Lima Gaya Hidup Hemat Nabi Muhammad Saw

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pribadi luhur dan mulia. Pada dirinya terdapat keteladanan yang patut dijadikan rujukan bagi setiap muslim dalam berbagai bidang kehidupan. Artikel ini dibatasi hanya pada lima anjuran hidup hemat yang dipraktekkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa mengesampingkan riwayat-riwayat lainnya.

1.    Mengolah barang bekas

Barang yang sudah usang, jarang dipakai atau bahkan barang yang sudah terbuang bisa diolah kembali menjadi bentuk lain dan berfungsi lain agar lebih manfaat. Dengan begitu maka nilai kecil dari barang bekas tersebut menjadi bermakna kembali tanpa perlu membeli barang baru yang sejenis.

Dalam riwayat dari Sayyidah Maimunah radiallahu ‘anha dan dari Ibnu Abbas radiallahu anhuma, dikisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi saran agar mengolah kulit hewan yang sudah mati.

 وَعَنْ مَيْمُونَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – قَالَتْ: «مَرَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِشَاةٍ يَجُرُّونَهَا، فَقَالَ: لَوْ أَخَذْتُمْ إهَابَهَا فَقَالُوا: إنَّهَا مَيْتَةٌ، فَقَالَ: يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ

Maimunah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan orang-orang yang menyeret kambing yang sudah mati. Nabi bersabda: “Kenapa tidak dimanfaatkan kulitnya?” Mereka menjawab: “Ini bangkai”. Nabi bersabda: “Kulitnya bisa disucikan dengan air dan daun salam” (HR Abu Dawud dan Nasa’i, hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas).

Bahkan dalam riwayat dari Sayyidah Aisyah radiallahu ‘anha secara tegas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil manfaat terhadap kulit bangkai apabila telah disamak. (HR. Abu Dawud).

Hadits di atas menjadi dasar kebolehan untuk mengolah kulit (disamak) dari bangkai hewan yang halal disembelih seperti sapi, kambing, unta dan sejenisnya hewan yang boleh dimakan (ma’kul al-lahm). Kulitnya menjadi suci setelah disamak dan bisa dibawa saat sholat.  Fatwa ulama tentang hal ini menegaskan bahwa kulit bangkai hewan, baik hewan yang ma’kul al-lahm (dagingnya boleh dimakan, tapi bukan mati karena disembelih) maupun yang ghair ma’kul al-lahm (dagingnya tidak boleh dimakan) adalah najis, tetapi dapat menjadi suci setelah disamak, kecuali anjing, babi, dan yang terlahir dari kedua atau salah satunya.

Baca Juga: Sampah, Konsumerisme dan Keislaman Kita

Memanfaatkan kulit bangkai hewan yang telah disamak untuk barang gunaan hukumnya mubah (boleh), sedangkan memanfaatkan untuk dikonsumsi, terdapat ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Untuk kepentingan kehati-hatian (ihtiyath), maka memanfaatkan kulit bangkai yang telah disamak untuk pangan hukumnya tidak boleh.

2.    Memperbaiki barang

Barang apa pun jenisnya bisa mengalami kerusakan, sehingga manfaatnya menjadi berkurang atau hilang. Jangan buru-buru membuangnya, boleh jadi masih bisa diperbaiki untuk menambah umur manfaat dari barang tersebut. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa memperbaiki sendiri barang-barang pribadinya dengan cara menambal, menjahit atau perbaikan lainnya.

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ :أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْكَسَرَ فَاِتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سَلْسَلَةً مِنْ فِضَّةٍ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa bejana Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam retak, lalu beliau menambal tempat yang retak itu dengan pengikat dari perak. [HR. Bukhari].

Beliau bahkan tidak segan mengerjakan pekerjaan yang lumrah dilakukan wanita seperti menjahit baju dan memperbaiki sandal, sebagaimana diterangkan dalam riwayat Urwah pada hadits selanjutnya.

3.    Gaya Hidup Minimalis

Hidup sederhana dikenal sebagai Zen atau gaya hidup minimalis merujuk kepada sejumlah praktik sukarela untuk menyederhanakan hidup seseorang. Misalnya, memilih tinggal di rumah minimalis tindakan mengurangi jumlah dan jenis harta kepemilikan atau meningkatkan kemandirian. Menurut Linda Breen ciri gaya hidup ini ialah adanya perasaan puas dan cukup terhadap “apa yang dibutuhkan”, bukan “apa yang diinginkan”. Gaya hidup minimalis juga memiliki perbedaan signifikan dari kefakiran atau kemiskinan akibat situasi eksternal, sebab ia mensyaratkan kesukarelaan.

Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam adalah pribadi sangat sederhana, ia tidak membeli barang yang tidak dibutuhkan, menerima yang ada. Itu bisa kita lihat dari barang-barang yang dimilikinya berbeda dengan kebanyakan manusia pada masa itu. Umar bin Khattab ketika berkunjung menjumpai beliau sedang tidur di atas tikar yang membuat bekas pada kulit beliau di bagian sisi. Sontak Umar pun berkata: “Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani tentu lebih baik dari tikar ini”. Maka beliau pun bersabda: “Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu ia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian ia istirahat di sana lalu meninggalkannya” (Shahih, HR. At Tirmidzi 2/60, Al Hakim 4/310, Ibnu Majah 2/526).

Tempat tidur beliau memang sederhana, kasurnya terbuat dari dedaunan atau selembar kulit, sehingga berbekas di kulit jika tidur di atasnya. Dari Aisyah radhiallahu’anha:

كان فِراشُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من أدَمٍ، وحَشوُه من لِيفٍ

“Tempat tidur Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam dari kulit yang diisi dengan sabut” (HR. Bukhari no. 6456, Muslim no. 2082).

4.     Tidak menyuruh orang lain

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak pembantu. Dapat disebutkan diantara mereka adalah Anas bin Malik, Bilal bin Rabah, Ummu Aiman, Abdullah bin Mas’ud, Uqbah bin Amir Al-Juhani, Asla bin Syarik yang masing-masing memiliki tugas melayani kebutuhan Nabi saat di rumah atau pun dalam perjalanan. Tetapi, tidak semua tugas rumah dan keperluan pribadi mengandalkan pembantu, melainkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengerjakan urusan pribadi beliau.

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sandalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” [HR Ibnu Hibban].

Tentu ada alasan mengapa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan itu sendiri seperti tidak mau merepotkan atau membebani pembantunya. Bahkan para pelayan atau pembantunya tersebut kerap mendapatkan kemuliaan dan perlakuan yang sangat baik.

Bagaimana pun bagi rumah tangga yang tidak memiliki pembantu, mengerjakan urusan yang bisa diselesaikan sendiri akan menghemat secara finansial.

5.    Tidak Berlebihan dalam penggunaan

Berlebih-lebihan merupakan sikap yang dicela Allah SWT. Bagi pelakunya tidak akan mendapatkan kebaikan dan buruh dalam penilaian orang lain. Berlebih-lebihan dilarang Islam baik dalam hal ibadah maupun dalam aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan minum (QS. Al-A’raf/7 : 31).

Dalam beribadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penggunaan air wudhu dan mandi secara berlebihan beliau mencontohkan penggunaan sehemat mungkin. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berwudhu dengan satu mud (kurang dari 1 liter) dan mandi dengan satu sha’ (4 mud) hingga 5 mud.” [HR. Muslim].

Setiap muslim diperintahkan Allah SWT untuk memberikan hak kepada keluarga-keluarga yang dekat, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan dilarang menghambur-hamburkan (harta) secara boros, karena sifat boros (mubazir) adalah sifat syaitan (QS. Al-Isra/17 : 26-27). Bahkan dalam beramal (infak) pun tidak boleh berlebih-lebihan. “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar” (QS. Al-Furqan/25: 67).

Baca Juga: Menggabung Shalat (Jama‘) Karena Tuntutan Pekerjaan

Intinya adalah tidak berlebihan dengan menghambur-hamburkannya karena perilaku seperti inilah yang dikehendaki setan, dan tidak pula kikir yang menyebabkan dibenci oleh masyarakat. Setiap Muslim dianjurkan berinfak di antara keduanya secara wajar. Inilah agama yang pertengahan, moderat, dan seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat.

Hidup Hemat adalah bagian dari kenabian

Gaya hidup orang modern bukan konsumtif. Sebagai contoh, di Jepang, masyarakatnya malah hidup dengan membatasi diri untuk membeli barang-barang. Hal ini biasanya disebut dengan gaya hidup hemat orang Jepang. Gaya hidup ini memang terdengar aneh. Namun, di sana malah menjadi trend. Pergeseran trend hidup minimalis perlu dipupuk dan dibiasakan sejak dini.

Hidup sederhana, hemat, minimalis atau apa pun sebutannya, sejalan dengan tuntunan Islam dan mendapat kedudukan penting. Ibnu  Abbas  dari  Nabi  shallallahu  ‘alaihi wasallam bersabda, :

الهدي الصالح والسمت الصالح والاقتصاد جزء من خمسة وعشرين جزءا من النبوة

“Petunjuk yang baik, diam yang baik dan kesederhanaan merupakan satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian.”   [Hadis Hasan, Ar-Raudhun-Nadhiru/384].

Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA, Ustadz di Cariustadz.id