Konsep Wasathiyah Islam Menurut Al-Qur’an dan Hadis Nabi

Istilah wasathiyyah terambilkan dari kata wasath, yang menurut Ibnu Faris dalam karyanya Mu’jam Maqayis al-Lughah, dimaknai sebagai sesuatu yang di tengah, adil, baik, dan seimbang. Dalam bahasa yang umum digunakan dalam keseharian kita hari ini, wasathiah seringkali diterjemahkan dengan istilah moderat atau bersikap netral dalam segala hal.

Terminologi wasath -atau dalam bentuk Sifat Musyabbahah-nya dibaca wasith ini- kemudian diadobsi oleh bahasa Indonesia dengan sebutan “wasit”, yaitu orang yang menengahi sebuah pertandingan antara dua kubu atau kelompok dalam sebuah pertandingan sepakbola, voli dan lain sebagainya. Artinya secara bahasa, istilah wasathiyyah ini sangat dekat dengan keseharian kita.

Kemudian kalau ditilik lebih dalam melalui sejarah agama kita, maka istilah wasathiyyah atau moderat ini tidak bisa dipisahkan dengan kisah dua kelompok yang sangat masyhur dalam sejarah Islam yaitu kaum Khawarij dan kaum Murjiah. Siapa mereka.? Kaum Khawarij adalah salah satu sekte atau aliran dalam Islam yang awalnya berada di pihak Khalifah Ali ibn Abi Thalib.

Namun akhirnya membelot bahkan mengafirkan beliau karena dianggap tidak lagi menegakkan hukum Allah Swt ketika menerima peristiwa tahkim (perdamaian) yang diajukan oleh kelompok Sayyidina Muawiyah, yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam pasca perperangan Shiffin tahun 37 H.

Baca Juga: Menjaga Empati di Masa Pandemi

Kelompok ini berpandangan bahwa semua hukum harus didasarkan kepada hukum Allah Swt sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadis-Hadis Nabi sesuai dengan apa yang mereka pahami secara tekstual. Sehingga dengan pemahaman tekstualnya, mereka menganggap Saydina Ali tidak lagi istikamah di jalan Allah dengan menerima diplomasi atau perdamaian yang diajukan oleh pihak pemberontak, yang dalam hal ini adalah Saydina Mu’awiyah dan sahabat-sahabatnya.

Akhirnya mereka mengklaim setiap orang yang tidak lagi berhukum dengan hukum Allah sebagai pengkhianat agama dan orang yang tidak sependapat dengan mereka dianggap kafir (murtad). Kaum ini kita sebut sebagai kelompok ekstrim kanan dalam tulisan ini.

Sementara itu di pihak lain, muncul juga golongan yang menamakan dirinya sebagai Murjiah yang mana salah satu konsep pemikiran mereka adalah bahwa kemaksiatan tidak akan mempengaruhi keimanan. Sehingga dalam konsep pemikiran mereka, tidak ada orang yang menjadi kafir dengan kemaksiatan yang dia lakukan selama dia sudah mengucapkan dua kalimat syahadat.

Mereka memahami al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw secara serampangan dan cenderung kontekstual, namun tidak berdasarkan metode yang seharusnya sebagaimana yang diamalkan serta dicontohkan oleh Nabi Saw dan para sahabat beliau. Nah kaum yang kedua ini kita istilahkan dengan kelompok ekstrim kiri, antitesis dari kelompok pertama (Khawarij).

Paham-paham seperti ini kadang juga kita temui di sebagian oknum umat Islam hari ini. Yaitu ada di antara mereka yang terlalu kaku dan rigit dalam memahami teks agama sehingga cenderung selalu menyalahkan dan menyesatkan kelompok lain yang berbeda pemahaman dengan mereka.

Sementara itu di sisi lain, ada juga oknum umat Islam yang terlalu longgar dan sangat bebas dalam beragama, sehingga cenderung menjadikan agamanya sebagai mainan ataupun bahkan sebagai hiasan bibir semata. Nah kedua sekte ini (baik Khawarij ataupun Murjiah), bukanlah representasi dari kelompok ideal yang seharusnya ada di dalam Islam sebagaimana yang disinggung oleh Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadisnya :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ. (رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ)

Artinya : Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap terlalu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama.! Karena sesungguhnya (hal) yang menghancurkan umat sebelum kalian adalah lantaran sikap terlalu berlebih-lebihan dalam beragama. (H.R. Ibnu Majah dari Sayyidina Ibnu Abbas)

Begitu juga dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw menegaskan :

أَلَا هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ)

Artinya : Ketahuilah.! Akan binasa orang-orang yang berlebihan (melampaui batas dalam beragama). Nabi mengulang-ulang ucapan tersebut sebanyak 3x berturut-turut. (H.R. Muslim dari Sayyidina Ibnu Mas’ud)

Lantas pertanyaannya sekarang adalah bagaimana sikap ideal yang seharusnya ditampilkan oleh umat Islam hari ini dalam hal beragama ataupun dalam seluruh aktifitas kehidupan mereka.? Jawabannya tidak lain adalah dengan menjadi muslim yang mutawassith, yaitu muslim yang berada di pertengahan, tidak ekstrem kanan dan tidak pula ekstrem kiri.

Dalam artian kita harus bijaksana dalam beragama. Bijaksana dalam membaca dan menelaah ajaran agama kita secara komprehensif (menyeluruh), baik itu dari al-Qur’an ataupun hadis-hadis Nabi Saw. Jangan sampai hanya karena bermodalkan satu ayat atau hadis yang kebetulan kita dengar secara sepotong-sepotong dari sumber yang tidak jelas, membuat kita berani berfatwa ataupun mengklaim sesat orang lain hanya gara-gara pemahamannya berbeda dengan kita.

Kekeliruan dalam berpikir, khususnya dalam bidang agama akhir-akhir ini umumnya disebabkan karena sebagian besar umat Islam hari ini sudah tidak mau lagi berguru dan belajar mendalami ajaran agama mereka. Sehingga tidak heran pada hari ini banyak kita temui para “dai” atau “ustadz” dadakan yang ketika mendapatkan satu ayat dari al-Qur’an ataupun satu hadis dalam kitab-kitab hadis, mereka langsung mengamalkannya tanpa membandingkannya terlebih dahulu dengan ayat ataupun hadis lain. Parahnya lagi sebagian di antara mereka ada yang memprovokasi umat dengan pemahaman minimalis yang mereka miliki itu untuk menyesatkan, membid’ahkan, bahkan mengafirkan muslim lainnya.

Padahal berdasarkan kaidah umum yang dirumuskan oleh para ulama dalam menafsirkan ataupun memahami al-Qur’an disebutkan bahwa satu ayat Al-Qur’an pasti menafsirkan ayat yang lain, dan satu hadis juga pasti menjelaskan makna hadis yang lain. Sehingga ketika kita baru menemukan satu ayat dalam al-Qur’an ataupun satu hadis dalam kumpulan hadis-hadis Nabi, sebenarnya kita belum bisa mengamalkannya secara langsung.

Akan tetapi kita perlu mengaitkannya dengan ayat ataupun hadis lain, yang mungkin saja mengkhususkan makna ayat yang pertama tersebut, menganulirnya dan lain sebagainya. Sangat banyak kaidah penafsiran dan kaedah hadis yang harus kita kuasai sebelum mengamalkan lahiriah sebuah ayat ataupun hadis.

Kemudian kalau kita belum memiliki ilmu yang cukup untuk melakukan hal itu, maka satu hal yang wajib kita lakukan adalah berguru dan mengikuti mereka yang menguasai ilmu-ilmu tersebut, yaitu para ulama yang arif dan bijaksana. Para ulama yang mempelajari seluruh ilmu-ilmu bantu/alat dalam agama, baik berupa ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ushul Fikih, Qawaid Fikih, Mantiq dan lain sebagainya. Karena Allah Swt dalam al-Qur’an memerintahkan kepada orang yang tidak mengetahui persoalan untuk bertanya kepada mereka yang mengetahuinya. Seperti misalnya firman Allah dalam surah al-Nahl : 43.

فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ. (النَّحْلُ : 43)

Artinya : Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mengetahui jika kalian belum mengetahuinya.! (Q.S. Al-Nahl : 42)

Dengan mempelajari agama seperti ini, maka mudah-mudahan kita akan terhindar dari penyakit tanatthu’ sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Nabi di atas. Yaitu serba berlebih-lebihan dalam beragama, terlalu eksrem kanan atau ekstrem kiri. Terlalu tekstual dalam memahami dalil-dalil agama dan juga terlalu kontekstual.

Dalam arti kata, kita harus bisa bersikap netral dalam membaca segala persoalan dan bijaksana dalam menyikapinya. Dari sikap seperti inilah keadilan itu bisa terwujud, baik dalam bidang keagamaan, muamalah sehari-hari dengan sesama muslim ataupun non muslim, ataupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Allah Swt berfirman dalam Surah al-Baqarah ayat ke-143 :

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا.

Artinya : Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (Q.S. Al-Baqarah : 143)

Baca Juga: Bagaimana Cara Menghapuskan Dosa Kecil?

Dengan demikian, seorang yang moderat akan bersikap adil dalam menilai sesama muslim, tidak suuzon, dan berprasangka buruk kepada mereka sebelum melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Seorang yang moderat akan menghargai eksistensi orang lain yang berbeda keyakinan dengannya serta tidak mencela ataupun menjelek-jelekkan agama dan keyakinannya tersebut.

Begitu juga seorang yang moderat akan bersikap adil dalam menilai pemimpin dan pemerintahnya. Mengapresiasi jika mereka benar dan mengoreksinya jika mereka mengambil kebijakan yang kurang tepat dengan cara yang santun dan bijaksana. Bukan dengan menghujat, mencaci-maki dan menyebut mereka dengan kata-kata yang tidak pantas didengar.

Teladan dari semua sikap moderat ini tidak lain adalah Nabi Muhammad Saw sendiri di mana dalam banyak hadisnya beliau selalu menekankan prinsip-prinsip kesetaraan, saling menghargai antar satu sama lain, serta menebar kebaikan dan rahmat kasih sayang dengan setiap manusia dan makhluk secara umum. Hal inilah yang dibangun Nabi bersama para sahabat ketika mereka hijrah ke Madinah.

Beliau membangun Madinah dengan pluralitas kehidupan yang menyertainya. Beliau hidup damai berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang juga menetap di kota tersebut. Kalaupun terdapat perperangan di antara mereka, itu semua tidak pernah disebabkan oleh agama, melainkan karena ketidakadilan sosial yang kadang terjadi di antara mereka.

Mudah-mudahan kita semua dituntun dan ditakdirkan Allah Swt menjadi muslim yang moderat dan adil dalam menilai apapun, serta mengedepankan rasionalitas dalam menyelesaikan persoalan. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Allah Swt dalam Surah al-Baqarah ayat ke-143 di atas di mana Ia menjadikan kita sebagai umat pertengahan agar kita bisa menjadi saksi untuk umat-umat yang lain, menjadi juru damai di antara mereka. Bukan sebaliknya menjadi umat perusak, pengacau, ataupun penghancur kehidupan manusia lainnya. Wallahu A’lam dan semoga bermanfaat.!!

Yunal Isra, LC., S.S.I, Ustadz di cariustadz.id