Problem keluarga banyak sekali macam dan penyebabnya. Salah satu yang sering ditanyakan adalah seputar pembagian harta peninggalan atau waris. Problematika yang muncul sebenarnya dilatarbelakangi kurangnya pemahaman seputar pembagian harta pusaka. Konflik seringkali muncul dari adanya pendapatan dari pembagian waris yang tidak sesuai dengan harapan.
Perlu diketahui bersama bahwa pembagian harta waris sudah ditetapkan oleh agama. Berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan qaul sahabat. Ketentuan pembagian ini bersifat baku dan tidak dapat berubah. Beberapa orang bahkan ilmuan mungkin ada yang mengkritik sistem dan jumlah pembagian yang tidak sama rata. Ada yang berusaha menyamaratakan berdasarkan illat hukumnya, ada pula yang berdasarkan pemahaman liberalnya tentang kesetaraan gender.
Sebenarnya, dari sisi pemilik harta atau mayit tidak akan pernah tahu anak atau orang tua yang mana yang lebih bermanfaat dalam menerima dan menggunakan harta pusaka tersebut. Allah memberikan keterangan seputar hal ini setelah menyebutkan bagian-bagian orang tua dan anak dengan pernyataan:
“Engkau pun tidak akan pernah tahu, siapa di antara mereka (orang tua ataupun anak, laki-laki ataupun perempuan) yang lebih potensial (dalam menerima harta peninggalan)”. Surat an-Nisa’: 11
Bahauddin Nur Salim atau kerap disapa dengan Gus Baha memberikan kesimpulan bahwa ketika kita tidak tahu mana yang lebih potensial di masa depan, maka sebaiknya mengikuti ketetapan Allah saja adalah pilihan yang tepat. Artinya, Gus Baha menolak pandangan cendekiawan yang mengusulkan kesetaraan dalam pembagian harta warisan.
Ada salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua di zaman ini untuk mengantisipasi konflik keluarga sepeninggalnya yaitu dengan menghibahkan sebagian besar hartanya kepada anak ketika dirinya masih hidup. Cara ini cukup meredam dan langkah preventif yang baik sekali. Namun sekaligus menjadi pertanda bahwa apa yang diprekdisikan Nabi semakin menjadi kenyataan. Rasulullah bersabda bahwa ilmu waris atau faraidh adalah ilmu yang pertama kali diangkat:
“Wahai Abu Hurairah, belajarlah ilmu faraidh dan ajarkanlah, karena sesungguhnya ia adalah setengah dari ilmu. Dan ilmu itu akan dilupakan dan dia adalah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku.” (HR. Ibnu Majah no. 2719)
Meskipun antisipasi konflik dengan cara hibah harta kepada anak dinilai baik. Namun masih saja menyisakan problem karena tidak semua yang diberi dapat menerima bagiannya. Misalnya, seorang ayah memiliki lima anak dan lima unit rumah dengan berbagai tipe dan bentuk. Untuk meredam konflik waris, ayah tersebut menghibahkan masing-masing satu unit rumah kepada anaknya. Cara ini sebenarnya fair-fair saja, sebab rumah akan sulit dibagi melalui ilmu faraidh mengingat sulitnya dalam menyepakati harga dan faktor yang lain. Namun, biasanya yang mendapatkan unit tidak sesuai harapan akan komplain dan memicu konflik antar saudara.
Tugas terbaik bagi para orang tua dalam hal ini adalah mendidik karakter anak-anaknya agar tidak materialistis dan suka mengharapkan pemberian orang lain. Pendidikan seperti ini tidak bisa serta merta berhasil, harus dimulai sejak dini. Anak harus diarahkan dengan benar dalam bekerja, bahwa bekerja adalah tugas dan perintah Allah. Sementara rezeki adalah pemberian Allah. Dengan arahan-arahan yang benar semenjak dini, maka di masa tuanya berpotensi aman dari konflik pembagian warisan. Sebab, mereka tahu bahwa harta orang tua harus dikelola denga bijak sesuai dengan ketentuan agama.
Semoga kita menjadi orang-orang yang diberi keluasan rezeki sehingga tidak tertarik dengan aset orang tua. Semoga kita diberi anak dan kerabat yang shalih-shalihah dan paham agama, sehingga bijak dalam mengelola aset dan harta kita di masa depan. Aamiin. Wallahu a’lam.
Khoirul Muhtadin, M.Ag., Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini