mengakhiri masalah yang ada, dan Allah SWT pun menerima tobatnya (al-Baqarah:37).
Baca Juga: Lima Gaya Hidup Hemat Nabi Muhammad Saw
Namun demikian, karena kita hidup di tengah keragaman, perbedaan teologis antara umat Islam dan Kristen tentang Nabi Isa jangan sampai membawa pada perbedaan kita akan prinsip kemanusiaan. Perbedaan teologis ini tidak akan menghalangi kita untuk saling menghormati dan menghargai.
Bernard Lewis pernah mengajukan tesisnya bahwa umat Islam itu makin dekat ke zaman kejayaannya makin toleran, dan makin jauh makin tidak toleran; juga makin dekat dengan pusat-pusat Islam makin toleran, dan makin jauh makin tidak toleran (Ensiklopedi Nurcholis Madjid I). Pertanyaannya, maukah kita menjadi umat yang toleran?
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id