Makna Merdeka dalam Al-Qur’an dan Esensinya Bagi Umat

Secara bahasa, makna merdeka dalam al-Qur’an berasal dari kata “حرر“ yang artinya membebaskan atau melepaskan. Derivasi kata ini dalam al-Qur’an diantaranya adalah حُرّ (merdeka), (memerdekakan)تَحْرِير, dan مُحَرَّر (hamba yang berkhidmat). Secara esensial, kata  مُحَرَّر yang terdapat dalam surah Ali Imran ayat 35 merupakan kata yang paling mewakili makna kemerdekaan.

اِذْ قَالَتِ امْرَاَتُ عِمْرٰنَ رَبِّ اِنِّيْ نَذَرْتُ لَكَ مَا فِيْ بَطْنِيْ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ ۚ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

(Ingatlah) ketika istri Imran berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku murni untuk-Mu (berkhidmat di Baitulmaqdis). Maka, terimalah (nazar itu) dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini menunjukkan kata مُحَرَّر tidak seperti kata asal dan derivasi lainnya. Kata ini justru dimaknai dengan mengabdi atau berkhidmat. Makna merdeka dalam kata مُحَرَّر ini dapat dilihat dari makna tersirat. Sebagaimana tertera dalam berbagai penafsiran. At-Tustari memaknai kata ini dengan melepaskan dan membebaskan dari perbudakan dunia, perburuan dan keinginan hawa nafsu. At-Thabari memahaminya dengan mengabdi hanya untuk beribadah, membebaskan diri dari segala keterkaitan kepada selain Allah, mendedikasikan diri kepada Allah, dan tidak memanfaatkan urusan dunia. Serupa dengan at-Thabari, at-Tsa’labi menyatakan bahwa kata tersebut bermakna tidak menyibukkan diri dengan dunia. Berdasarkan penafsiran tersebut, maka makna merdeka yang paling esensial adalah merdeka dalam bertauhid kepada Allah. Merdeka dari segala urusan, keinginan, hawa nafsu dunia dan mendedikasikan diri hanya kepada Allah.

Merdeka dalam arti ini memandang muslim seharusnya tidak terkungkung pada urusan dunia yang tidak kekal. Bukan berarti tidak mengerjakan dan meninggalkan dunia sama sekali. Bahkan merdeka dalam bertauhid berpengaruh pada aspek personal, ekonomi, sosial dan kebangsaan seorang muslim. Orang yang tidak merdeka, maka Allah akan menjadikan kefakiran dalam benaknya. Meskipun pada realitanya miskin itu ada. Akan tetapi, miskin dalam cara pandang hidup itu lebih menyesakkan hati. Sedangkan bagi orang yang merdeka dalam bertauhid, tidak akan sungkan untuk bersedekah baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Karena hati yang cukup baginya adalah sebuah karunia yang besar.

Merdeka dalam tauhid pada aspek sosial telah diajarkan pada setiap masa kenabian. Kita bisa menyelami kisah Nabi Ibrahim. Adanya sembahan berhala menjadikannya bertanya dan berpikir bagaimana manusia menjadi budak berhala yang derajatnya lebih rendah hingga ia meyakini bahwa hanya Allah satu-satunya sesembahan. Nabi Ibrahim berani melawan raja dzalim dan orang-orang musyrik yang menyembah berhala hingga mengantarkannya untuk dibakar hidup-hidup. Ketauhidan yang dimiliki Nabi Ibrahim ini menunjukkan bahwa merdeka bertauhid mampu melawan dan membebaskan diri dari dominasi sosial yang menyimpang.

Nilai tauhid ini pun bisa menjadi energi bagi kehidupan berbangsa. Fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa orang-orang yang mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah Ulama. Berlandaskan tauhid dan ilmu yang dimilikinya, Ulama dan para santri menjadi barisan paling depan dalam berjihad untuk negaranya. Nasionalisme, atau cinta tanah air adalah fitrah manusia. Akan tetapi, fitrah yang dilandaskan dengan bertauhid kepada Allah mampu menjadi energi yang kuat dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Merdeka yang paling esensial adalah merdeka dari hati yaitu mengikat hati dengan Allah. Jika ini dihayati, maka ini akan menjadi energi dalam kehidupan personal, sosial dan berbangsa.

Ulvah Nur’aeni, MA., Dosen UNISBA dan Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Ulvah Nur’aeni, MA.? Silahkan klik disini