Kekerasan Seksual dan Arti Penting Surah an-Nur: 30-31

Kekerasan seksual menjadi problem utama yang masih dialami masyarakat Indonesia. Pelakunya tidak hanya dari mereka yang dikatakan kurang pendidikan agamanya. Sebaliknya, banyak kasus yang sudah membuktikan bahwa para agamawan atau ustaz bejat tersandung kasus pelecehan seksual. 

Bila demikian, kita patut untuk mengatakan bahwa inilah ironi negeri yang katanya sangat religius dalam urusan ibadah kepada Tuhan, apalagi bila bulan ramadhan datang. Seolah-olah peribadatan tidak ada efek positifnya dalam perilaku sosial. Padahal di al-Qur’an Allah sudah menyatakan bahwa إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji. 

Apakah ini berarti ada yang salah dengan pesan Allah di atas, atau orang-orang yang mengaku beriman ini yang sebenarnya salah akan tetapi tidak peduli dengan kesalahannya? Tak peduli dengan label keimanan yang menancap di hatinya? Bisa jadi, shalat tak memiliki dampak apa-apa karena memang ia hanya sekedar ritual harian tanpa dihayati dan diresapi ke dalam sanubari. 

Berbicara persoalan kekerasan seksual, ia tidak cukup hanya dimaknai secara harfiah saja. Karena bila demikian, ia seolah-olah hanya bermakna “kekerasan” an sich. Padahal kekerasan seksual tidak hanya yang mengandung kekerasan semata. Lebih dari itu, sesuai penjelasan Komnas Perempuan, kekerasan seksual mencakup enam hal utama: siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, menunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. 

Jadi, kalau boleh jujur, masyarakat kita sejatinya belum banyak yang mengetahui bahwa catcalling dan siulan misalnya, termasuk kategori kekerasan seksual. Karena itu, mereka harus segera dieduksi, khususnya bagi mereka yang rentan dan seringkali jadi korban, perempuan. Saya sendiri pernah suatu ketika melihat perilaku panitia dalam sebuah seleksi pegawai ASN Kemenag, “menggoda” perempuan yang kebetulan saat itu tidak berhijab dan berparas rupawan. 

Di sisi lain, kita tentu sudah tidak perlu mempertanyakan lagi betapa efek buruk yang ditimbulkan dari adanya kekerasan seksual. Mulai dari depresi hingga bunuh diri. Lalu, apa hubungan kekerasan seksual dengan pentingnya kita menjalankan pesan surat an-Nur: 30-31? 

Hemat saya, pesan kedua ayat ini menjadi sangat penting karena ia langsung menyinggung puncak dari penyebab terjadinya kekerasan seksual. Apalagi kalau bukan organ tubuh kita yang bernama mata.  Ayat 30-31 surat an-Nur sebenarnya sudah sangat tegas mengingatkan manusia agar terhindar dari perilaku buruk ini. 

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.

Para ulama tafsir saling memberikan penjelasan tentang apa maksud dari diksi “menahan pandangan” di atas. Apakah ia bermakna kita akan dinamakan mukmin hakiki bila tidak melihat sama sekali lawan jenis kita? Jumhur ulama’ mengatakan kata “min” di atas berfaedah littab’id, bermakna sebagian. Jadi, ada juga pandangan mata yang diperbolehkan. Oleh karena itu, ia tidak mutlak dilarang. 

Rasyid Ridha, sebagaimana dikutip Hasby as-Siddieqy dalam Tafsir an-Nur, memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan memalingkan pandangan atau memejamkan mata bukanlah berjalan dengan menundukkan kepala dan tidak memandanga perempuan atau lelaki yang berlalu. Karena tidak mungkin seseorang melakukan seperti itu. 

Memalingkan sebagian pandangan, lanjut Rasyid Ridha, maknanya adalah tidak terus-menerus memandang aurat perempuan yang kebetulan terbuka (Hasby as-Sissieqy, Tasir an-Nur). Inilah yang kiranya juga dimaksudkan oleh sabda Rasulullah saat berpesan kepada Sayyidina Ali, 

لا تتبع النظرة النظرة, فإنما لك الأولى وليست لك الثانية

Janganlah engkau menyertakan pandangan (yang pertama) pandangan (yang kedua). Sesungguhnya (pandangan yang pertama) itu (masih dibolehkan bagimu). Sedangkan yang kedua tidak dibolehkan bagimu. (Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi)

Memandang dengan pandangan terus menerus inilah yang sekaranga bisa kita maknai dengan catcalling atau pandangan yang tidak sopan, karena inilah sumber segala fitnah itu muncul. Makna inilah yang masuk dalam kategori kekerasan seksual sebagaimana dibahas di muka. 

Kesadaran untuk menahan pandangan agar tidak “liar” inilah yang menurut al-Qur’an bisa menyebabkan seseorang terhindar dari segala kemaksiatan dan menjadikannya menjadi manusia yang bermartabat dan suci (dzalika azka lahum). 

Surat an-Nur ayat 30 sudah selayaknya tidak dibaca dan dipahami secara terpisah dari ayat 31 di surat yang sama. Pembacaan seperti inilah yang nantinya tidak akan melahirkan pandangan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Karena bagaimanapun, al-Qur’an mengindikasikan bahwa perilaku pelecehan seksual tidak serta merta dari pihak si laki-laki, akan tetapi pihak perempuan pun ikut andil dan bertanggung jawab dalam menjaga kesuciannya. 

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka…(QS an-Nur: 31). 

Buya Hamka ketika mengomentari ayat di atas mengatakan, “Memang amatlah payah menerima anjuran ini bagi orang yang lebih tenggelam kepada pergaulan moden sekarang ini. Orang dipaksa mesti sopan dan berpekerti halus terhadap wanita, tetapi pintu-pintu buat mengganggu syahwat dibuka selebar-lebarnya. Mode-mode pakaian wanita terlepas sama sekali dari kendali agama, lalu masuk ke dalam kekuasaan “diktator” ahli mode di Paris, London dan New York. Kaum wanita adalah di bawah cengkeraman ahli mode “Christian Dior.”

“Sungguh, gelak ramai perempuan menimbulkan syahwat, gerak lenggang-lenggoknya menimbulkan syahwat, pandang matanya menikam syahwat, tidaklah pantas kalau hal itu dibatasi? Sehingga kecenderungan syahwat itu dapat disalurkan menurut jalannya yang wajar?” (Hamka, Tafsir al-Azhar)

Semoga kita bisa menjaga amanah berupa pandangan mata ini dengan baik. Amin.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini