Menjaga Empati di Masa Pandemi

Cariustadz.id, – Sudah hampir dua tahun sejak Covid19 mulai menyebar sehingga menyebar ke seluruh dunia menjadi Pandemi. Interaksi harus dibatasi dan dampaknya tidak hanya terhadap kesehatan, tetapi juga ekonomi, pendidikan, dan hampir ke seluruh sektor kehidupan masyarakat. Di masa serba sulit seperti ini, bagaimana umat Islam seharusnya menyikapi keadaan ini? Bagaimana ajaran Islam agar tetap menjaga empati di masa pandemi?

Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab Dr. Ali Nurdin, M.A dalam program Ruang Tengah yang diselenggarakan Cari Ustadz. Menurutnya, ukuran nilai beragama seseorang yang paling objektif dalam petunjuk Al-Quran dan hadis dilihat dari sikap sosial, bukan ritual. Untuk menilai keimanan seorang Muslim, ukurannya bukan dari ritual, tetapi sikap sosial salah satunya adalah empati.

Menurut Pak Ali, sapaan akrabnya, ada beberapa hal yang dapat dijelaskan dari hal ini. Pertama, dari keseluruhan kriteria yang disebutkan dalam Al-Quran seperti muttaqin, muflihin, dan sebagainya, ciri yang paling dominan dari kriteria itu adalah yang memiliki sifat sosial yang baik.

Baca Juga: Hukum Menolak Vaksin

Kedua, kekurangan dari ibadah ritual bisa disempurnakan atau dibayar dengan melakukan ibadah sosial. Misalnya adalah ibadah puasa. Orang-orang yang uzur yang tidak dapat berpuasa, bisa tetap mendapatkan pahala puasa dengan membayar fidyah. Fidyah ini adalah simbol dari empati.

Sebaliknya, kalau ibadah sosialnya kurang baik, maka tidak bisa ditutup dengan melakukan ibadah ritual.  Orang-orang yang zalim, jahat, korup, pelit, tidak bisa menutupi dosa-dosa sosialnya dengan ibadah ritual.

“Saya pribadi, lebih baik memiliki kawan yang tidak terlalu rajin ibadah, tetapi sosialnya baik,” jelas pimpinan dari cariustadz ini.

Pertanyaan selanjutanya, apakah ada contohnya di zaman Nabi untuk mengajarkan empati ini?

Pak Ali menegaskan banyak sekali ajaran Islam yang menekankan empati. Menurutnya, Rasulullah saw dalam Al-Quran dipuji bukan karena misalnya: Wahai Nabi, sungguh bagus salatmu atau sungguh bagus puasamu, akan tetapi yang ada dalam Al-Quran wa innaka la’ala khuluqin ‘adzim, sungguh wahai Nabi, engkau orang yang berada di atas budi pekerti yang luhur.

Ia menambahkan bahwa budi pekerti luhur yang diajarkan Nabi salah satunya adalah rasa empati. Hal ini juga sebagaimana tertera dalam Surah al-Taubah ayat 128 yang artinya secara bebas adalah: “Sungguh telah datang kepadamu wahai umat manusia, seseorang yang begitu besar cintanya terhadap sesama, ia sedih bila tahu umatnya bersedih.”

Adapun contoh Nabi bersedih bila umatnya sedih adalah bahwa Nabi saw memiliki hak untuk menjadi yang pertama masuk surga. Akan tetapi Nabi menolak, ia mau mendahulukan umatnya. Dari contoh-contoh Nabi seperti ini, bisa dipastikan bahwa sikap empati adalah teladan yang sangat diutamakan oleh Nabi begitu pun dalam ajaran Islam.

Baca Juga: Bolehkah Ibu Hamil Tidak Melakukan Ibadah Puasa?

Menurut Ali Nurdin, setidaknya ada tiga hal yang didapatkan bagi orang-orang yang memiliki empati dalam Al-Quran. Pertama, dalam Surah Saba’ ayat 39 Allah berfirman: wa maa anfaqtum min syai’in fahuwa yukhlifuh/ apa saja yang kamu berikan pasti Allah Swt akan ganti. Dan Allah swt mengganti dengan berlipat-lipat ganda.

Kedua, sikap empati menjadi hati seseorang tentram dan lapang. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki rasa empati jangan berharap hidupnya akan tentram. Ketiga, Allah Swt berjanji bahwa orang yang memiliki sikap empati akan dijadikan semua urusannya mudah. Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-Lail ayat 5-7: Fa amma man A’tho wa al-taqaa wa shaddaqa bi al-husna fasanuyassiruhu lil al-yusra/ orang-orang yang berempati dengan mengharap balasan Tuhan, maka Kami akan jadikan semua urusannya mudah.