Mudik adalah sebutan kembali ke kampung setelah merantau. Sedangkan rantau adalah daerah (negeri) di luar daerah (negeri) sendiri atau daerah (negeri) di luar kampung halaman. Tradisi ini mengharuskan pelakunya untuk melakukan perjalanan yang kadang amat melelahkan dan tidak semua orang bisa melakukannya. Setidaknya dibutuhkan empat hal, yaitu kecukupan bekal di perjalanan, ketahanan stamina fisik, prasarana jalan atau kemudahan aksesibilitas, dan sarana perjalanan yaitu kendaraan.
Kebebasan bergerak adalah istilah yang digunakan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan taqalluba alladzina kafaru fi al-bilad, yakni kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri.
“Janganlah sekali-kali kamu tepedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali Imran/3: 196-197)
Quraish Shihab menegaskan bahwa kebebasan bergerak mengharuskan adanya kemampauan fisik dan materi, lebih-lebih kalau kebebasan bergerak itu berupa perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota atau negeri ke kota atau negeri yang lain. Karena itu, ayat di atas juga dapat berarti jangan teperdaya oleh kekuatan dan kekuasaan harta benda dan kesenangan duniawi yang diperoleh orang-orang kafir karena semua itu hanya bersifat sementara dan melengahkan mereka.
Berkenaan ayat di atas, Ibn Katsir meluaskan pengertian kebebasan bergerak dengan aneka kenikmatan. Tafsir ayat ini bahwa Allah SWT berfirman bahwa janganlah kamu memandang kepada keadaan orang-orang kafir yang serba mewah, bergelimangan di dalam kenikmatan dan kekayaan serta kegembiraan (3: 196). Karena tidak lama kemudian hal itu pasti lenyap semuanya dari mereka, kemudian mereka disandera oleh amal perbuatan mereka yang buruk. Sesungguhnya Kami sengaja melakukan hal tersebut kepada mereka untuk memperdayakan mereka. Dan semua yang ada pada mereka. Itu hanyalah kesenangan sementara (مَتَاعٌ قَلِيلٌ), kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya (3: 197). Ayat tersebut menurut Ibn Katsir sama maknanya dengan QS Al-Mu’min ayat 4, yaitu “Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu, janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu”.
Menurut Quraish Shihab, memang, boleh jadi ada sebagian kaum muslimin yang teperdaya dan silau oleh hasil-hasil yang dicapai oleh orang-orang musyrik sehingga hal itu dapat memengaruhi kualitas iman mereka tentang janji-janji Allah di akhirat. Maka, untuk menampik hal itu, ayat ini menasihatkan Janganlah sekali-kali engkau, wahai Muhammad dan yang dimaksud adalah umatnya, teperdaya oleh kebebasan bergerak, yakni perpindahan dari satu tempat ke tempat lain yang dilakukan dengan mudah dan santai oleh orang-orang kafir di banyak negeri-negeri karena kebebasan itu hanyalah kesenangan yang sedikit waktunya atau nilainya, yakni sementara dan tidak berharga sehingga tidak wajar dan tidak boleh memperdaya orang-orang beriman.
Kemudian, yakni betapa pun lamanya mereka bersenang-senang dan betapa jauh atau banyaknya negeri yang mereka kunjungi, pasti pada akhirnya tempat tinggal mereka ialah neraka Jahanam; dan Jahanam itu adalah ayunan yang seburuk-buruknya. Ayat di atas menyampaikan larangannya kepada Rasul SAW dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin umat untuk disampaikan kepada seluruh umat. la bukan ditujukan kepada Rasul SAW karena tidak mungkin beliau yang sangat memahami hakikat hidup ini akan teperdaya oleh keadaan orang-orang kafir itu. Bisa juga, kita berkata bahwa yang dituju oleh larangan ini adalah siapa pun tanpa harus menetapkan seseorang.
Dunia dan hiasannya, walau telah berumur jutaan tahun dan boleh jadi masih akan bertahan jutaan tahun lagi, dunia bagi setiap individu terbatas pada usianya. Katakanlah rata-rata tujuh puluh tahun. Sungguh singkat waktu itu. Itu lah yang dimaksud dengan kesenangan yang sedikit (mata’un qalil).
Meskipun mudik adalah salah satu kenikmatan besar, tapi penting dicatat bahwa mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam. Tidak ada satu perintah pun baik dari Al–Qur’an maupun As- Sunnah untuk melakukan mudik di Bulan Ramadan atau menjelang lebaran. Bahkan tidak ada tuntunan syariat bahwa bahwa setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus melakukan acara silaturahmi untuk lepas kangen atau maaf-maafan. Pemahaman yang benar adalah silaturahmi sebagai esensi mudik bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan kondisi.
Hukum mudik adalah boleh (mubah) dilakukan kapan saja, sepanjang situasi memungkinan. Tetapi jika mudik justru membawa mudarat maka bisa menjadi terlarang (status makruh) bahkan haram, jika dengan mudik justru menghalangi kesempurnaan ibadah. Berdasarkan kabar, mudik yang bersamaan menimbulkan kemacetan yang sangat panjang dan lama bahkan menjadi perbincangan dunia. Mudik juga mengakibatkan pemborosan (bensin dan perbekalan) serta menyia-nyiakan waktu beribadah seperti kendala menyelenggarakan shalat dan menyempurnakan puasa selama di perjalanan. Jika demikian maka nikmat mudik bisa menjadi nestapa bahkan durhaka. Seyogyanya setiap muslim bijak dalam memanfaatkan nikmat.
Dr. Muhamad bin Abdullah Alhadi, MA, Ustadz di Cariustadz.id