Perbedaan Syariat, Fikih, dan Ijtihad

Tidak bisa dimungkiri bahwa sebagian dari kita menganggap segala hal yang berhubungan dengan syariat Islam harus dilaksanakan. Ada juga yang memahami syariat Islam itu sudah sempurna, ia mampu menjawab semua persoalan kehidupan. Baik persoalan ekonomi, politik, sosial, teknologi, sains, dll. 

Bagi mereka yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mengajarkan segala hal, kebanyakan berpegang pada ayat 3 surat al-Maidah yang berbunyi: 

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا. 

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. 

Begitu juga ayat 89 surat an-Nahl: 

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ.

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Baca Juga: Lima Gaya Hidup Hemat Nabi Muhammad Saw

Pertanyaannya, apakah yang kita anggap sebagai syariat itu “benar-benar” syariat yang bersifat qat’i, pasti, dan tidak bisa dirubah? Atau ia sebenarnya hasil ijtihad para ulama’ terdahulu atau fikih (berdasarkan perkembangan di zamannya) yang tentu bisa berbeda dengan persoalan yang dihadapi dewasa ini? 

Semangat untuk menjalankan aturan syariat memang hal yang mulia, dan itu sesuai dengan ajaran Islam, akan tetapi bagaimana bila apa yang kita yakini sebagai syariat ternyata adalah hasil olah pikir dan ijtihad ulama’ yang mempunyai kemungkinan salah? 

Nabi pernah berkata:

 إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ. (رواه البخاري)

Ketika seorang hakim berijtihad kemudian (dalam ijtihadnya) benar, maka ia dapat dua pahala. Dan sebaliknya, bila salah (dalam berijtihad) maka ia tetap mendapatkan satu pahala.

Hadits di atas dengan gamblang menjabarkan bahwa pandangan seorang hakim atau ulama’ ketika berijtihad pasti mempunyai dua kemungkinan; benar atau salah. Dan kedua-duanya mendapatkan pahala. 

Namun, hati-hati, bisa jadi yang tidak mendapatkan pahala atau bahkan jatuh pada dosa adalah mereka yang memaksakan pendapatnya—padahal bukan bagian dari syariat—dan harus diterima orang lain. 

Memaksakan kehendak atau pendapat pribadi yang kemudian diyakini sebagai syariat adalah sebuah masalah yang bisa menimpa siapa saja yang sedang bersemangat dalam beragama. Implikasinya berbahaya, yakni terenggutnya kebebasan muslim lain dalam menjalankan agama dan membuat ajaran Islam semakin terbelakang.

Padahal berbagai ayat al-Qur’an mengajarkan kebebasan dalam menjalankan agama, misalnya surat al-Baqarah:256, “Tidak ada paksaan dalam memeluk atau menjalankan ajaran agama”.

Karena itu, penting untuk sedari awal kita dudukkan bersama apa perbedaan antara syariat, fikih, begitu juga ijtihad. Kalau kita tidak bisa membedakan ketiganya, maka kecenderungan untuk menganggap muslim lain tidak Islami dan berdosa akan mudah terjadi. 

Secara singkat, menurut Nadirsyah Hosen dalam Ngaji Fikih, syariat bisa dimaknai dengan aturan dari nas (al-Qur’an dan sunnah) yang bersifat qath’i (pasti). Sedangkan fikih adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nas yang dzonni (bersifat dugaan). Nah, fikih itulah yang merupakan hasil dari ijtihad atau usaha sungguh-sungguh para ulama’ dalam menemukan kesimpulan hukum syarak.

Pengertian qat’i dan dzonni sendiri membutuhkan penjelasan panjang lebar. Yang jelas, nas qat’i tidak menimbulkan perbedaan pandangan. Misalnya, kewajiban puasa Ramadan, kewajiban memulai shalat dengan niat, keharaman riba, menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan,  dll. Inilah yang kemudian disebut syariat.

Ini tentu berbeda dengan apa yang disebut nas dzonni. Sesuai dengan namanya, ia menimbulkan berbagai kemungkinan yang akhirnya menyebabkan perbedaan pendapat. Misalnya, terkait kapan waktu Ramadan dimulai? Apakah niat dalam shalat harus dilisankan/dilafalkan? Apakah bunga bunga Bank itu riba? Sampai mana batasan aurat lelaki dan perempuan? Semua pertanyaan ini masuk dalam kategori persoalan fikih.

Baca Juga: Akhlak Nabi kepada Orang Yahudi

Sebagai penutup, penting diutarakan pandangan Muhammad Asad dalam The Principles of State and Government in Islam, bahwa syariat sejati (The true syariah) jauh lebih ringkas dan jumlahnya lebih sedikit daripada struktur hukum yang berkembang melalui fikih dari berbagai mazhab Islam. 

Sebagai hukum Ilahi, syariat tidak mungkin dibuat bergantung pada kesimpulan yang bersifat subjektif, tetapi ia harus ditetapkan secara jelas dan menyeluruh sesuai peraturan-peraturan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Berbeda dengan fikih yang merupakan kesimpulan subjektif dari para fuqaha’ yang merekfeksikan berbagai persoalan di masa mereka.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id