Bulan Ramadan kian dekat. Sebagian besar umat Muslim mulai bersiap mengisinya dengan aktivitas ibadah. Menjelang tengah Syaban atau yang sering kita sebut dengan malam Nishfu Sya’ban, beberapa masjid memanfaatkan momen dengan tadarus surah Yasin dengan do’a-do’a khusus. Tak sedikit pula yang tergerak untuk merutinkan sedekah, membangun koneksi bersama Al-Quran, termasuk Nabi yang dalam hadits riwayat Aisyah ra yang lebih merutinkan puasa sunnah di bulan Sya’ban. Ghirah ibadah yang dicontohkan Nabi Saw, memberi teladan bahwa beliau pun bersiap dan melatih fisik, psikis dan spiritual dalam menyambut Ramadan. Teladan ini pula yang menguatkan kita bahwa Syaban adalah bulan menanam kebaikan sebab perintah berpuasa Ramadan pun turun di bulan Syaban.
Betapa berharganya momen bulan Syaban yang sering disebut Nabi Saw sebagai bulan beliau sehingga penting bagi kita untuk ikut mengamalkan sunnah-sunnah di bulan Sya’ban termasuk melatih diri agar tidak ‘kaget’ ketika Ramadan tiba. Bulan Sya’ban yang menghantarkan kita menuju Ramadan, mengingatkan pada sebuah hadits Nabi Saw dimana beliau bersabda, “Barang siapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR. Bukhari no. 2014).
Hadits di atas setidaknya memberikan dua pelajaran penting untuk kita semua bahwa pertama, puasa Ramadan diperintahkan pada siapapun yang mengaku Muslim, terlepas dari bagaimana kondisi ketakwaannya. Karena itu, pondasi ‘iman’ menjadi sangat penting. Perintah puasa Ramadan bukan hanya tertuju untuk mereka yang kaya, namun juga yang papa. Bukan saja mereka yang mengaku saudagar namun juga mereka yang profesinya mengajar. Bukan saja untuk mereka yang memiliki rumah mewah tapi juga mereka yang gemar bersedekah, semua kategori tersebut diseru dalam hadits di atas yang juga dikuatkan dalam Qs. Al-Baqarah/2: 183 tentang berpuasa dimana iman menjadi pondasi pertama dan utama dalam melaksanakan salah satu rukun Islam ini.
Berikutnya, selain iman, pondasi yang juga tak kalah penting adalah ‘ihtisab’ yang sering diartikan dengan mengevaluasi, menghitung, menghisab atau juga memuhasabah diri, mengukur kelemahan dan aib-aib diri. Sehingga, redaksi hadits di atas memberikan penekanan bahwa siapa saja yang mengaku Muslim, lantas ia berpuasa karena masih memiliki rasa takut dan iman di hatinya pada Allah, serta pandai memuhasabah diri lagi mengharap pahala dan ridha Allah, maka baginya pengampunan dosa yang telah berlalu. Ganjaran pengampunan tersebut adalah sebaik-baiknya ganjaran dari Allah.
Melalui hadits di atas serta mengamati aktivitas ibadah Nabi Saw di bulan Syaban, kiranya bulan ini juga momentum terbaik untuk memulai menyusun kurikulum Ramadan berdasarkan tuntunan hadits Nabi di atas yakni pertama, pondasi ‘iman’ atau riyadhah spiritual. Kedua, ihtisab/ muhasabah an-nafs.
Kedua tuntunan yang terinpirasi dari hadits Nabi Saw ini mengantarkan kita pada makna dan tujuan akhir puasa yakni la’allakum tattaqun/ mencetak generasi takwa. Tak bisa dipungkiri, iman adalah pondasi utama dalam membentuk muslim yang takwa. Iman-lah yang akan mengarahkan seorang Muslim untuk semangat beribadah, mengarahkan mereka untuk meluruskan niat ibadah hanya kepada Allah Yang Maha Menyaksikan, sebab iman pulalah kita merasa takut jika berbuat dosa dan kekhilafan.
Melalui pondasi iman, kita bisa merencanakan, memvisualisasikan serta menuliskan kegiatan-kegiatan yang mendukung untuk merecharge iman; semisal ikut pengajian, membuat target tahsin dan hafalan, ikut serta dalam kegiatan sosial kegamaan, membentuk komunitas aksi cinta lingkungan dan banyak lagi kegiatan positif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sekaligus memperkuat keimanan.
Kedua, momen ihtisab/ mengevaluasi diri. Kita dapat memulai dari langkah sederhana semisal mencatat apa saja kegiatan yang belum sempat dilakukan di Ramadan tahun lalu sehingga ingin dicapai dengan sungguh-sungguh pada tahun ini; menambah target bacaan Al-Quran, melancarkan kembali ayat-ayat yang sudah sempat dihafalkan, mengurangi keluar rumah/ berkumpul yang kurang mendatangkan manfaat, terakhir, di era banjirnya informasi ini; kita tanamkan dalam diri untuk mengurangi intensitas bermedia sosial (detox socmed).
Syaban sebagai momen penting untuk menyusun Kurikulum Ramadan tentu perlu dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab, sesuai kemampuan diri. Artinya, kurikulum Ramadan ini perlu disusun agar kita mulai terbiasa untuk berbuat kebaikan. Maka, bulan Sya’banlah menjadi momen yang tepat untuk mempersiapkannya. Hal ini yang juga menjadi jawaban mengapa Nabi Saw begitu bersemangat ibadah saat bulan Sya’ban sebab boleh jadi, beliau sudah membuat kurikulum tersendiri dan mengatur strategi matang agar target-target ibadah yang kelak akan dilakukan di Ramadan dapat tercapai dengan maksimal.
Mari, jadikan Syaban sebagai momen perbanyak ibadah dan menyusun kurikulum Ramadan agar kelak nantinya Ramadan dapat terisi dengan kegiatan bermakna. Aamiin.
Demikian, Allahu ta’ala a’lam.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini