Hukum Bertato

QNA

Tanya:

Apakah tato diperbolehkan dalam agama Islam? Kalau tidak boleh, adakah dasar hukumnya, dan adakah hadits serta kisah-kisah nabi mengenai tato tubuh dengan tinta yang bersifat permanen? Banyak para ustad mengatakan bahwa tato dilarang karena tinta yang menempel dapat menghalangi air wudhu dan air mandi junub, tetapi bagaimana dengan pacar [pewarna kuku] yang tidak dilarang untuk sholat? Apabila Pak Ustad menyatakan bahwa tato dilarang, bagaimana untuk orang Islam yang terlanjur ditato?

 
Jawab:

Tato telah dikenal sejak zaman Rasul saw. Banyak hadits yang melarang hal tersebut, bahkan larangannya sangat keras, sampai-sampai Nabi saw mengutuk pelakunya. Ancaman dan kutukan itu menjadi bahan diskusi di kalangan ulama. Ulama serta pakar tafsir dan hadits kenamaan, sayyid Muhammad Rasyid Ridha menilai bahwa hal tersebut disebabkan ketika itu tato-tato tersebut berupa gambar yang mengandung lambang mempersekutukan Allah swt.

Namun, tak berarti bahwa tato yang tidak mengandung makna persekutuan Allah atau dosa dan kedurhakaan dapat ditoleransi. Memang nilai dosanya lebih rendah. Di sisi lain, perlu dicatat bahwa tato yang menghalangi tersentuhnya air wudhu atau air mandi junub, apa pun gambar atau tulisan pada tato itu, sangatlah terlarang. Demikian juga dengan kuteks apabila ia menghalanginya. Akan tetapi, jika tidak menghalangi sentuhan air pada bagian yang harus dikenai air – dalam berwudhu atau mandi junub – kuteks/pacar boleh-boleh saja. Pacar atau kuteks secara mutlak diperbolehkan, bahkan dapat dinilai baik bagi wanita yang sedang mendapat uzur untuk tidak shalat.

Memang, Rasul saw menganjurkan wanita memperindah kuku mereka dengan pacar. Suatu ketika ada yang mengulurkan sesuatu kepada Nabi saw di belakang tabir, beliau bertanya apakah ini tangan wanita atau pria. Istri beliau, Aisyah ra menjawab bahwa itu adalah tangan wanita. Ketika itu beliau bersabda, “Tidakkah sebaiknya dia berpacar untuk memperindah kukunya?”

Syaikh Ahmad Hasan Al-Baquri, mantan Menteri Waqaf Mesir dapat menoleransi kuteks walaupun menghalangi air wudhu dan mandi dengan alasan bahwa beberapa mazhab tidak mengharuskan menggerakkan cincin yang sempit pada jari seseorang yang sedang berwudhu. Ulama itu mempersamakan kuteks dengan cincin dalam arti keduanya adalah perhiasan. Akan tetapi, pendapatnya tidak didukung oleh para ulama.

Tato hendaknya dihapus/dihilangkan, tetapi jika upaya menghilangkannya akan dapat mengakibatkan cacat, upaya tersebut tidak perlu dilakukan, cukup beristigfar dan memohon ampun kepada Ilahi sambil menyesali perbuatan itu dan bertekad tidak mengulanginya. Demikian, Wallahu a’lam.

M Quraish Shihab, Dewan Pakar PSQ