Memahami Al-Quran Tidak Cukup dari Terjemahan

Beberapa tahun lalu ada salah satu Ustaz yang salah kaprah dalam memahami makna ضالاّ dalam surat ad-Dhuha yang diartikan sebagai “Kesesatan Nabi Muhammad sebelum menerima wahyu”. Ia juga menyinggung umat Islam yang merayakan Maulid Nabi berarti merayakan kesesatan Nabi Muhammad. Namun, setelah viral di media sosial, akhirnya ia mengklarifikasi dan meminta maaf atas isi ceramahnya. 

Apa sebenarnya pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa ini? Salah satunya adalah bahwa kita tidak diperbolehkan memahami al-Qur’an hanya dengan terjemahan semata. Terlebih bila memahami al-Qur’an menggunakan hawa nafsunya. Karena akibatnya fatal, yaitu termasuk golongan yang dijanjikan Nabi Muhammad akan masuk neraka. Na’udzubillah

Kata Nabi, من فسّر القران برأيه فاليتبوّأ مقعده من النار, siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya (yang tercela), maka siap-siap masuk neraka. Inilah yang kemudian dikategorikan para ulama’ ahli al-Qur’an sebagai tafsir bi Arra’yi al-Madzmum atau penafsiran menurut akal yang tercela. 

Baca Juga: Jujur Melahirkan Kepercayaan

Mungkin ada yang bertanya, “Lalu, apa gunanya terjemahan al-Qur’an kalo gitu?” Benar bahwa kita sebagai masyarakat non-Arab tidak akan mampu memahami al-Qur’an kalau tidak melihat terjemahannya. Namun, sebagian dari kita mungkin lupa bahwa al-Qur’an mengandung makna yang begitu luas dan terkadang akan membingungkan kalau hanya dibaca arti terjemahannya saja. 

Oleh karena itu, karena kita tidak mampu menguasai berbagai syarat dan metode dalam memahami al-Qur’an yang begitu banyaknya, maka dibutuhkan bantuan lain yang berupa penjelasan dari para ulama atau mufassir al-Qur’an. 

Memang makna ضالّا secara umum dalam kamus Bahasa Arab sering diartikan “kesesatan”. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah tidak semua makna dalam kamus Bahasa Arab itu sesuai dengan yang dimaksud al-Qur’an. 

Sebenarnya makna  ضالّا dalam terjemahan al-Qur’an versi Kemenag di ayat ke-7 dalam surat ad-Dhuha itu cukup jelas dan tidak dimaknai sebagai sesat, “Dia mendapatimu sebagai seorang yang tidak tahu (tentang syariat), lalu Dia memberimu petunjuk (wahyu).” 

Di beberapa terjemahan lain juga ada yang memaknainya dengan “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.”

Jadi, di sini kata ضلال yang bermakna “sesat” tidak layak disematkan pada Nabi Muhammad, bahkan ketika kita hanya melihat terjemahannya saja. 

Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana penjelasan yang cukup detail dari salah satu mufassir kenamaan abad modern, Muhammad Abduh dalam tafsirnya Juz ‘Amma. 

Ketika mejelaskan ayat “وَوَجَدَكَ ضَآلًّا فَهَدَىٰ” Ia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad sudah tumbuh dalam keadaan bertauhid (موحدا) sebelum diutus menjadi Nabi. Buktinya adalah beliau tidak pernah diberitakan menyembah berhala, begitu juga melakukan keburukan-keburukan layaknya kita sebagai orang awam. Inilah kenapa masyarakat Arab memberinya gelar alAmin. Sebuah gelar kehormatan atas kepercayaan mereka pada orang mulia bernama Muhammad. 

Abduh bahkan menggambarkan bahwa kesesatan (dholal) dalam bentuk syirik dan hawa nafsu tidak berani mendekat sedikitpun kepada jiwa Nabi Muhammad. Ini dikarenakan Allah sendiri yang membersihkannya dari kedua kesesatan tadi sehingga masyarakat Arab—yang berhati bersih—akan yakin dengan apa yang dibawakan oleh Muhammad al-Amin

Abduh juga menambahkan, terdapat makna “dholal” dalam bentuk lain, yakni “Keraguan yang timbul dalam jiwa atas berbagai sumber informasi atau rujukan yang ia terima. Akhirnya seseorang akan ragu untuk memilih mana yang benar.”

Jadi, menurut Abduh, Nabi Muhammad sebenarnya sudah tahu akan kesesatan orang musyrik Arab, beliau juga hidup di antara penganut Yahudi dan Nasrani yang pada hakikatnya membawa ajaran tauhid juga. Tetapi, apakah memilih dan mengajarkan salah satu dari kedua agama di atas menjadi maslahat bagi pribadi Nabi Muhammad dan para pengikutnya kelak?

Baca Juga: Istiqamah dalam Ibadah

Abduh menjawab, Nabi adalah seorang Ummi yang tidak membaca dan mengetahui syariat agama Yahudi dan Nasrani. Selain itu, bercampurnya akidah kedua agama ini dengan kesyirikan semakin membuat ajaran ini menjadi tidak jelas, begitu juga dengan beberapa perilaku pengikutnya yang sudah melenceng dari agama asalnya. Jadi, Yahudi dan Nasrani bukan pilihan yang tepat untuk Nabi. 

Karenanya, di antara kenikmatan yang diberikan Allah kepada Nabi adalah dituntun dan dijauhkannya beliau dari segala perilaku masyarakat Arab yang menyimpang itu. Bagi Abduh, tiada kenikmatan yang lebih agung daripada petunjuk yang diberikan Allah kepada Muhammad untuk mengenal Tuhannya, mengenal bagaimana cara beribadah yang benar, dan bagaimana mensifati Tuhannya. Karena masyarakat Arab sudah terlanjur meragukan cara peribadatan yang benar kepada Sang Pemilik Hidup. 

Seperti itulah takdir yang dihadapi Nabi Muhammad sebelum munculnya cahaya kanabian. Dan untuk memurnikan jiwa Nabi Muhammad dari segala kesesatan yang ada saat itu, beliau berkhalwat di Gua Hira agar hati beliau tersentuh oleh cahaya hidayah Allah. 

Akhirnya, turunlah wahyu kepada Nabi, demi menunjukkan agama mana yang benar, mengajarkan bagaimana cara membimbing masyarakat Quraish, dan memberi contoh mana jalan yang dapat memurnikan diri dari sesat pikir dan sesat perilaku. Dan tentunya bagaimana cara mensifati Tuhan dengan sifat yang sesuai dengan Dzat-Nya. Begitulah kira-kira penjelasan Muhammad Abduh atas makna surat Ad-Dhuha ayat tujuh.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id