Bolehkah Kita Banyak Bertanya?

QNA

Ada hadits qudsi yang artinya kurang lebih, “Wahai Muhammad, sesungguhnya umatmu selalu bertanya, apakah ini, apakah itu, sehingga nanti mereka akan mengatakan, ‘Inilah Allah yang telah menciptakan makhluk, tetapi siapakah yang menciptakan Allah?'” Apakah maksud hadits itu? Mengapa kita tidak boleh banyak bertanya? Bukankah bertanya termasuk menambah pengetahuan?

[M. Alif Aulia – via formulir pertanyaan]

Jawab:
Manusia memiliki naluri ingin tahu. Akan tetapi, dia juga memiliki keterbatasan. Akalnya tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Agama sama sekali tidak melarang seseorang untuk bertanya. Banyak pertanyaan para sahabat Nabi Saw yang dijawab oleh al-Quran, demikian juga oleh Nabi Muhammad Saw, bahkan al-Quran memerintahkan agar bertanya kepada yang mengetahui [baca QS an-Nahl [16]: 43, al- Anbiya [21]: 7]. Akan tetapi, ada pertanyaan yang sejak semula telah keliru. Misalnya, “Siapa yang lebih Anda suka untuk mati terlebih dahulu, ibu atau bapak Anda?”. Menjawab pertanyaan ini pasti keliru karena pertanyaan ini tidak perlu dilayani, bahkan keliru menanyakannya.

Ada juga pertanyaan yang jawabannya akan menyusahkan atau berdampak negatif bila didengar. Allah swt melarang menanyakannya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Nabimu] hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu” [QS al-Maidah [5]: 101].

Selanjutnya, ada pertanyaan yang tidak mampu dicerna jawabannya oleh penanya. Dalam hal semacam ini, pertanyaan itu sebaiknya tidak dijawab atau bahkan tidak perlu ditanyakan. “Mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah bahwa ruh adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit” [QS al-Isra [17]: 85]. Ada lagi pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan uraian yang memuaskan akal, tetapi dijawab oleh kalbu dengan pendekatan iman. Ada lagi yang tidak dapat dijawab dengan lisan, tetapi lebih cepat dengan pengamalan. “Jeruk ini manis atau kecut?” Jawaban tepat dan tercepat adalah menyuruh penanya mencicipinya.

Demikian aneka pertanyaan. Setan sering menabur keraguan dalam hati manusia melalui pertanyaan yang dimunculkannya ke dalam benak manusia. Jika manusia memperturutkan, dia akan terjerumus. Rasul Saw. mengingatkan, “Setan akan datang kepada salah seorang di antara kamu, lalu dia bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Sampai akhirnya dia bertanya, ‘Siapa yang menciptakan Tuhanmu?’ Maka bila dia sampai kepada pertanyaan ini, hendaklah manusia memohon perlindungan kepada Allah dan hendaklah dia berhenti [melayani pertanyaan-pertanyaan semacam ini].” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Maksud Nabi Saw. jangan biarkan akal melayaninya, tetapi biar kalbu yang diasah dan diasuh oleh iman yang melayaninya. Memang, bagi yang mengasah nalar dan mengasuh jiwanya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan akan dipilah dan dipilihnya, mana pertanyaan yang benar sehingga boleh dijawab, mana pertanyaan yang sejak semula telah keliru sehingga tidak perlu dilayani karena pasti akan keliru pula jawabannya, mana yang dijawab melalui nalar atau kalbu, dan mana lagi yang jawabannya dengan jalan pintas dan aman.

Seandainya manusia merasa puas dengan perasaan atau informasi jiwa dan intuisinya dalam mencari dan berkenalan dengan Tuhan, niscaya banyak jalan yang dapat dipersingkat dan tidak sedikit kelelahan yang dapat disingkirkan, tetapi tidak semua orang demikian. Banyak juga orang yang menempuh jalan berliku-liku dengan memasuki lorong sempit guna melayani ajakan akal ketika mengajukan aneka pertanyaan sambil mendesak memperoleh jawaban yang memuaskan nalar. Bagi yang puas dengan informasi intuisi, akan merasakan ketenangan dan kedamaian bersama kekuatan Yang Maha Agung itu.

Islam tidak menolak melayani desakan akal atau dorongan nalar. Bukankah beragam argumen akliah yang dipaparkan bersamaan dengan sentuhan-sentuhan rasa guna membuktikan keesaan-Nya. Bukankah Dia memerintahkan untuk memandang alam dan fenomenanya dengan pandangan nalar serta memikirkannya? Akan tetapi, sekali lagi, akal manusia sering tidak puas hanya sampai pada titik ketika wujud-Nya terbukti, akal manusia sering ingin mengenal Dzat dan hakikat-Nya bahkan ingin melihat-Nya dengan mata kepala sendiri seakan-akan Tuhan adalah sesuatu yang dapat terjangkau oleh pancaindra.

Nah, di sinilah letak kesalahan bahkan letak bahaya. Di arena inilah, banyak ‘pemikir’ jatuh tersungkur. Seandainya mereka menempuh cara yang mereka tempuh ketika merasa takut pada harimau tanpa melihat wujudnya cukup dengan mendengar raungnya, atau seandainya mereka berinteraksi dengan Tuhan sebagaimana berinteraksi dengan matahari, meraih kehangatan dan memanfaatkan cahayanya tanpa harus mengenal hakikatnya, banyak daya dan waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Akan tetapi, sekali lagi, tidak semua manusia sama. Dari sini, datang peringatan Rasul Saw seperti yang telah dikemukakan tadi.

Demikian, wallahu a’lam.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]